KABARBURSA.COM – Duta Besar China untuk Amerika Serikat, Xie Feng, menyerukan agar Washington mencari titik temu dengan Beijing dan memilih jalan koeksistensi damai di tengah memanasnya perang dagang. Dalam waktu yang sama, ia juga menegaskan China siap melakukan pembalasan jika provokasi terus berlanjut.
Dalam pidatonya di sebuah acara publik di Washington pada Sabtu, 19 April 2025, yang kemudian dirilis di laman resmi Kedutaan Besar China, Xie menyinggung risiko kerusakan ekonomi global akibat tarif dagang yang makin liar. Ia bahkan membandingkan kondisi saat ini dengan era Depresi Besar 1930-an yang juga dipicu kebijakan tarif AS saat itu.
Xie membawa pendekatan khas budaya China dalam menyampaikan pesan diplomatiknya. Ia mengibaratkan hubungan dua negara seperti ramuan pengobatan tradisional China yang harus menyeimbangkan unsur yin dan yang agar menghasilkan efek terbaik.
“Demikian pula, bumi ini cukup luas untuk menampung China dan AS,” kata Xie, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin, 21 April 2025. “Kita seharusnya mengejar koeksistensi damai, bukan benturan langsung. Kita perlu saling membantu untuk sukses, bukan saling menjatuhkan dalam skenario kalah-kalah.”
Tarif yang kini mencapai lebih dari 100 persen di kedua arah, ditambah pembatasan perdagangan, investasi, dan pertukaran budaya, membuat arus dagang antara dua ekonomi terbesar dunia itu nyaris beku.
Sinyal ketegangan juga datang dari sektor maritim. Asosiasi galangan kapal China pada Sabtu mengecam rencana AS untuk mengenakan biaya pelabuhan tambahan terhadap kapal yang terhubung dengan China. Sementara itu, negara-negara seperti Jepang dan Taiwan disebut sudah mulai membuka komunikasi dengan Washington terkait tarif “Hari Pembebasan” yang digaungkan Presiden Donald Trump.
Namun, hingga kini belum ada dialog tingkat tinggi yang dijadwalkan antara AS dan China.
Trump sendiri sempat memberi sinyal positif pada Jumat pekan lalu. Ia mengatakan pemerintahannya tengah melakukan pembicaraan yang “sangat baik” dengan pihak China. “Ngomong-ngomong, kami sedang ngobrol dengan China secara baik-baik. Semuanya kelihatan sangat bagus,” ujar Trump dari Gedung Putih tanpa memberi rincian lebih lanjut.
Pemerintah China, dalam pernyataan resminya, menegaskan pembicaraan baru bisa terjadi jika AS menunjukkan rasa hormat. Xie Feng pun menutup pernyataannya dengan penegasan sikap: China tidak mencari perang dagang, tetapi tidak akan diam jika negara lain memberlakukan tarif terhadap mereka.
China Peringatkan Negara Lain soal Deal Dagang dengan AS
Pemerintah China sendiri telah memperingatkan negara-negara lain agar tidak membuat kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat jika perjanjian itu berisiko merugikan kepentingan China. Pernyataan keras ini muncul setelah beredar laporan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump berencana menekan negara-negara mitra agar membatasi hubungan dagangnya dengan Beijing demi mendapatkan pembebasan tarif dari AS.
“China dengan tegas menentang setiap pihak yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan China,” tegas Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan resminya, Senin, 21 April 2025, dikutip dari The Wall Street Journal. Mereka menambahkan, jika situasi seperti itu benar terjadi, China akan merespons secara tegas dan simetris.
Pernyataan ini dirilis saat puluhan negara sedang mengajukan permohonan keringanan atau pembebasan tarif dagang dari AS. Sebagaimana diketahui, tarif “timbal balik” yang diumumkan oleh Trump awal bulan ini sempat ditangguhkan selama 90 hari untuk hampir semua negara—kecuali China, yang langsung membalas dengan tarif balasan.
Menurut sejumlah laporan, dalam proses negosiasi tersebut, pemerintahan Trump meminta agar negara-negara yang hendak mendapatkan pembebasan tarif ikut membatasi kerja sama perdagangannya dengan Beijing. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa strategi AS bisa merusak upaya China dalam memperkuat hubungan dagang dengan Asia Tenggara dan Eropa, yang belakangan sedang digalakkan.
Dalam pernyataannya, Kementerian Perdagangan China menyatakan bahwa mereka terbuka untuk memperkuat solidaritas dan koordinasi dengan berbagai pihak demi menghadapi tantangan global bersama-sama, serta melawan praktik unilateralisme dan aksi sepihak yang dianggap sebagai bentuk perundungan ekonomi.
“Tidak ada negara yang bisa sepenuhnya tak terdampak oleh praktik unilateralisme dan proteksionisme,” tulis pernyataan itu. “Jika perdagangan internasional kembali tunduk pada hukum rimba di mana yang kuat memangsa yang lemah, maka pada akhirnya semua negara akan menjadi korban.”
Demi menangkal efek buruk perang dagang ini, pemerintah China pun memberi sinyal akan meluncurkan paket kebijakan besar-besaran demi menahan tekanan ekonomi yang kian berat. Wakil tertinggi pemerintahan, Perdana Menteri Li Qiang, mendorong otoritas negaranya untuk “berani keluar dari pakem” dan bertindak cepat untuk mengembalikan kepercayaan pasar.
Pernyataan ini disampaikan dalam rapat kabinet pada Kamis pekan lalu, sehari setelah data resmi menunjukkan ekonomi China tumbuh di atas ekspektasi pada kuartal pertama. Namun, banyak ekonom menilai data tersebut belum cukup meyakinkan, mengingat tarif impor AS terhadap China telah meroket hingga 145 persen di periode kedua kepemimpinan Donald Trump.
Pada Jumat pekan lalu, Li kembali memimpin pertemuan lanjutan bersama jajarannya untuk merumuskan kebijakan stabilisasi perdagangan dan lapangan kerja. Dalam pernyataannya, pejabat tinggi China berkomitmen memperkuat langkah kontra-siklus di tengah situasi eksternal yang “rumit dan keras”.
Pemerintah China juga berjanji akan meningkatkan dukungan terhadap pasar saham dan properti, serta mendorong konsumsi masyarakat lewat sektor jasa, termasuk pariwisata, budaya, hingga layanan lansia dan anak. Di hari yang sama, Kementerian Perdagangan China menerbitkan rencana pembukaan sektor jasa seperti kesehatan dan telekomunikasi untuk menarik lebih banyak investasi asing.
Sejumlah lembaga keuangan juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China. UBS, misalnya, menurunkan prediksi pertumbuhan menjadi 3,4 persen—jauh dari target resmi pemerintah sekitar 5 persen. Semua mata kini tertuju pada apakah dua raksasa ekonomi dunia itu akan mencapai kesepakatan dagang, menyusul dimulainya dialog antara AS dan negara-negara mitra dagang.(*)