KABARBURSA.COM - Praktik-praktik korupsi yang terjadi saat ini tak luput dari sorotan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya setelah secara resmi dilantik. Ia mengajak untuk memberantas korupsi lantaran tindakan tersebut membahayakan masa depan bangsa dan negara.
"Saya sudah katakan kita harus berani menghadapi dan memberantas korupsi, dengan perbaikan sistem, dengan penegakan hukum yang tegas, dengan digitalisasi," tegas Prabowo pada Minggu, 20 Oktober 2024.
Ia mengakui bahwa hingga saat ini, masih terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di Indonesia. Berbagai bentuknya telah telah tampak antara lain, anggaran bocor karena penyimpangan, kolusi di tengah-tengah pejabat politik dan pemerintah, serta pengusaha-pengusaha nakal yang tidak patriotik.
"Dengan keberanian menghadapinya, Insyaallah kita akan kurangi korupsi secara signifikan," tegas Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Lebih lanjut, purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu menekankan pentingnya contoh yang baik dari setiap pemimpin. Dalam pepatah Jawa, Prabowo menyebut "ing ngarso sung tulodo."
"Ada pepatah yang mengatakan kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat dari semua eselon, dari semua tingkatan harus memberi contoh untuk menjalankan kepemimpinan pemerintahan yang sebersih-bersihnya," ungkap Prabowo.
Rapor Merah Menteri Partai Politik
Sebelum Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 menyampaikan pemberantasan korupsi yang lebih tegas, ada sejumlah fakta pahit mengenai praktik korupsi di kalangan pejabat. Setidaknya, hingga 2024, mayoritas menteri yang terjerah kasus rasuah berasal dari kalangan elite partai politik (parpol).
Dalam temuannya, ekonom senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menunjukkan rapor merah menteri berlatar belakang parpol yang rentan terjerat kasus korupsi. Sepanjang era Reformasi, sebanyak 73,3 persen atau 11 dari 15 menteri yang menjadi tersangka berasal dari parpol.
Wijayanto menjelaskan, salah satu faktor penyebab menteri berlatar belakang parpol mudah terjerat kasus korupsi adalah biaya politik yang tinggi. Di sini, seorang politikus harus menanggung sejumlah ongkos untuk memperoleh jabatan strategis.
“Biaya politik yang mahal sering kali mendorong menteri berlatar belakang parpol untuk mencari dana tambahan, dan ini membuka peluang terjadinya korupsi,” jelasnya kepada Kabarbursa.com, Jumat, 18 Oktober 2024.
Kedua, kata Wijayanto, parpol sering kali memberikan tekanan pada kadernya yang menjabat menteri untuk menggalang dana bagi partainya. Tekanan ini menambah beban berat pada pejabat politik, yang akhirnya terjebak dalam praktik-praktik koruptif.
“Penugasan dari partai untuk mencari dana menjadi salah satu alasan mengapa menteri parpol lebih rentan,” tambah Wijayanto.
Selain itu, politikus umumnya memiliki karakter risk-taker. Kepribadian ini dianggap oleh Wijayanto turut berkontribusi terhadap kerawanan seseorang tersangkut kasus rasuah. Contohnya adalah pengambilan keputusan yang melibatkan penggalangan dana yang berpotensi koruptif.
Namun, ia juga menekankan bahwa pengungkapan kasus korupsi di kalangan menteri biasanya terlambat beberapa tahun setelah kejadian. Hal ini menandakan kemungkinan adanya peningkatan jumlah menteri tersangka korupsi dari periode Jokowi di masa mendatang.
“Ini bisa jadi terjadi lagi ke depannya, karena pengungkapan kasus korupsi umumnya baru terkuak setelah beberapa waktu berlalu,” ujarnya.
Wijayanto juga mencatat bahwa era Joko Widodo (Jokowi) memperkenalkan klaster baru menteri yang berasal dari kalangan relawan. “Komponen ini belum terukur dalam analisis, tetapi tentu saja perlu perhatian lebih apakah mereka juga akan menghadapi tantangan serupa dalam menjaga integritas,” pungkas Wijayanto.
Kasus Korupsi di Indonesia
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat praktik rasuah mengalami tren peningkatan hingga setidaknya tahun 2023. Artinya, penegakan hukum terhadap korupsi pada periode kedua Presiden Joko Widodo tidak maksimal.
Pada 2023 saja, ada sebanyak 791 kasus korupsi yang terjadi. Sementara pada 2022, kasus korupsi sebanyak 579 kasus, sedangkan 533 kasus pada 2021, 444 kasus di 2020, dan 271 kasus di 2019.
Jumlah tersangka korupsi juga mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2019, sebanyak 580 tersangka korupsi ditetapkan oleh seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia.
Secara khusus pada 2024, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 22 Januari 2024, total 1.681 tindak pidana korupsi telah ditangani oleh lembaga antirasuah ini sejak 2004. KPK melaporkan terdapat 430 kasus korupsi yang melibatkan pelaku dari kalangan swasta, menjadikan sektor swasta sebagai kelompok yang paling banyak terjerat tindak pidana korupsi selama hampir dua dekade, 2004 hingga 2023. Selain itu, KPK juga mencatat 371 kasus korupsi dengan pelaku dari kalangan PNS eselon I, II, III, dan IV.
Selanjutnya, anggota DPR RI dan DPRD terlibat dalam 344 kasus korupsi, sedangkan kategori "lain-lain" yang mencakup berbagai profesi lainnya mencatatkan 222 kasus. Di urutan berikutnya, KPK menangani 163 kasus yang melibatkan wali kota/bupati atau wakilnya.
Indeks Perilaku Anti Korupsi
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil survei, IPAK Indonesia tercatat sebesar 3,85 pada skala 0 hingga 5, yang menunjukkan kecenderungan masyarakat dalam menghadapi dan menolak praktik korupsi. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2023, yang mencatatkan angka 3,92.
Semakin tinggi nilai IPAK mendekati 5, semakin menunjukkan bahwa masyarakat memiliki perilaku yang anti korupsi. Sebaliknya, nilai yang mendekati 0 mengindikasikan masyarakat semakin permisif terhadap korupsi. Penurunan ini menjadi indikasi penting yang perlu mendapat perhatian, mengingat peran masyarakat sangat penting dalam pemberantasan korupsi.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi utama, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Pada tahun 2024, Indeks Persepsi tercatat sebesar 3,76, turun sebesar 0,06 poin dari tahun 2023 yang mencapai 3,82. Sementara itu, Indeks Pengalaman mencatatkan penurunan sebesar 0,07 poin, dari 3,96 pada 2023 menjadi 3,89 pada tahun 2024.
Terdapat pula perbedaan IPAK antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi, yaitu 3,86 dibandingkan masyarakat perdesaan yang hanya mencapai 3,83. Hal ini menunjukkan adanya sedikit perbedaan perilaku anti korupsi di antara dua wilayah yang berbeda.
Tingkat pendidikan juga berperan penting dalam perilaku anti korupsi. Pada tahun 2024, masyarakat dengan pendidikan di bawah SLTA memiliki IPAK sebesar 3,81. Masyarakat dengan pendidikan setara SLTA mencatatkan angka 3,87, sedangkan mereka yang berpendidikan di atas SLTA menunjukkan angka tertinggi, yaitu 3,97. Data ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka untuk bersikap anti korupsi. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.