KABARBURSA.COM - Harga kontrak Crude Palm Oil (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) berhasil naik pada Kamis, 29 Agustus 2024, seiring dengan peningkatan harga minyak kedelai yang menjadi pendorong utama.
Menurut data terbaru dari BMD, kontrak berjangka CPO untuk September 2024 melonjak sebesar 27 Ringgit Malaysia, mencapai 4.047 Ringgit Malaysia per ton. Tidak hanya itu, kontrak untuk Oktober 2024 juga mengalami kenaikan sebesar 21 Ringgit Malaysia, kini diperdagangkan pada 3.980 Ringgit Malaysia per ton.
Tren positif ini terus berlanjut dengan kontrak November 2024 yang naik 20 Ringgit Malaysia menjadi 3.940 Ringgit Malaysia per ton, sementara kontrak Desember 2024 bertambah 17 Ringgit Malaysia menjadi 3.912 Ringgit Malaysia per ton.
Untuk kontrak Januari 2025, terjadi peningkatan sebesar 18 Ringgit Malaysia sehingga mencapai 3.898 Ringgit Malaysia per ton, dan kontrak Februari 2025 naik 19 Ringgit Malaysia menjadi 3.892 Ringgit Malaysia per ton.
Mengutip Bernama, trader minyak sawit David Ng menyebutkan bahwa kenaikan harga CPO ini berhasil menghentikan penurunan selama dua hari berturut-turut. Ia menjelaskan bahwa penguatan harga minyak kedelai selama jam perdagangan di Asia telah memberikan dorongan signifikan.
Selain itu, kekhawatiran akan produksi CPO yang lebih rendah dalam beberapa minggu terakhir turut mempengaruhi sentimen pasar.
"Kami melihat level support di 3.830 Ringgit Malaysia per ton dan resistance di 4.000 Ringgit Malaysia per ton," ujar Ng.
Sementara itu, analis senior dari Fastmarkets Palm Oil Analytics, Sathia Varqa, menambahkan bahwa pembelian sporadis pada harga rendah serta kinerja pasar yang kontras di Dalian Commodity Exchange, China, turut menjaga momentum pasar.
"Namun, kenaikan lebih lanjut tertahan oleh penguatan Ringgit Malaysia terhadap dolar AS. Ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan akan mengalami penurunan hingga akhir bulan ini," kata Varqa.
Harga Stabil di Indonesia
Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) diperkirakan akan stabil hingga akhir tahun ini, dengan rata-rata berada di sekitar USD800 per metrik ton (MT). Sementara itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit juga diproyeksikan tetap kuat, berada di atas Rp2.000 per kilogram.
Harga TBS ini merupakan rata-rata untuk TBS berumur 10-20 tahun dan ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara, yang merupakan sentra penghasil sawit utama di Indonesia.
"Sementara itu, harga CPO yang menjadi referensi Kementerian Perdagangan per Juli 2024 mencapai USD800,75 per MT. Angka ini menunjukkan kenaikan sebesar USD21,93 atau 2,82 persen dibandingkan dengan harga pada Juni 2024 yang tercatat sebesar USD778,82 per MT," ujar Nursidik Istiawan, analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dalam acara Press Tour 'Kontribusi Sawit pada APBN dan Perekonomian' di Belitung, Rabu, 28 Agustus 2024.
Menurut Nursidik, beberapa faktor mendukung kenaikan harga CPO, termasuk meningkatnya harga minyak kedelai dan minyak mentah dunia. Selain itu, permintaan CPO yang semakin besar dari negara-negara seperti India dan Tiongkok turut mendorong kenaikan harga. Namun, peningkatan permintaan ini tidak diimbangi oleh produksi yang memadai.
"Produksi CPO di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekitar 42 persen, sedangkan sisanya sebesar 58 persen diekspor. Sejak tahun 2011, ekspor CPO Indonesia sudah bergeser ke produk-produk turunannya," jelas Nursidik.
Pada 2023, ekspor sawit mentah hanya menyumbang 10 persen dari total ekspor sawit, sementara 90 persen sisanya berasal dari produk turunannya.
"Ini menunjukkan bahwa hilirisasi industri sawit di Indonesia berjalan dengan baik. Nilai ekspor sawit beserta produk turunannya pada tahun 2023 mencapai USD23,9 miliar," tambahnya.
Beberapa produk turunan sawit yang diekspor antara lain minyak goreng, margarin, lemak coklat, kosmetik, dan biodiesel. Khusus untuk biodiesel, sejak 2023, pemerintah telah meningkatkan kebijakan mandatori Biodiesel dari 15 persen menjadi 35 persen (B35).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Eddy Martono, juga menyoroti bahwa dengan adanya hilirisasi, ekspor bahan baku CPO semakin menurun.
"Pada 2020, ekspor bahan baku CPO mencapai sekitar 21,26 persen dari total produk sawit Indonesia, namun pada 2023, angka ini turun menjadi 10,12 persen," ujarnya.
Meski begitu, Eddy menegaskan bahwa kontribusi sawit terhadap pendapatan negara tetap signifikan. Hingga Mei 2024, kontribusi sawit terhadap devisa negara mencapai USD9,78 miliar atau setara dengan Rp151,9 triliun.
Eddy juga menekankan bahwa fluktuasi harga minyak sawit di pasar global sangat mempengaruhi besarnya kontribusi sawit terhadap penerimaan negara. Kebijakan sektor sawit, seperti peremajaan tanaman sawit, juga penting untuk menjaga produktivitas dan stabilitas ekonomi.(*)