KABARBURSA.COM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang melakukan langkah besar dalam transformasi sistem perpajakan dengan memperkenalkan Core Tax Administration System (CTAS). Sistem canggih ini diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia, yang saat ini masih jauh dari target.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, percaya bahwa implementasi Core Tax akan menjadi game-changer bagi sistem perpajakan Indonesia untuk dapat mengangkat rasio pajak negara menuju 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"(dengan core tax) Tax ratio ditargetkan naik kembali ke 12 persen dari PDB," ujar Airlangga kepada awak media di Jakarta, Kamis 25 Juli 2024.
Lebih lanjut, Airlangga menambahkan bahwa Kemenkeu sedang mempersiapkan digitalisasi dengan Core Tax tidak hanya untuk mengerek tax ration melainkan juga sebagai langkah strategis untuk mengejar pendapatan yang lebih tinggi.
"Ya tentu kita harus kejar juga pendapatan lebih tinggi dan salah satu yang juga dipersiapkan di Kemenkeu adalah digitalisasi dengan Core tax," ujar Airlangga.
Airlangga berharap bahwa sistem pajak canggih tersebut sudah dapat diimplementasikan pada akhir tahun ini, menandai langkah penting dalam upaya reformasi perpajakan di Indonesia.
"Sistem Core tax perpajakan itu diharapkan akhir tahun ini bisa on," katanya.
Sebagai catatan, dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia masih mengalami fluktuatif. Pada 2018, tax ratio Indonesia berada pada angka 10,24 persen dari PDB. Angka ini kembali merosot pada 2019 sebesar 9,76 persen dari PDB dan 2020 menjadi 8,33 persen dari PDB.
Seiring dengan pelonggaran aktivitas masyarakat, tax ratio pada 2021 mulai mengalami peningkatan menjadi 9,11 persen dari PDB. Dan pada 2022, tax ratiokembali mengalami peningkatan menjadi 10,38 persen dari PDB.
Di 2022, posisi tax ratio Indonesia ini hanya lebih baik dari Laos (9,46 persen), Myanmar (5,78 persen) dan Brunei (1,30 persen) serta jauh di bawah Thailand (17,18 persen), Vietnam (16,21 persen) dan Singapura (12,96 persen).
CTAS Solusi?
Sementara Kementerian Keuangan bersiap menghadapi revolusi perpajakan dengan Core Tax Administration System (CTAS), Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) menggarisbawahi bahwa inti masalah dari sistem pajak saat ini adalah self-assessment system—di mana pemerintah hanya mengandalkan kesadaran wajib pajak untuk melaporkan kewajiban mereka.
"Inti dari sistem pajak yg ada sekarang adalah self assessment system. Dengan kata lain, pemerintah mempercayakan pelaporan pajak sesuai dengan kesadaran WP sendiri," jelasnya kepada KabarBursa.
Dia menjelaskan bahwa kondisi ini terjadi karena jumlah petugas pajak yang terbatas dibandingkan dengan jumlah wajib pajak. Akibatnya, otoritas pajak terpaksa menerapkan Compliance Risk Management (CRM), sebuah manajemen risiko yang bergantung pada proses data matching.
"Kondisi di atas dilatarbelakangi oleh jumlah petugas pajak yang tidak sebanding dengan jumlah WP," tambah dia.
Proses data matching ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan wajib pajak sesuai undang-undang. Ketidaksesuaian data yang ditemukan akan memicu penerbitan SP2DK dan kemungkinan pemeriksaan pajak.
Namun, Prianto menekankan bahwa untuk melaksanakan proses ini secara efektif, teknologi informasi yang canggih sangat dibutuhka, itulah mengapa CTAS dianggap sebagai solusi vital.
"Jadi, uraian di atas menjadi tantangan pajak yg paling esensial ke depannya. Karena itu, pemerintah rela merogoh kocek dalam untuk menyiapkan infrastruktur CTAS," pungkas dia.
Bukan Solusi Tunggal
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menegaskan bahwa Core Tax Administration mengatakan adanya Core Tax Administration System (CTAS) akan mereformasi administrasi perpajakan, banyak sekali manfaatnya termasuk mendorong penerimaan perpajakan. Akan tetapi, CTAS ini bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.
"Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak," kata dia.
Ia menambahkan, meskipun CTAS sudah mulai diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, implementasinya belum sepenuhnya optimal. Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.
"Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal," tandas Fajry.
Kendati demikian, meski CTAS akan mereformasi administrasi perpajakan dan memberikan banyak manfaat, termasuk peningkatan penerimaan pajak, hal ini harus disertai dengan kebijakan pajak yang tepat untuk mencapai hasil yang signifikan.
"CTAS adalah reformasi administrasi. Namun, untuk menghasilkan penerimaan dalam jumlah besar dan dengan cepat, perlu dikombinasikan dengan kebijakan pajak," terang Fajry.
Lebih lanjut, Fajry mengusulkan beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendanaan, antara lain kenaikan tarif PPN, pengurangan fasilitas PPN dan PPh, penurunan ambang batas PKP, evaluasi besaran PTKP, penerapan general anti-avoidance rules, implementasi Pilar 2, serta opsi penerapan pajak karbon.
Selain itu, Fajry menekankan perlunya upaya ekstra dari pemerintah dalam bentuk ekstensifikasi, intensifikasi, pengawasan, hingga penagihan. Semua langkah ini, menurutnya, harus diambil jika pemerintah serius dalam menggenjot kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
"Selain itu, extra effort memang diperlukan. Baik ekstensifikasi, intensifikasi, pengawasan, sampai dengan penagihan," terangnya.
Tantangan Sektor Pajak Era Prabowo-Gibran
Apalagi kata Fajry isu utama yang kini tengah bergulir adalah dalam konteks kebutuhan pendanaan yang besar dan cepat. Artinya, CTAS bukanlah solusi tunggal untuk semua masalah perpajakan di Indonesia.
Fajry menyoroti tantangan besar yang dihadapi sektor perpajakan seiring transisi pemerintahan mendatang. Contohnya, wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan wajib pajak tentang dampaknya, seperti kemungkinan peningkatan pemeriksaan atau perubahan dalam pelayanan.
"Apakah semakin banyak pemeriksaan?, pelayanannya semakin baik?, atau seperti apa? penuh ketidakpastian," tanya dia.
Dia melanjutkan, masa depan kenaikan tarif PPN juga penuh ketidakpastian. Meskipun sebelumnya ada pernyataan bahwa kebijakan kenaikan tarif akan berlanjut, baru-baru ini Menko Perekonomian menyebutkan optimalisasi melalui PPh, bukan PPN.
"Ini menimbulkan spekulasi bahwa pemerintahan berikutnya mungkin akan membatalkan rencana kenaikan tarif PPN, yang secara hukum memang memungkinkan," tambah dia.
Fajry juga menyoroti kebutuhan dana yang besar untuk memenuhi janji politik pemerintahan selanjutnya, seperti program makan siang gratis yang memerlukan Rp450 triliun, serta proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan rencana memperbanyak jumlah Kementerian atau Lembaga (K/L).
Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan wajib pajak tentang dari mana dana tersebut akan berasal dan apakah mereka akan kembali menjadi sasaran otoritas pajak.
"Duitnya dari mana? apakah mereka nanti yang kena kejar-kejar otoritas pajak lagi?" ujar dia.(*)