KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli 2024 sebesar 0,18 persen. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Juli 2024 juga turun di level 106,09 dibandingkan Juni 2024 sebesar 106,28.
Adapun deflasi yang terjadi pada Juli 2024, menjadi yang paling dalam jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Sementara menurut catatan BPS, perekonomian Indonesia mengalami deflasi tiga bulan beruntun sepanjang 2024.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Guru Besar Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menilai, perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini harus dicermati dengan baik.
“Tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang tidak memadai. Deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas. Harga tidak naik lalu kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya,” tutur Didik dalam keterangannya, Sabtu, 3 Agustus 2024.
Meski begitu, Didik menuturkan, deflasi secara umum merupakan gejala konsumen secara luas yang tidak bisa mengonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.
Meski terdengar menguntungkan bagi konsumen lantaran harga yang cenderung lebih rendah, tutur Didik, tetapi keadaan deflasi merupakan fenomena makro ekonomi. Dia menyebut, deflasi menandakan ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya.
Didik menegaskan, deflasi berdampak negatif secara luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan sektor riil tidak bersifat antisipatif sebagaimana terjadi saat ini. Dampak negatif yang tampak terjadi, kata dia, penurunan Pengeluaran konsumsi.
“Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur,” tegasnya.
Dalam aspek kesempatan kerja peluang pekerjaan, tutur Didik, masalah pengangguran lebih berat yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal terjadi kian marak belakangan ini. Menurutnya, bantuan sosial yang besar sebagai jual beli suara politik tidak membantu memperbaiki keadaan, bahkan mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.
“Selain menerima keadaan deflasi beruntun, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK pengangguran yang semakin massal, pemerintah baru mendapat warisan utang yang besar selama 10 tahun terakhir ini,” ungkapnya.
Didik menuturkan, masalah industri, pengangguran, dan deflasi terjadi karena konsumsi menurun. Sebagai Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, dia mengaku tak banyak langkah yang bisa diambil oleh industri selain memangkas biaya produksi dan melakukan efisiensi pekerja.
“Dalam jangka lebih panjang bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong upah atau menghentikan kenaikan upah. Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian,” ungkapnya.
Di sisi lain, Didik menyebut ada warisan utang besar yang diwariskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pemerintahan baru. Dia mengingatkan, resesi bisa saja datang menjegal niat baik pertumbuhan ekonomi jika deflasi terus terjadi.
“Hati-hati kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang memburuk. Penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh. Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang berkepanjangan,” jelasnya.
Jika hal itu terjadi, Didik menilai, investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi. Menurutnya, kondisi dunia usaha akan mengoreksi perencanaannya dan menunda atau membatalkan rencana investasi lantaran ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
Di sisi lain, peningkatan suku bunga riil berpotensi terjadi ketika suku bunga nominal rendah. Menurutnya, hal tersebut akan membuat pinjaman menjadi lebih mahal dan menghambat investasi dan pengeluaran.
Lebih jauh, Didik menilai, mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen yang ditargetkan presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan terkubur jika deflasi tidak segera di atasi.
“Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri,” tutupnya.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia di kuartal II-2024 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 3,73 persen secara kuartalan setelah sebelumnya mengalami kontraksi -0,83 persen pada kuartal I-2024, berdasarkan survei terbaru terhadap 36 ekonom pada Juni ini.
Namun, pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan melambat menjadi 1,6 persen secara kuartalan, dan pada kuartal IV tahun ini diproyeksikan hanya akan tumbuh 0,44 persen. Sehingga, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia untuk tahun 2024 diprediksi hanya mencapai 5 persen, mengalami perlambatan dari tahun sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,05 persen.
Untuk tahun 2025 dan 2026, ekonomi Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 5,10 persen. Survei ini dilakukan dari tanggal 20 hingga 26 Juni terhadap 36 ekonom.
Menurut survei, kemungkinan terjadinya resesi ekonomi di Indonesia dalam 12 bulan mendatang diperkirakan sebesar 0 persen, menurut 11 ekonom yang diwawancarai.
Tingkat inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan akan bergerak di kisaran 2,91 persen, lebih kecil dibanding survei sebelumnya yang memprediksi inflasi sebesar 2,94 persen year-on-year. (*)