KABARBURSA.COM – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turut terdampak kebijakan efisiensi yang diinstruksikan melalui Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penghematan APBN dan APBD.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan anggaran kementeriannya untuk tahun 2025 mengalami pemangkasan sebesar Rp2,3 triliun atau sekitar 35,72 persen dari total pagu anggaran sebesar Rp6,4 triliun.
“Efisiensi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dari Anggaran Rp6,4 triliun tadi,” kata Nusron dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.
Secara keseluruhan, total efisiensi yang terjadi akibat pemblokiran anggaran serta kebijakan penghematan dalam Inpres ini mencapai Rp2,631 triliun atau sekitar 40,76 persen. Namun, Nusron menyebut kementeriannya masih mendapatkan pendanaan dari pinjaman luar negeri melalui program Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP).
Nusron menjelaskan program ILASP merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan pendanaan berasal dari pinjaman World Bank. Ia menambahkan perjanjian pendanaan tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan mulai berjalan secara efektif sejak 23 Desember 2024.
ILASP Libatkan Kementerian Kehutanan dan Transmigrasi
[caption id="attachment_99121" align="alignnone" width="700"] Seorang bocah berenang di Kali Biru, Sorong Selatan yang masuk dalam lansekap wilayah hutan adat Knasaimos, Sorong Selatan. Foto: ANTARA News/Monalisa.[/caption]
Nusron menjelaskan ILASP awalnya hanya melibatkan tiga instansi, yaitu Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Kementerian Dalam Negeri. Namun, kini cakupan program diperluas dengan menggandeng Kementerian Kehutanan serta Kementerian Transmigrasi. Langkah ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih kepemilikan lahan yang kerap terjadi antara kawasan hutan dan lahan APL atau Areal Penggunaan Lain.
Menurut Nusron, salah satu tantangan utama dalam administrasi pertanahan adalah adanya klaim yang saling tumpang tindih. Dalam beberapa kasus, tanah yang sudah memiliki sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Usaha (HGU) tiba-tiba diklaim sebagai kawasan hutan. Sebaliknya, ada pula wilayah yang sejak awal ditetapkan sebagai kawasan hutan, tetapi belakangan justru terbit sertifikat hak atas tanah di atasnya.
“Kita sudah punya kesepakatan dengan Kementerian Kehutanan. Kalau ada hutan dulu baru ada SHM atau HGU, maka kita menangkan hutannya, dan kewajibannya ATR/BPN adalah membatalkan sertifikatnya. Sebaliknya, kalau ada sertifikat lebih dulu baru kemudian ada klaim hutan, maka Kementerian Kehutanan wajib menghapusnya dari peta hutan. Supaya sama-sama enak,” jelasnya.
Masalah ini menjadi perhatian utama karena Nusron mengungkap adanya perusahaan yang memiliki sertifikat tanah di dalam kawasan hutan. Perusahaan tersebut telah mengantongi SHM maupun SHGU, meski berada di area yang seharusnya dilindungi.
“Ada suatu perusahaan atau tanah yang sudah disertifikatkan dalam bentuk SHM ataupun SHGU dalam perjalanan ternyata tiba-tiba itu muncul masuk kawasan hutan,” kata Nusron.
Meski begitu, Nusron tak membeberkan profil perusahaan yang menyerobot kawasan hutan tersebut. Ia lantas mengungkap kasus lain di mana pemetaan perusahaan menunjukkan adanya penyerobotan kawasan hutan, namun tetap memiliki sertifikat hak atas tanah.
Untuk mencegah masalah ini semakin meluas, politisi Partai Golkar tersebut menegaskan Kementerian ATR/BPN akan bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan guna memastikan penerbitan sertifikat tanah tidak bertentangan dengan batas kawasan hutan. “Kita menggunakan asas mana yang paling dahulu, kalau ada hutan dulu baru ada SHGU atau SHM, maka akan kita menangkan hutannya,” jelas Nusron.
Sebagai tindak lanjut, ATR/BPN akan membatalkan sertifikat tanah perusahaan yang terbukti menyerobot kawasan hutan. Jika SHM dan SHGU sudah terlanjur diterbitkan di wilayah hutan, Nusron menyebut Kementerian Kehutanan akan menghapus area tersebut dari daftar tanah yang dimiliki perusahaan bersangkutan.
Selain masalah kehutanan, ILASP juga akan menyasar penyelesaian tumpang tindih lahan di kawasan transmigrasi. Nusron mengungkapkan terdapat sekitar 800 ribu hektare tanah transmigrasi yang berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL), tetapi dalam praktiknya masih masuk dalam kawasan hutan. Dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), banyak dari lahan transmigrasi tersebut justru terdaftar sebagai tanah bersertifikat.
“Ini perlu ada tim bersama, karena itu di dalam program ILASP, kita menambah dua unsur lagi, yaitu unsur kehutanan dan unsur transmigrasi,” kata Nusron.
Mengenai pendanaan, Nusron memastikan dalam dua tahun pertama, penambahan cakupan program tidak akan berdampak pada kenaikan anggaran. Namun, ia mengakui di tahun ketiga hingga kelima, kemungkinan besar akan ada tambahan biaya yang perlu dibahas lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan dan World Bank. “Karena ini adalah dana pinjaman,” katanya.(*)