KABARBURSA.COM – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen yang diumumkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024, memicu sorotan tajam dari berbagai pelaku usaha, khususnya sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Ketenagakerjaan, Subchan Gatot, mengungkapkan bahwa kebijakan ini membawa tantangan besar bagi UMKM, yang selama ini mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Menurut Subchan, kenaikan UMP yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya ini tidak hanya meningkatkan biaya operasional perusahaan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha, terutama di tengah kondisi perekonomian yang melambat.
"Banyak pengusaha, khususnya UMKM, telah merencanakan anggaran mereka dengan asumsi kenaikan upah sekitar 2,5-3,5 persen, sesuai dengan peraturan sebelumnya, yakni PP 51. Namun, kenaikan mendadak hingga 6,5 persen di akhir tahun ini sangat memberatkan, apalagi mereka juga harus menghadapi kenaikan PPN menjadi 12 persen serta daya beli masyarakat yang lemah," kata Subchan kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 7 Desember 2024.
Subchan memaparkan tiga dampak serius yang dapat terjadi akibat kebijakan kenaikan UMP yang tinggi:
- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK):
Perusahaan yang sudah dalam kondisi sulit kemungkinan besar akan terpaksa memangkas tenaga kerja untuk mengurangi beban operasional. "PHK menjadi pilihan terakhir bagi banyak perusahaan yang tidak mampu menyesuaikan struktur keuangan mereka dengan kenaikan UMP ini," jelas Subchan.
- Gulung Tikar:
UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, sangat rentan terdampak oleh lonjakan biaya produksi ini. "Banyak UMKM yang tidak akan mampu bertahan dengan biaya produksi yang semakin tinggi, sehingga risiko mereka gulung tikar semakin besar," tambahnya.
- Penurunan Daya Saing Produk:
Kenaikan upah yang tinggi akan meningkatkan biaya produksi, yang berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. "Produk kita akan kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah, dan ini bisa memperburuk defisit perdagangan," kata Subchan.
Subchan juga menilai bahwa meskipun kenaikan UMP adalah langkah regulasi yang perlu dilakukan, waktu pelaksanaannya dirasa kurang tepat. Di tengah perekonomian yang masih melemah dan daya beli masyarakat yang stagnan, kebijakan ini justru berpotensi memperburuk kondisi yang ada.
"Masalahnya bukan hanya kenaikan itu sendiri, tetapi juga besarnya kenaikan yang jauh melampaui ekspektasi. Kebijakan ini tidak mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha di lapangan, yang masih berjuang untuk pulih pasca-pandemi dan inflasi global," ujarnya.
Kenaikan UMP yang cukup signifikan ini juga berpotensi menciptakan tekanan inflasi, yang dikenal sebagai cost-push inflation. Ketika biaya produksi meningkat, perusahaan akan cenderung menaikkan harga produk dan jasa mereka. Akibatnya, daya beli masyarakat bisa semakin tertekan.
"Ironisnya, meskipun kenaikan UMP bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja, inflasi yang timbul justru dapat mengurangi manfaat yang dirasakan masyarakat luas," kata Subchan, mengakhiri.
UMP Dapat Mendukung Kesejahteraan Pekerja?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyambut baik kenaikan UMP ini sebagai upaya mendukung kesejahteraan pekerja. Meski demikian, ia menggarisbawahi bahwa kenaikan tersebut belum cukup untuk sepenuhnya mengimbangi peningkatan harga barang dan jasa akibat inflasi.
“Daya beli masyarakat memang akan terbantu, tetapi tidak secara signifikan. Banyak pekerja masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak,” jelas Esther.
Langkah ini diakui sebagai angin segar bagi pekerja formal, tetapi juga membawa tantangan ekonomi yang lebih luas, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kenaikan upah dan stabilitas harga.
Menurut Esther, kenaikan UMP berpotensi memicu inflasi jenis cost-push, yaitu inflasi yang disebabkan oleh peningkatan biaya produksi. Ia menilai bahwa ketika upah naik, biaya produksi perusahaan juga meningkat, yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga barang dan jasa di pasar.
“Jika inflasi meningkat dalam jangka pendek, daya beli masyarakat dapat kembali tergerus, terutama bagi mereka yang berada di sektor informal,” ungkapnya.
Namun, ia juga menekankan bahwa risiko ini dapat dikelola jika pemerintah dan pelaku usaha mampu menjaga keseimbangan antara upah, produktivitas, dan harga produk.
Kenaikan UMP tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga pada sektor usaha dan industri. Pelaku usaha diperkirakan akan melakukan berbagai penyesuaian, mulai dari menaikkan harga produk hingga melakukan efisiensi tenaga kerja.
“Kenaikan upah tanpa diimbangi peningkatan produktivitas dapat memaksa pengusaha untuk memangkas tenaga kerja atau menaikkan harga produk. Akibatnya, risiko PHK dan pengurangan penciptaan lapangan kerja bisa meningkat,” kata Esther.
Sementara itu, Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, memberikan pandangan yang lebih optimis. Ia menilai kenaikan UMP sebesar 6,5 persen cukup memberikan ruang bernapas bagi pekerja formal di tengah tekanan ekonomi, terutama dengan inflasi yang diperkirakan hanya 1,7-1,8 persen tahun ini.
“Kenaikan ini melebihi kebutuhan penyesuaian inflasi, sehingga daya beli pekerja formal diproyeksikan meningkat secara signifikan,” ujar Wijayanto.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diiringi langkah strategis untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap dunia usaha. Kombinasi antara kenaikan UMP dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen akan meningkatkan beban pengusaha.
“Kenaikan UMP menguntungkan pekerja formal, sementara kenaikan PPN menguntungkan pemerintah. Namun, keduanya menciptakan tekanan besar bagi dunia usaha,” tambahnya.
Untuk menjaga keseimbangan ekonomi, Wijayanto mengusulkan beberapa langkah strategis, seperti:
- Peningkatan bantuan langsung tunai (BLT) dan program bantuan sosial (bansos) untuk mendorong daya beli masyarakat.
- Pengawasan terhadap impor dan penyelundupan barang, guna mendukung daya saing produsen lokal.
- Pemajakan sektor informal atau bisnis bawah tanah agar kontribusinya terhadap ekonomi nasional lebih signifikan. (*)