KABARBURSA.COM - Ramadan sudah mendekati fase akhir, dan persiapan Lebaran mulai terlihat. Namun, daya beli masyarakat tahun ini tampak lebih lemah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan bahwa meskipun penjualan ritel menunjukkan kenaikan, angka yang dicapai masih belum sesuai dengan target yang diharapkan. Menurutnya, pertumbuhan penjualan seharusnya bisa mencapai 100 persen, tetapi saat ini baru menyentuh 70 persen.
"Data penjualan HIPPINDO sejauh ini ada kenaikan, namun tidak sesuai target. Kenaikannya harusnya 100 persen, tapi ini baru di angka 70 persen untuk target ya," ujar Budihardjo kepada KabarBursa.com, Selasa, 25 Maret 2025.
Tantangan Kenaikan Biaya dan Tren Konsumsi yang Berubah
Budihardjo menjelaskan bahwa beberapa faktor masih menjadi tantangan bagi industri ritel, salah satunya adalah kenaikan biaya operasional, seperti sewa tempat dan logistik. Hal ini turut berkontribusi terhadap naiknya harga barang di pasaran.
"Kami menghadapi kenaikan sewa, biaya logistik, sehingga harga-harga barang juga jadi naik waktu itu," tambahnya.
Selain itu, pola belanja masyarakat tahun ini menunjukkan perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Jika biasanya peningkatan konsumsi sudah mulai terlihat sejak awal Maret, kali ini tren tersebut baru tampak di pekan-pekan terakhir dan kenaikannya pun tidak terlalu signifikan.
"Pola belanja dibanding tahun lalu harusnya di awal-awal bulan Maret sudah ada pergerakan kenaikan, itu belum terlihat. Baru terlihat naik di akhir-akhir minggu ini, jadi naiknya tidak signifikan," jelasnya.
Daya Beli Melemah, tapi Penjualan Online Menguat
Budihardjo juga menyoroti bahwa daya beli masyarakat mengalami penurunan di hampir semua sektor ritel. Namun, dibandingkan bulan lalu, ada sedikit kenaikan yang didorong oleh pertumbuhan transaksi daring.
"Penurunan daya beli hampir di semua lini, ya. Sepi, turun targetnya, tapi dibanding bulan lalu ada kenaikan karena faktor online, ada penjualan yang naik," kata dia.
Saat ini, kontribusi penjualan daring semakin terasa, terutama di sektor fesyen yang menunjukkan pertumbuhan signifikan.
"Penjualan online sekarang sekitar 20 persen terhadap omzet di sektor fashion," ungkapnya.
Impor Barang Konsumsi Justru Turun
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Februari 2025, dengan nilai mencapai USD 3,12 miliar. Meskipun masih dalam tren positif selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, surplus ini lebih rendah dibandingkan Januari 2025 yang mencapai USD 3,45 miliar.
Namun, yang menarik adalah volume impor barang konsumsi justru mengalami penurunan tajam menjelang Ramadan dan Lebaran. Per Februari 2025, total impor barang konsumsi hanya USD 1,47 miliar, turun 10,6 persen (mtm)dibandingkan Januari 2025 yang tercatat USD 1,64 miliar. Jika dibandingkan dengan Februari 2024, penurunan bahkan lebih drastis, mencapai 21,05 persen (yoy).
Tren ini menunjukkan bahwa meskipun perdagangan Indonesia tetap surplus, tekanan terhadap daya beli domestik masih cukup besar, terutama dalam sektor konsumsi ritel.
Ekonomi Indonesia Timpang
Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir menjadi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih timpang dan tidak inklusif. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi telah berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik.
"Sektor-sektor seperti UMKM dan pariwisata mengalami tekanan akibat daya beli masyarakat yang melemah," kata Achmad kepada KabarBursa.com di Jakarta, Jumat 21 Maret 2025.
Menurutnya, inflasi harga pangan dan energi yang melonjak pada 2023-2024 memperburuk beban rumah tangga. Meskipun inflasi mulai terkendali, upah riil pekerja tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga konsumsi rumah tangga tetap lesu.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi menjadi faktor utama mengapa pemulihan tidak merata.
"Pertumbuhan yang digerakkan oleh ekspor komoditas dan industri padat modal tidak menyentuh sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi, bukan menciptakan lapangan kerja baru," jelasnya.
Dampaknya, angka pengangguran terbuka (TPT) tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan baru. "Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi," tambahnya
"PHK di sektor formal juga mendorong pergeseran ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah dan tidak ada jaminan sosial," lanjutnya.
Surplus Neraca Dagang Tak Cukup, Ketimpangan Melebar
Di sisi lain, Achmad mengapresiasi langkah pemerintah dalam menjaga surplus neraca dagang melalui diversifikasi pasar ekspor dan insentif bagi industri nonmigas. Namun, ia mengingatkan bahwa fokus berlebihan pada pertumbuhan ekspor tanpa memperkuat ekonomi domestik dapat memperlebar ketimpangan.
"Program seperti hilirisasi mineral memang strategis, tetapi implementasinya perlu dipercepat agar nilai tambah benar-benar dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya korporasi besar," ujar Achmad.
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan daya beli, seperti bantuan sosial dan subsidi energi, dinilai masih bersifat sementara. Jika tidak disertai dengan perbaikan sistemik, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah.
"Pemerintah perlu merancang strategi industri yang memprioritaskan sektor padat karya berbasis teknologi agar ekspansi manufaktur bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja," tambahnya.(*)