KABARBURSA.COM - Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengungkapkan bahwa proyeksi pesimis dari International Monetary Fund (IMF) tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dirasakan dengan tajam oleh para pelaku impor.
Menurut Subandi, penurunan daya beli masyarakat yang tercermin dari rendahnya kunjungan ke mal atau pusat perbelanjaan mengakibatkan importir berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan keberlangsungan usaha. Namun, di sisi lain, jika operasi tetap berjalan seperti biasa, barang impor kemungkinan besar tidak akan terjual di pasar, jelas Subandi, dikutip Minggu 11 Agustus 2024.
Akibatnya, banyak pelaku usaha terpaksa menurunkan volume impor dan produksi mereka lebih dari 50 persen, bahkan ada yang harus menghentikan operasional sementara. Selain tantangan ekonomi, Subandi juga mencatat ketidakstabilan politik yang turut mempengaruhi iklim usaha, khususnya sektor perdagangan luar negeri.
Subandi menambahkan bahwa meskipun pemerintah berusaha meningkatkan imbal dagang, upaya tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Produk lokal, menurutnya, kurang diminati karena kualitasnya yang belum memadai. Dengan demikian, inisiatif pemerintah dalam imbal dagang dianggap tidak cukup berpengaruh pada ekonomi dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif pada kuartal II-2024, meski dengan laju yang melambat. Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93 persen secara tahunan (yoy), menurun dari 5,22 persen yoy pada periode yang sama tahun lalu. Konsumsi rumah tangga telah berada di bawah 5 persen selama tiga kuartal berturut-turut.
Menurut Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik, Moh Edi Mahmud, pertumbuhan konsumsi kuartal II-2024 dipengaruhi oleh faktor musiman, seperti pergeseran momentum Ramadan-Idulfitri dari kuartal I ke kuartal II. Tahun lalu, momen tersebut terjadi pada bulan April, sementara tahun ini sebagian besar pada bulan Maret dan awal April. Perubahan ini mempengaruhi pola konsumsi pada kuartal II, terutama untuk makanan-minuman dan mungkin pakaian, jelasnya awal pekan ini.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Juni tercatat mencapai USD18,45 miliar, meningkat 7,58 persen yoy dibandingkan Juni 2023 yang sebesar USD17,15 miliar. Kenaikan ini didorong terutama oleh sektor migas, yang mencatat nilai impor USD3,27 miliar, melonjak 47,17 persen yoy. Sebaliknya, nilai impor nonmigas juga naik 1,69 persen yoy dari USD14,93 miliar menjadi USD15,18 miliar.
Secara bulanan, nilai impor Indonesia pada Juni turun 4,89 persen dari Mei 2024. Nilai impor nonmigas menurun 8,83 persen menjadi USD15,18 miliar pada Juni 2024, dari USD16,65 miliar pada Mei 2024. Sementara itu, nilai impor migas naik 19,01 persen dari USD2,75 miliar pada Mei 2024 menjadi USD3,27 miliar pada Juni 2024.
Penurunan nilai impor bulanan disebabkan oleh penurunan impor nonmigas yang menyumbang penurunan 7,58 persen, ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.
International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya sebesar 5 persen yoy, dengan sedikit peningkatan menjadi 5,1 persen yoy pada 2025. Laporan IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI masih didorong oleh permintaan domestik, meski terhambat oleh penurunan harga komoditas. Prospek tetap positif meskipun dalam konteks global yang penuh tantangan, dengan pertumbuhan diperkirakan mencapai 5,0 persen dan 5,1 persen pada 2024 dan 2025.
IMF meramalkan inflasi akan berada pada kisaran target pemerintah. Ekspor diprediksi tumbuh lambat, sedangkan impor akan meningkat sejalan dengan permintaan domestik yang terjaga. Defisit transaksi berjalan diperkirakan akan berada pada level moderat pada 2024—2025.
Daya Beli Kelas Menengah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa penurunan konsumsi rumah tangga saat ini dipicu oleh melemahnya daya beli kelas menengah.
Walaupun konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari setengah pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024, Badan Pusat Statistik mencatat penurunan yang konsisten dalam konsumsi rumah tangga selama sembilan bulan terakhir.
Pada triwulan IV-2023 (Oktober-Desember), konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,47 persen. Triwulan I-2024 (Januari-Maret) menunjukkan pertumbuhan konsumsi sebesar 4,91 persen, sedangkan pada triwulan II-2024 (April-Juni), konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,93 persen.
Menurut Faisal, kelas menengah, terutama yang berada pada kategori menengah-bawah, merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga separuh dari total konsumsi rumah tangga.
"Daya beli dan pendapatan kelas menengah telah menurun, mempengaruhi keseluruhan tingkat konsumsi rumah tangga, sehingga berada di bawah 5 persen. Hal ini akan menahan laju pertumbuhan ekonomi secara umum," kata Faisal, Kamis 8 Agustus 2024 lalu.
Faisal menambahkan bahwa lemahnya daya beli kelas menengah dapat melemahkan fondasi perekonomian suatu negara.
"Pertumbuhan jangka panjang yang positif hanya dapat dicapai jika kelas menengahnya kuat, bukan hanya bergantung pada kelas atas. Tanpa kelas menengah yang solid, negara akan rentan terhadap guncangan krisis," tegasnya.
Menurut Faisal, data BPS menunjukkan sinyal ketidaknormalan. Biasanya, konsumsi masyarakat seharusnya melonjak pada periode tersebut, berkat momentum Ramadan, Idulfitri, dan musim liburan sekolah.
Faisal juga memperingatkan bahwa tekanan yang dialami oleh kelas menengah saat ini berpotensi menjadi krisis sosial.
"Beberapa kebijakan pemerintah selama ini memang menekan kelas menengah. Pemerintah harus berhati-hati agar tidak mengeluarkan kebijakan yang semakin memperburuk situasi, seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, perluasan cukai, dan kebijakan lain yang dapat menekan daya beli," jelasnya. (*)