KABARBURSA.COM - Lemahnya daya beli masyarakat menjadi sinyal buruk bagi ekonomi Indonesia karena sektor konsumsi merupakan pilar utama pertumbuhan.
Namun, pemerintah menepis anggapan bahwa pelemahan daya beli adalah penyebab utama keterpurukan ekonomi. Pemerintah berdalih kondisi makro yang memburuk dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama kebijakan ekonomi global, termasuk perang tarif yang dipicu oleh Donald Trump.
Kebijakan Presiden Amerika Serikat tersebut, yang berpotensi mengenakan tarif tinggi hingga 25 persen terhadap impor ke AS, bisa berdampak pada Indonesia. Tekanan eksternal ini dikhawatirkan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan semakin menekan daya beli masyarakat.
Pengamat ekonomi, Yanuar Rizki, menilai bahwa pemerintah terlalu menyalahkan Donald Trump atas keterpurukan kondisi makro Indonesia. Menurutnya, dengan alasan tersebut, pemerintah justru mengabaikan faktor utama yang lebih krusial, yaitu pelemahan daya beli yang mencerminkan turunnya ekonomi dari sisi permintaan.
“Argumentasi pemerintah, yang salah Trump, menyebabkan kondisi makro Indonesia terpuruk, dan menepis argumentasi pelemahan daya beli (turunnya ekonomi dari sisi permintaan),” kata Yanuar kepada Kabarbursa.com, Kamis, 27 Maret 2025.
Di sisi lain, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menilai deflasi yang dialami oleh Indonesia sebagai sebuah prestasi, mengingat banyak negara tengah berjuang melawan inflasi akibat perang tarif Trump.
Sebagai langkah pengendalian harga, pemerintah telah menurunkan sejumlah tarif yang diatur secara administratif, seperti diskon 50 persen untuk tarif listrik golongan bawah serta penurunan tarif pesawat.
Sebaliknya, Yanuar beranggapan jika masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari potongan harga dan kondisi ekonomi stabil, maka seharusnya daya beli tetap terjaga. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang mencerminkan tingkat belanja konsumsi mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau masyarakat dapat uang dari potongan harga, dan kondisi baik-baik saja, maka akan belanja konsumsi. Faktanya realisasi penerimaan PPn yang merupakan representasi belanja konsumsi turun, dibanding periode yang sama tahun-tahun sebelumnya,” terang dia.
IHK Februari 2025
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2025 mengalami deflasi sebesar 0,48 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 0,09 persen secara tahunan. Kondisi ini cukup mencengangkan, mengingat 1 Maret 2025 menandai awal Ramadan, periode di mana konsumsi masyarakat biasanya meningkat.
Sebagai perbandingan, pada Ramadan tahun lalu yang dimulai 11 Maret 2024, BPS mencatat inflasi bulanan (mtm) sebesar 0,37 persen pada Februari 2024 berbanding terbalik dengan deflasi yang terjadi tahun ini.
BPS mengungkapkan bahwa penurunan harga sejumlah komoditas pangan serta diskon tarif listrik menjadi faktor utama yang mendorong deflasi tahunan.
Menariknya, fenomena deflasi tahunan terakhir kali terjadi pada awal 2000. Berdasarkan catatan BPS, pada Maret 2000, Indonesia mencatat deflasi year-on-year sebesar 1,10 persen, yang saat itu didominasi oleh penurunan harga bahan makanan.
Yanuar menyoroti data BPS Februari 2025 yang menunjukkan deflasi, sementara harga emas justru mengalami kenaikan. Menurutnya, kondisi ini mengindikasikan bahwa bukan hanya masyarakat berpenghasilan rendah yang menahan belanja, tetapi juga kelompok dengan daya beli lebih tinggi.
“Angka BPS Februari 2025 di saat posisi Deflasi, harga emas mencatat inflasi. Ini artinya yang punya uang juga menahan belanja dan memilih untuk berjaga-jaga terkait masa depan yang tak pasti,” ungkapnya.
Di samping itu, dia juga menyoroti penurunan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan, yang menurutnya mencerminkan kesulitan yang dihadapi dunia usaha dalam menjual produk dan mempertahankan produksi.
Ia menilai kondisi ini sebagai sinyal potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, meskipun pemerintah kerap menyangkalnya dengan mengandalkan data pengangguran dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang dinilainya tidak sepenuhnya mencerminkan realitas.
Menurutnya, data tersebut bersifat semu karena mencatat individu yang bekerja tanpa menerima upah sebagai bagian dari angkatan kerja.
“Situasi saat ini, sudah bukan kemewahan menghibur diri sendiri, angka pengangguran semu akan jadi masalah saat daya beli antar kelas masyarakatnya terputus,” tandasnya.
Pertumbuhan Penjualan Ritel
Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan bahwa meskipun penjualan ritel menunjukkan kenaikan, angka yang dicapai masih belum sesuai dengan target yang diharapkan. Menurutnya, pertumbuhan penjualan seharusnya bisa mencapai 100 persen, tetapi saat ini baru menyentuh 70 persen.
"Data penjualan HIPPINDO sejauh ini ada kenaikan, namun tidak sesuai target. Kenaikannya harusnya 100 persen, tapi ini baru di angka 70 persen untuk target ya," ujar Budihardjo kepada KabarBursa.com, Selasa, 25 Maret 2025.
Budihardjo menjelaskan, beberapa faktor masih menjadi tantangan bagi industri ritel, salah satunya adalah kenaikan biaya operasional, seperti sewa tempat dan logistik. Hal ini turut berkontribusi terhadap naiknya harga barang di pasaran.
"Kami menghadapi kenaikan sewa, biaya logistik, sehingga harga-harga barang juga jadi naik waktu itu," tambahnya.
Selain itu, pola belanja masyarakat tahun ini menunjukkan perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Jika biasanya peningkatan konsumsi sudah mulai terlihat sejak awal Maret, kali ini tren tersebut baru tampak di pekan-pekan terakhir dan kenaikannya pun tidak terlalu signifikan.
"Pola belanja dibanding tahun lalu harusnya di awal-awal bulan Maret sudah ada pergerakan kenaikan, itu belum terlihat. Baru terlihat naik di akhir-akhir minggu ini, jadi naiknya tidak signifikan," jelasnya.(*)