KABARBURSA.COM – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp104 triliun pada akhir Maret 2025. Jumlah ini setara dengan 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit anggaran pada triwulan pertama 2025 ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparan APBN KiTa pada Kamis, 30 April 2025.
“Defisit Rp104,2 triliun atau 0,43 persen PDB bukan hal yang menimbulkan kekhawatiran karena masih di dalam desain APBN awal,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi April 2025 di Jakarta.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, pemerintah dan DPR menargetkan defisit tahun ini berada pada level Rp616,2 triliun atau 2,53 persen terhadap PDB.
Angka ini mencerminkan peran APBN sebagai alat stabilisasi fiskal untuk menopang pemulihan ekonomi serta mempercepat pelaksanaan program pembangunan nasional. Meski demikian, pemerintah tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan fiskal yang terukur.
“Ini sudah disepakati di DPR dan menjadi UU,” kata Sri Mulyani.
Realisasi defisit pada kuartal pertama 2025 ini setara dengan 16,9 persen dari total target defisit sepanjang tahun. Sementara itu, pendapatan negara mencapai Rp516,1 triliun atau 17,2 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp3.005,1 triliun, dan belanja negara mencapai Rp620,3 triliun atau 17,1 persen dari pagu Rp3.621,3 triliun.
“Pendapatan negara 17,2 persen dari target, belanja negara Rp17,1 persen, surplus/defisit dari total postur 16,9 persen. Jadi, semua bergerak hampir sama,” jelas Sri Mulyani.
Rincian pendapatan negara mencakup penerimaan perpajakan sebesar Rp400,1 triliun, yang terdiri dari Rp322,6 triliun dari pajak dan Rp77,5 triliun dari kepabeanan serta cukai. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menyumbang Rp115,9 triliun terhadap total pendapatan.
Sementara di sisi belanja, alokasi telah terserap melalui belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp413,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp207,1 triliun. Untuk BPP, Rp196,1 triliun dialirkan melalui belanja kementerian/lembaga, sementara Rp217,1 triliun melalui belanja non-kementerian/lembaga.
Adapun keseimbangan primer masih mencatatkan surplus senilai Rp17,5 triliun, yang menunjukkan kapasitas fiskal pemerintah untuk mengelola kewajiban utang tetap berada dalam kendali.
Andalkan Strategi Front Loading
Untuk menjaga keseimbangan fiskal, pemerintah mengandalkan pembiayaan utang yang telah direalisasikan sebesar Rp250 triliun hingga akhir Maret.
Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari posisi Februari sebesar Rp220,1 triliun. Dengan demikian, sekitar 40,6 persen dari target pembiayaan tahun ini telah dikeluarkan dalam tiga bulan pertama.
“Ini menjadi sumber berita yang menarik karena kita melakukan front loading, memang kalau kita melihat tahun ke tahun strategi front loading untuk mengantisipasi ketidakpastian tahun ini,” ujar Sri Mulyani.
Strategi front loading atau penarikan pembiayaan pada awal tahun menjadi langkah antisipatif pemerintah terhadap berbagai risiko global yang masih membayangi.
Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa ketidakpastian berasal dari sejumlah faktor, termasuk dinamika kebijakan pemerintahan Trump, volatilitas pasar keuangan, tekanan inflasi global, serta kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
“Ini menimbulkan tambahan risiko sehingga front loading cukup baik,” kata Sri Mulyani.
Hubungan yang kurang harmonis antara Presiden AS dan Gubernur The Fed Jerome Powell turut memperbesar ketidakpastian arah kebijakan moneter global. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia memilih langkah berjaga-jaga melalui percepatan pembiayaan, alih-alih menunggu perkembangan yang belum pasti.
Meski strategi ini memberi ruang bagi pemerintah dalam mengelola tekanan fiskal jangka pendek, efektivitasnya tetap bergantung pada kualitas belanja dan pengelolaan utang ke depan.
Tanpa disiplin anggaran dan pengawasan ketat, manuver fiskal semacam ini bisa berisiko memperbesar beban keuangan negara. Pemerintah dituntut untuk tidak hanya gesit dalam menutup defisit, tetapi juga transparan dalam memastikan arah belanja yang produktif dan berdampak langsung bagi perekonomian nasional.
Defisit APBN Februari 2025
Sebelumnya, Kemenkeu juga melaporkan defisit Anggaran APBN per Februari 2025 mengalami pelebaran dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, defisit APBN pada Februari 2025 mencapai Rp31,2 triliun atau sekitar 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2024. Jumlah ini meningkat dibandingkan defisit Januari yang sebesar Rp23,5 triliun atau setara 0,10 persen dari PDB.
"Penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Kamis, 13 Maret 2025.
Sebagai informasi, pemerintah menetapkan target defisit APBN sepanjang 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Lebih lanjut, Sri Mulyani memaparkan bahwa pendapatan negara selama Januari hingga Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun, atau setara 10,5 persen dari target tahunan yang ditetapkan. Jumlah ini menunjukkan penurunan 20,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp400,4 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja negara dalam dua bulan pertama tahun ini tercatat sebesar Rp348,1 triliun, atau sekitar 9,6 persen dari total anggaran yang direncanakan pemerintah untuk 2025. Angka ini juga turun 6,9 persen dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp374,3 triliun.
Dengan perkembangan tersebut, APBN masih mencatatkan surplus keseimbangan primer sebesar Rp48,1 triliun pada Februari 2025. Meski begitu, nilai tersebut lebih rendah dari surplus pada Februari 2024 yang mencapai Rp95 triliun.
"Jadi, defisit 0,13 persen itu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB," jelas Sri Mulyani.(*)