KABARBURSA.COM - Posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp21 triliun per Mei 2025, atau setara 0,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), mencerminkan kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keseimbangan fiskal.
Menurut Ekonom Universitas Andalas, Syafrudin Karimi, angka tersebut memang tergolong rendah jika dibandingkan dengan target defisit tahunan sebesar Rp616,2 triliun, namun ia mengingatkan bahwa defisit kecil tidak bisa hanya dipandang dari nominalnya saja.
“Kalau kualitas belanjanya tidak mengarah ke sektor strategis, defisit kecil justru jadi cermin lemahnya fungsi APBN dalam mendorong pemulihan ekonomi,” ujar Syafrudin kepada KabarBursa.com, Kamis 19 Juni 2025.
Syafrudin menjelaskan bahwa perubahan posisi APBN dari surplus di April menjadi defisit pada Mei adalah bagian dari pola musiman. Peningkatan realisasi belanja negara menjelang pertengahan tahun lazim terjadi, terutama untuk pembayaran belanja pegawai, program sosial, dan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, penerimaan negara masih belum optimal karena tertekan perlambatan global dan turunnya harga komoditas.
Ia menambahkan, dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya mengantisipasi ketimpangan antara percepatan belanja dan lambannya pendapatan dengan bauran kebijakan yang tepat. "Kalau penerimaan tidak dipercepat, sementara belanja terus naik, maka defisit akan makin melebar di semester dua," tambahnya.
Kekhawatiran serupa muncul dari capaian penerimaan negara yang baru mencapai 35,6 persen dari target pada akhir Mei. Angka ini menunjukkan perlunya percepatan mobilisasi pendapatan di tengah kebutuhan fiskal yang terus meningkat. Syafrudin menilai, mengandalkan tren kenaikan musiman di semester dua tidak lagi cukup.
"35,6 persen itu bukan pencapaian yang bisa dibanggakan, melainkan sinyal bahaya yang harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret dan cepat," katanya.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, menurutnya, adalah realisasi penerimaan perpajakan yang belum mencapai 41 persen dari target.
Kondisi ini menunjukkan tekanan ekonomi masih kuat di sektor riil, terutama manufaktur dan perdagangan luar negeri. Akibatnya, bea cukai dan PPN tidak mampu memberi kontribusi optimal terhadap penerimaan negara.
Syafrudin menegaskan bahwa reformasi perpajakan harus segera digerakkan lebih dalam, mulai dari perluasan basis pajak digital, pengetatan pengawasan, hingga evaluasi insentif yang selama ini diberikan.
“Jika tidak ada perubahan strategi, maka risiko shortfall akan makin besar dan defisit makin sulit dikendalikan,” imbuhnya.
Meskipun saat ini defisit tampak terkendali, Syafrudin menekankan bahwa ruang fiskal yang tersedia harus digunakan secara bijak. Pemerintah diminta tidak terlena dengan angka kecil di atas kertas, melainkan fokus menjaga kualitas belanja agar benar-benar mampu mendorong pertumbuhan dan menjaga daya tahan ekonomi.
“Kalau belanja hanya untuk konsumsi birokrasi dan proyek tidak produktif, defisit kecil tidak ada artinya. Justru itu sinyal bahwa APBN belum bekerja sebagaimana mestinya,” tutupnya.(*)