KABARBURSA.COM - Minuman dan makanan berpemanis dalam kemasan dikabarkan akan terkena cukai yang rencananya dimulai pada semester II-2025. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya untuk meningkatkan penerimaan negara tetapi juga untuk mengurangi dampak negatif konsumsi gula yang berlebihan.
Pemerintah menargetkan penerimaan cukai MBDK sebesar Rp3,8 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi masalah kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi gula, seperti diabetes melitus.
Pengenaan cukai MBDK ini bertujuan untuk menekan konsumsi gula tambahan, dengan fokus pada minuman kemasan yang dianggap berisiko meningkatkan asupan gula dalam diet harian masyarakat.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengendalikan perilaku konsumsi gula secara nasional.
Cukai ini diharapkan menjadi salah satu instrumen penting untuk meredam dampak buruk bagi kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi gula berlebih.
Namun, sebelum implementasi dimulai, pemerintah perlu menyusun beberapa aturan pelaksanaan, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen), yang akan mengatur lebih rinci tentang jenis minuman yang dikenakan cukai serta besaran tarif yang berlaku.
Nirwala menambahkan bahwa penting bagi pemerintah untuk menentukan batasan yang jelas mengenai jenis minuman yang termasuk dalam kategori MBDK, dengan memperhatikan aspek pembebasan atau pengecualian yang akan diterapkan, serta bagaimana pengawasan atas aturan ini dilakukan di lapangan.
Lebih lanjut, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar DJBC Akbar Harfianto, menegaskan bahwa penerapan cukai ini akan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Pemerintah, meski demikian, sudah mulai menyusun regulasi teknis terkait pengenaan cukai tersebut.
Akbar juga menekankan bahwa meskipun ada dua kemungkinan skema penerapan cukai, yaitu secara on trade dan off trade, pemerintah akan terus mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan guna menciptakan regulasi yang tidak memberatkan, baik bagi konsumen maupun industri terkait.
Penting juga untuk diingat bahwa pemerintah akan memastikan agar cukai ini tidak menambah beban berat pada industri terkait di awal penerapannya. Salah satu faktor yang menjadi perhatian adalah kondisi perekonomian yang masih dinamis, di mana daya beli masyarakat juga perlu dipertimbangkan agar kebijakan ini tidak berdampak buruk bagi para pelaku usaha atau konsumen, terutama di tengah upaya mengendalikan inflasi dan memperkuat daya beli domestik.
Dalam hal ini, pemerintah juga menggandeng Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan bahwa tarif cukai yang dikenakan masih berada dalam batas yang wajar, berfungsi untuk mengendalikan konsumsi gula, serta tidak menambah beban besar pada masyarakat atau industri.
Dengan regulasi yang matang dan penerapan kebijakan yang bijak, pengenaan cukai MBDK diharapkan dapat memberikan dampak positif baik dari segi kesehatan maupun perekonomian jangka panjang.
Selain itu, langkah ini juga sejalan dengan kebijakan fiskal proaktif untuk memanfaatkan instrumen cukai dalam mencapai tujuan pengurangan konsumsi bahan pangan yang berisiko terhadap kesehatan.
Jika berjalan dengan sukses, kebijakan ini berpotensi menjadi model bagi penerapan kebijakan serupa di masa depan, dengan menyeimbangkan kepentingan kesehatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika, menjelaskan penetapan MBDK dengan rata-rata elastisitas sebesar -1,09 akan mengerek naik rata-rata harga MBDK sebesar 1 persen dan diiringi dengan penurunan permintaan produk hingga 1,09 persen.
Dampak pengenaan cukai MBDK, kata Putu, akan memukul sektor UMKM di bidang tersebut. Sementara industri MBDK besar, lanjut dia, memerlukan adaptasi seandainya kebijakan itu resmi diterapkan.
“Untuk elastisitas harga, kalau kita menaikan atau mengenakan (cukai) makanan atau minuman bermanis dalam kemasanan ini. Jadi dampak ke industrusinya, terutama UMKM dan usaha kecil menengah berdampak,” kata Putu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 1 Juli 2024.
Dalam materi paparannya, Putu menyebut kelompok rumah yang tinggal di wilayah perdesaan secara otomatis akan mengurangi jumlah konsumsi produk MBDK dengan nilai elastisitas -1,10 dibandingkan kelompok rumah tangga di wilayah perkotaan dengan nilai elastisitas -1,07.
Putu menyebut, pengenakan cukai MBDK sebesar Rp1.771 per liter akan berpotensi menaikan harga produk hingga 15 persen. Di sisi lain, sekitar 70 persen konsumen produk MBDK masuk dalam golongan kelas menengah ke bawah yang sensitif terhadap kenaikan harga.
Kemenperin juga mencatat, 70 persen penjualan MBDK dilakukan melalui traditional channel atau pedagang kecil dan warung-warung kelontong. Produk MDBK juga berkontribusi dalam keuntungan mereka hingga 40 persen.
Karenanya, Kemenperin menilai penerapan cukai pada produk MBDK tidak hanya berpotensi menaikkan harga, melainkan juga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dalam negeri.
Pengenaan cukai MBDK juga dinilai pertolak belakang dengan semangat peningkatan investasi. “Pengenaan cukai ini akan membuat investor dan calon investor untuk memilih tidak berinvestasi di Indonesia,” jalasnya.
Di ASEAN sendiri, tercatat beberapa negara yang telah menetapkan cukai pada produk MBDK dengan rata-rata sebesar Rp1.771 per liter. Adapun secara rinci diantaranya, Brunei sebesar Rp4.538, Malaysia Rp1.312, Thailand Rp1.630, Filipina Rp1.648, Kamboja Rp1.250, dan Laos Rp247.(*)