KABARBURSA.COM - Sempat dilarang di masa pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputeri dan Presiden RI ke-Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kini diperbolehkan kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada Mei tahun lalu.
Setahun berikutnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan lantas menerbitkan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Kedua Permendag ini menjadi penanda resmi dibukanya keran ekspor pasir laut.
Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut dengan dalih pembersihan atau pengendalian sedimentasi.
Izin ekspor pasir laut hasil kerukan itu secara khusus diatur dalam Pasal 9.
Dalam beleid itu, hasil pengerukan pasir laut dari sedimentasi bisa dijual ke luar negeri asalkan kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.
Untuk diketahui, sebelum keluarnya dua Permendag yang ditandatangani Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tersebut, ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal selama kurun waktu 20 tahun.
Pelarangan ekspor pasir laut dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2002 atau di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Penghentian ekspor pasir oleh pemerintah kala itu dilakukan karena jadi polemik panas.
Banyak pihak yang kontra dengan ekspor pasir laut karena hanya menguntungkan Singapura. Sementara Indonesia tidak banyak diuntungkan karena harga pasir yang dinilai terlalu rendah. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, di mana banyak pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau (Kepri) hilang karena terkena abrasi setelah pasirnya dikeruk untuk dikirim ke Singapura.
Diketahui, sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik setiap tahunnya.
Saat itu, banyak pengusaha tongkang merekayasa data volume ekspor pasir laut. Tujuannya agar bisa mengekspor atau menjual sebanyak mungkin pasir laut berapa pun harganya, tanpa memperhatikan dampak bagi lingkungan.
Pasir dari Kepri dijual dengan harga SGD1,3 per meter kubik. Padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar SGD4. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar SGD540 juta atau Rp 2,7 triliun per tahun.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura karena berada di garis depan perbatasan.
Karena terus menuai kontroversi, Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian resmi melarang ekspor pasir laut ke luar negeri.
Megawati memerintahkan para menterinya untuk segera menghentikan ekspor pasir laut. Surat Keputusan Bersama (SKB) kemudian diteken tiga menteri saat itu.
Ketiga menteri tersebut menerbitkan SKB.07/MEN/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
SKB ditandatangani pada 14 Februari 2002 oleh tiga orang menteri, yakni Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri, dan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim.
Secara terpisah, Rini Soemarno juga menerbitkan, Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Namun, keluarnya SK Menperidag itu tidak juga menyurutkan penjualan pasir laut, baik legal maupun ilegal. Maka kemudian, terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah, dan Top Soil.
Meskipun telah dilarang sejak 2007, ekspor pasir laut ke Singapura masih terus berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012. Penyebabnya adalah harga pasir di Singapura lebih mahal dua kali lipat dari harga di dalam negeri.
Diperketat di Era Pemerintahan SBY
Sebelum pelarangan era Megawati, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan melalui reklamasi. Pasir-pasir impor diambil dari gugusan pulau di sekitar Kepulauan Riau, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 hingga 2002. Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura saat ini sedang merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasinya diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
Proyek pelabuhan yang bakal dibangun di atas lahan reklamasi itu tentunya membutuhkan pasir dalam jumlah sangat besar untuk menguruk kedalaman laut Selat Malaka itu.
Di sisi lain, Malaysia yang sempat jadi pemasok pasir laut sudah menghentikan ekspor galian C ini ke Singapura.
Keputusan Malaysia itu membuat Singapura kalang kabut, karena tanpa pasir impor, mega proyek pelabuhan itu dipastikan terhenti.
Setelah dilarang Megawati, pasir-pasir dari Indonesia sebenarnya masih kerap dikapalkan ke Singapura, namun secara ilegal. Pemerintah Indonesia pun kembali memperketat tongkang pasir ilegal yang menuju ke Singapura.
Kembali ke tahun 2007 saat Indonesia menegaskan larangan ekspor pasir laut di era Presiden SBY, pemerintah Singapura sempat meradang dan terpaksa mencari sumber pasokan pasir dari negara lain.
Kala itu, pemerintah Singapura bahkan menuding Indonesia sengaja menghentikan ekspor pasir laut untuk menekan negaranya agar bersedia bernegosiasi terkait perjanjian ekstradisi dan penetapan garis perbatasan.
Kala itu, Menteri Luar Negeri Indonesia era Presiden SBY, Hassan Wirajuda, mengatakan larangan tersebut dibuat karena alasan masalah lingkungan dan bukan oleh negosiasi dengan Singapura.
"Mungkin saja mereka (Singapura) akan menambah garis pantainya, tetapi itu tidak berarti mereka memindahkan batas laut karena sejak 1973 kita telah memiliki kesepakatan," kata Hasan Wirajuda.
Di lain persoalan, Indonesia memang sejak lama menginginkan Singapura menyepakati sejumlah perjanjian ekstradisi. Di mana banyak buronan Indonesia diketahui tinggal di Singapura. Mantan presiden Indonesia BJ Habibie pernah menyebut Singapura sebagai "titik merah kecil yang tidak bersahabat".
Alasan Pemerintah Perbolehkan lagi Ekspor Pasir Laut
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim menjelaskan, ekspor pasir laut dari Indonesia diperbolehkan dengan syarat kebutuhan di dalam negeri sudah tercukupi.
"Ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Isy.
Menurut dia, pengerukan pasir laut untuk kemudian bisa dijual ke negara lain diperlukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, juga kesehatan laut.
Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menuturkan selama ini kebutuhan reklamasi dalam negeri besar, namun sayangnya pemanfaatan pasir laut masih merusak lingkungan karena pasir yang diambil berasal dari pulau-pulau.
"Jadi reklamasi dan berakibat pada kerusakan lingkungan. Atas dasar itu terbitlah PP, boleh untuk reklamasi, tapi harus gunakan pasir sedimentasi,” ujar dia lagi.
Pasir sedimentasi dinilai cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan IKN dan infrastruktur dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
"Ini kita tetapkan peraturan pemerintahnya tujuannya untuk memenuhi reklamasi di dalam negeri, bahwasannya ada sisa untuk dibawa ke luar negeri, silahkan saja kalau tim kajian mengatakan sedimentasi ini boleh (ekspor pasir laut) ya silakan,” pungkas Wahyu. (*)