KABARBURSA.COM - Dolar AS mengalami pelemahan signifikan pada perdagangan Rabu waktu setempat, 5 Februari 2025 atau Kamis dinihari WIB, 6 Februari 2025. Dolar jatuh ke level terendah dalam lebih dari seminggu.
Kondisi ini terjadi di tengah meredanya kekhawatiran pasar terhadap perang dagang global, sementara yen Jepang justru menguat, didukung oleh data upah yang lebih baik dari perkiraan.
Indeks Dolar (DXY), yang mengukur kinerja dolar terhadap enam mata uang utama, turun 0,43 persen menjadi 107,58, setelah sempat menyentuh level terendah sejak 27 Januari di angka 107,29. Sebelumnya, dolar sempat menguat ketika Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 25 persen terhadap impor dari Meksiko dan Kanada.
Ancaman tersebut membuat indeks DXY melonjak hingga 109,88 pada awal pekan. Namun, setelah Meksiko dan Kanada mendapatkan penangguhan tarif selama satu bulan dengan meningkatkan pengamanan perbatasan, indeks dolar mulai melemah, kehilangan sekitar 2 persen nilainya.
Pasar juga tampak lega setelah China tidak merespons secara agresif terhadap kebijakan tarif AS. Hal ini mengindikasikan bahwa Beijing masih bersedia menoleransi kebijakan proteksionisme AS dalam jangka pendek.
Kondisi ini memberikan dorongan bagi euro yang naik 0,24 persen menjadi USD1,041, setelah sebelumnya sempat anjlok lebih dari 2 persen pada awal pekan akibat kekhawatiran dampak perang dagang terhadap ekonomi Eropa.
Mata uang yang mencatatkan penguatan terbesar terhadap dolar adalah yen Jepang. Yen melonjak setelah data menunjukkan upah riil Jepang meningkat 0,6 persen pada Desember dibandingkan tahun sebelumnya, didorong oleh bonus musim dingin yang lebih besar.
Selain itu, komentar dari pejabat Bank of Japan (BOJ) yang mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut juga mendorong apresiasi yen. Akibatnya, dolar jatuh 1,19 persen terhadap yen, mencapai level 152,525, yang merupakan titik terendah sejak Desember.
Tekanan terhadap dolar semakin besar setelah rilis data dari Institute for Supply Management (ISM) yang menunjukkan aktivitas sektor jasa AS mengalami perlambatan pada Januari. Purchasing Managers Index (PMI) non-manufaktur turun menjadi 52,8 dari 54,0 di bulan sebelumnya, lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan ke 54,3.
Data ini memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve mungkin akan mengambil kebijakan moneter yang lebih longgar dalam beberapa bulan ke depan.
Sementara itu, poundsterling berhasil mencatatkan kenaikan 0,2 persen, mencapai level tertinggi dalam satu bulan di USD1,255.
Di sisi lain, yuan China mengalami pelemahan setelah Trump mengumumkan tarif baru sebesar 10 persen terhadap impor dari Negeri Tirai Bambu. Saat perdagangan kembali dibuka pasca-libur Tahun Baru Imlek, yuan melemah 0,47 persen dalam perdagangan onshore.
Meski demikian, People's Bank of China masih membatasi pelemahan yuan dengan menetapkan nilai tukar titik tengah lebih kuat dari ekspektasi. Para pelaku pasar kini mencermati langkah-langkah kebijakan moneter China untuk melihat apakah Beijing akan membiarkan mata uangnya melemah guna mengimbangi dampak dari ketegangan perdagangan dengan AS.
Ketidakpastian yang masih menyelimuti hubungan perdagangan AS-China, serta perbedaan kebijakan moneter antara bank sentral utama dunia, terus menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pasar valuta asing. Pergerakan dolar dan mata uang utama lainnya kemungkinan akan tetap volatil dalam waktu dekat, tergantung pada perkembangan geopolitik dan keputusan kebijakan moneter masing-masing negara.
Analis: Tarif Trump Untungkan Dolar
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, resmi menerapkan tarif impor baru kepada tiga negara yakni Kanada, Meksiko, dan China. Keputusan ini diumumkan pada Sabtu, 1 Februari 2025.
Adapun pajak terbaru yang dikenakan sebesar 25 persen untuk barang-barang dari Kanada dan Meksiko, serta 10 persen untuk barang dari China. Kabarnya, kebijakan ini mulai berlaku pada Selasa, 4 Februari 2025.
Head of Research and Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menjelaskan, penerapan tarif baru Trump tersebut bisa membuat prospek ekonomi dan pasar untuk ke depan penuh dengan ketidakpastian.
“Beberapa risiko terbesar, jika perang dagang mengalami eskalasi atau dengan kata lain negara-negara mitra dagang AS melakukan tindakan balasan,” ujar dia dalam keterangannya, Senin, 3 Februari 2025.
Rully memandang, risiko yang berpotensi datang ialah pelemahan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, dan akan terus terjadinya kecenderungan flight to safety ke aset-aset yang dianggap aman seperti dolar dan emas.
Dia melanjutkan, kondisi ini juga kemungkinan besar akan membuat tekanan pada perdagangan pasar saham di hari pertama pekan ini.
“Tekanan terhadap rupiah juga kemungkinan akan meningkat dan BI (Bank Indonesia) akan terus melakukan kebijakan stabilisasi,” pungkasnya.(*)