Logo
>

Dorong Perkembangan Industri Nasional Melalui Hilirisasi, Mungkinkan?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Dorong Perkembangan Industri Nasional Melalui Hilirisasi, Mungkinkan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menyoroti salah satu poin utama dalam program 8 Asta Cita Prabowo, yaitu upaya mendorong industri nasional melalui proses hilirisasi selama periode 2024-2029. Namun, apakah hilirisasi benar-benar dapat mengubah wajah ekonomi Indonesia yang masih bertumpu pada komoditas menjadi negara industri yang tangguh?

    Menurut Eisha, hilirisasi, meskipun mulai digencarkan di ranah kebijakan, masih kurang mendapat perhatian di ranah akademik internasional sebagai strategi kunci transformasi ekonomi.

    “Hilirisasi sebetulnya jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional masih sedikit sekali, atau kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi satu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasi peran manufaktur yang tinggi,” kata Eisha dalam diskusi publik tentang ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’ Minggu, 22 September 2024.

    Sebaliknya, istilah industrialisasi lebih sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) mampu mencapai status negara maju melalui industrialisasi besar-besaran.

    “Istilah Industrialiasi lebih banya dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju,” ujarnya.

    Sayangnya, di Indonesia, industrialisasi seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tertinggal di masa lalu.

    Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, di mana pertumbuhan industri manufaktur mencapai 8 hingga 9 persen setiap tahunnya antara 1989 hingga 1996.

    Industri manufaktur kala itu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

    “Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” jelas Eisha.

    Namun, pada dekade terakhir menunjukkan tren yang jauh berbeda. Pada 2023, kontribusi sektor industri hanya tumbuh 18 persen, sebuah kemunduran tajam dibandingkan dengan era 80-an.

    Dia menyebut fenomena ini sebagai deindustrialisasi dini, di mana sektor industri mengalami penurunan sebelum sempat mencapai potensi maksimalnya.

    “Hal itu (pertumbuhan industri manufaktur)  salah satu titik cukup rendah dibandingkan prestasi di tahun 80-an. Seolah-olah kembali terjadi de-industrialisasi dini,” tuturnya.

    Menurut Eisha, Indonesia sedang terjebak dalam transisi menuju sektor jasa, tetapi tidak seperti negara-negara maju yang transisi tersebut ditopang oleh sektor jasa bernilai tinggi seperti teknologi, jasa keuangan, dan layanan digital.

    Di Indonesia, sektor jasa masih didominasi oleh sektor informal yang rapuh dan kurang memberikan nilai tambah signifikan.

    “Itu adalah gejala deindustrialisasi dini. Perubahan pada sektor jasa pun masih didominasi oleh sektor informal, yang rapuh,” imbuhnya.

    Oleh karena itu, menurut Eisha, lebih baik jika pertumbuhan industri manufaktur tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Namun yang kini terjadi, pertumbuhan industri selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Maka peran konstribusi sektor industri akan terus tumbuh terhadap GDP.

    Lebih lanjut dia mengatakan, masih ada kendala lainnya bagi sektor manufaktur untuk jadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini terkait ketergantungan industri manufaktur Indonesia yang masih bertumpu pada produk-produk berbasis komoditas. Sementara produk manufaktur medium hitech masih lebih rendah.

    “Industri pengolahan kita masih bertumpu pada komoditas,” terangnya.

    Produktivitas industri juga masih cukup rendah, dengan masalah tenaga kerja dan kapasitas SDM, itu menjadi tantangan tersendiri. Juga inovasi dan teknologi.

    Lalu, masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan, beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor.

    “Produktivitas manufaktur kita terus menurun sejak 2010 dan menjadi semacam red light yang harus diperbaiki,” ungkapnya.

    Produk manufaktur berbasis teknologi menengah hingga tinggi masih sangat rendah, hanya mencapai 37,32 persen.

    Bahkan, ekspor manufaktur Indonesia hanya 44 persen dari total ekspor, jauh tertinggal dari China, Vietnam, dan Malaysia.

    “Daya saing share prouductity Indonesi juga masih di bawah Thailand,” kata dia.

    Selain itu, ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk berbasis komoditas dengan tingkat kompleksitas yang rendah.

    Kompleksitas ekspor menunjukkan bahwa produk yang diekspor jarang diproduksi oleh negara lain, namun sebagian besar produk ekspor Indonesia, seperti minyak kelapa sawit dan batu bara, memiliki tingkat kompleksitas yang rendah.

    Idealnya, jika kompleksitas ekonomi Indonesia tinggi, hal tersebut akan menunjukkan kemampuan negara untuk memproduksi barang dengan baik, memiliki nilai tambah yang tinggi, berkualitas, dan didukung oleh teknologi canggih.

    “Masih dominan lox complexity di sebagian besar produk ekspor,” terangnya.

    Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, inovasi, serta keterampilan, yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing ekspor. Hal ini diharapkan tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membuka lapangan kerja, menurunkan tingkat pengangguran, dan mengurangi kemiskinan.

    “Seharusnya dengan economy complexity yang tinggi sebenarnya menunjukkan Indonesia akan mampu memproduksi dengan baik,” tegas Eisha.

    Oleh karena itu, untuk mencapai status sebagai negara maju, Indonesia perlu fokus pada peningkatan nilai tambah melalui produksi industri manufaktur yang mampu menyediakan nilai tambah tinggi dan kompleksitas ekspor yang lebih besar hingga kemudian bisa menaikkan daya siang ekspor.

    “Pada gilirannya akan menumbuhkan ekonomi dan mendorong penggunaan emisi, menyediakan lapangan kerja, menurunkan pengangguran dan mengurangi kemiskinan,” tuturnya.

    Adapun dia mengatakan hal tersebut menjadi dasar untuk mencapai status negara maju, diperlukan peningkatan nilai tambah dan produksi melalui industri manufaktur yang mampu memberikan nilai tambah serta kompleksitas ekspor yang tinggi.

    Selain itu, diversifikasi ekspor juga dianggap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Juga export diversifikasi, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkas Eisha. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.