Logo
>

DPR: 2,5 Juta Hektare Sawit tanpa HGU Rugikan Negara

Ditulis oleh Dian Finka
DPR: 2,5 Juta Hektare Sawit tanpa HGU Rugikan Negara

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan DPR berkomitmen dalam menegakkan hukum pertanahan dan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor agraria. Bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Komisi II berupaya memastikan pemanfaatan lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Salah satu perhatian utama DPR adalah keberadaan 2,5 juta hektare lahan sawit yang telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) tetapi belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Rifqinizamy mengatakan tanpa status HGU, lahan tersebut tidak dapat dikenakan pajak yang pada akhirnya merugikan negara.

    “Jika tidak memiliki HGU, maka kewajiban pajak dan pungutan lainnya belum bisa diterapkan. Ini tentu merugikan negara,” ujarnya dalam rapat bersama Menteri ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.

    Untuk mengatasi hal tersebut, DPR dan Kementerian ATR/BPN memberikan tenggat waktu hingga 3 Desember 2025 bagi perusahaan yang telah mengajukan permohonan HGU agar segera memperoleh izin tersebut. Sementara itu, bagi perusahaan yang masih memiliki IUP namun belum mengajukan HGU, Komisi II membuka peluang revisi undang-undang agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan negara.

    Selain memastikan kepastian hukum lahan sawit, Rifqinizamy juga menegaskan penyelesaian konflik agraria dan pemberantasan mafia tanah tetap menjadi prioritas DPR bersama Kementerian ATR/BPN.

    “Kami terus mendorong program sertifikasi tanah untuk rakyat, meskipun anggaran terbatas. Targetnya, seluruh tanah di Indonesia dapat terdaftar dan sebagian besar bisa tersertifikasi pada tahun depan,” katanya.

    Konflik Agraria Sepanjang 2024

    Meskipun DPR dan Kementerian ATR/BPN berupaya menegakkan hukum pertanahan serta menyelesaikan sengketa lahan, konflik agraria di lapangan masih terus terjadi dan bahkan meningkat. Sepanjang 2024, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya 295 kasus konflik agraria yang mencakup berbagai sektor.

    Dilansir dari laman kpa.or.id, konflik ini mencakup lahan seluas 1,1 juta hektare atau lebih tepatnya 1.113.577,47 hektare dan berdampak pada 67.436 keluarga yang tersebar di 349 desa. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan 241 kasus.

    Dari berbagai sektor yang terdampak, perkebunan menjadi penyumbang terbesar dengan 111 kasus. Dari jumlah tersebut, 75 kasus atau sekitar 67 persen berkaitan dengan perkebunan sawit, yang mencakup luas lahan mencapai 127.281,30 hektare dan berdampak pada 14.696 keluarga. Sementara itu, sektor infrastruktur mencatat 79 kasus dengan total luas konflik mencapai 290.785,11 hektare yang mempengaruhi 20.274 keluarga. Mayoritas konflik di sektor ini dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN) dengan 36 dari 39 kasus yang tercatat, sementara tiga kasus lainnya berkaitan dengan proyek food estate.

    Selain perkebunan dan infrastruktur, sektor pertambangan juga menyumbang 41 konflik, yang sebagian besar melibatkan industri batubara (14 kasus) dan nikel (11 kasus).

    Dari sisi persebaran, konflik agraria terjadi di 34 dari 38 provinsi di Indonesia. Sulawesi Selatan menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 37 kasus, disusul Sumatra Utara dengan 32 kasus. Kalimantan Timur dan Jawa Barat masing-masing mencatatkan 16 kasus, diikuti Jawa Timur (15), Sulawesi Tengah (13), Sumatra Barat (12), Sumatra Selatan (11), DKI Jakarta (11), dan Jambi (10).

    Konflik agraria ini juga menimbulkan berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang terlibat. Sepanjang 2024, tercatat 556 orang menjadi korban, dengan rincian 399 orang dikriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan fisik, empat orang ditembak, dan empat lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif aparat.

    Petani Jadi Kelompok Paling Terdampak

    [caption id="attachment_104070" align="alignnone" width="700"] Ilustrasi petani. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]

    Selama 2024, petani menjadi kelompok yang paling terdampak dalam eskalasi konflik agraria. Dari total 295 kasus yang tercatat, sebanyak 173 di antaranya melibatkan petani sebagai korban utama. Setelah petani, kelompok masyarakat miskin kota menjadi yang paling sering terdampak, dengan 56 kasus penggusuran atau konflik lahan. Sementara itu, masyarakat adat mencatatkan 53 kasus sebagai kelompok yang terkena dampak konflik, sedangkan nelayan menjadi korban dalam 13 kasus.

    Dari sisi lanskap agraria, tanah pertanian rakyat menjadi area yang paling sering terdampak. Dari total 295 kasus, sebanyak 178 konflik terjadi di lahan pertanian rakyat dengan luas mencapai 326.224,34 hektare, yang berdampak pada 46.642 rumah tangga petani.

    Jika dihitung secara rata-rata dalam satu rumah tangga petani, maka jumlah korban konflik agraria di sektor ini diperkirakan mencapai 93.284 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Angka ini berpotensi lebih besar, mengingat dalam banyak komunitas pedesaan di Indonesia, model usaha tani dalam skala rumah tangga kerap melibatkan anak-anak dalam proses penggarapan lahan.

    Hasil pemantauan dan analisis KPA menunjukkan konflik agraria yang mencuat sepanjang 2024 sebagian besar merupakan konflik lama yang kembali meledak akibat tindakan sepihak pemerintah, perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara, serta intervensi aparat keamanan. Konflik-konflik ini tidak hanya kembali muncul, tetapi juga kembali menimbulkan korban di lapangan.

    Mayoritas konflik yang terjadi merupakan sengketa agraria yang telah berlangsung dalam satu dekade terakhir atau kasus-kasus baru yang mencuat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebagian lainnya merupakan konflik lama yang telah berumur puluhan tahun, tetapi hingga kini belum menemukan solusi penyelesaian.

    Dari sisi pemicu konflik, badan usaha swasta menjadi aktor utama yang menyebabkan 181 kasus sepanjang 2024. Ke depan, peran badan usaha swasta dalam konflik agraria diprediksi semakin dominan, terutama dengan adanya proyek-proyek yang mendapat label Proyek Strategis Nasional (PSN) meskipun lebih banyak sarat dengan kepentingan komersial. Beberapa contoh yang menjadi sorotan adalah proyek Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), serta proyek Lido yang dikelola oleh MNC Group.

    Kondisi ini menandakan bahwa konflik agraria masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Umumnya, konflik terjadi karena ada kepentingan bisnis yang makin agresif berhadapan dengan hak-hak masyarakat atas tanah.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.