KABARBURSA.COM - Mahkah Konstitusi (MK) meminta DPR RI menyusun ulang Undang-Undang atau UU Ketenagakerjaan baru usai mengabulkan uji materi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Gugatan terhadap UU yang sering disebut Omnibus Law ini diajukan oleh Partai Buruh pada Kamis, 31 Oktober 2024.
MK memberikan waktu maksimal dua tahun bagi DPR untuk mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dan membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru. MK menyatakan UU Ketenagakerjaan yang baru mesti menampung substansi ketenagakerjaan dan melibatkan partisipasi serikat buruh.
Menanggapi putusan tersebut, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, mengatakan akan terlebih dahulu membahas putusan MK mengingat poin-poin dari putusan tersebut baru dirilis dalam situs MK. Adies mengatakan akan membahas instruais MK ini bersama para pimpinan DPR RI dan Badan Legislasi.
“Nanti kita akan bicara dengan teman-teman dan pimpinan lain, kita juga sampaikan teman teman di Badan Legislasi dan komisi terkait,” kata Adies kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 1 Oktober 2024.
Menurut Adies, DPR tidak perlu menunggu kurun waktu dua tahun sebagaimana batas maksimum yang ditetapkan MK. Pasalnya, kata dia, DPR telah siap menyusun UU Ketenagakerjaan kapan saja dengan catatan memahami poin yang diputuskan MK.
“Mau dua tahun, mau tiga tahun, mau setahun, mau enam bulan, mau dua bulan, mau sebulan juga kalau memang harus itu ya kita juga. Tapi kita juga akan lihat konteksnya seperti apa dan apa yang harus kita undang-undang seperti apa yang harus kita gol-kan,” kata politikus Partai Golkar ini.
Adies pun menekankan UU yang baru nanti mesti sejalan dengan program yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Apalagi, kata dia, UU mesti dirancang sesuai dengan persetujuan antara pemerintah dan DPR. “Jadi harus ada pembicaraan dulu antara pemerintah dan DPR, ada kajian kajian akademis dan lainnya. Nanti kita akan lihat,” katanya.
MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja
MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan organisasi buruh lainnya terhadap UU Cipta Kerja. Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, MK memutuskan sebanyak 21 norma terkait ketenagakerjaan, seperti tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), outsourcing, upah minimum, cuti, PHK, dan pesangon, dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Sebelum keputusan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan MK telah menangani 36 perkara terkait UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003, dengan 12 perkara di antaranya dikabulkan. Sebagian substansi UU tersebut telah diubah dalam UU Nomor 6 Tahun 2023. Ini menimbulkan ketidakharmonisan antara materi di dua UU tersebut, termasuk perimpitan norma yang sudah pernah dibatalkan MK.
Enny juga mengungkapkan beberapa peraturan pemerintah perihal ketenagakerjaan dibuat tanpa delegasi dari UU Cipta Kerja dan banyak materi dalam peraturan pemerintah yang seharusnya menjadi materi undang-undang, terutama yang menyangkut hak dan kewajiban pekerja serta pengusaha. "Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentuk udang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No 6/2023,” kata Enny saat membacakan pertimbangan putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023.
MK pun mendesak pembentuk undang-undang untuk segera membuat UU Ketenagakerjaan yang baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja. Dalam putusannya, MK menegaskan beberapa poin penting. Misalnya, untuk tenaga kerja asing, MK menyatakan TKA hanya boleh dipekerjakan di jabatan tertentu dengan kualifikasi sesuai, serta tetap mengutamakan tenaga kerja lokal.
Mengenai PKWT, MK menegaskan masa kerja dalam kontrak tidak boleh lebih dari lima tahun, termasuk perpanjangan. Kontrak kerja ini harus ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin. MK juga menghidupkan kembali aturan upah minimum sektoral yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. Suhartoyo menyatakan upah minimum sektoral sangat penting untuk kesejahteraan pekerja di sektor tertentu yang memiliki risiko atau spesialisasi lebih tinggi.
Suhartoyo menyampaikan, penghapusan ketentuan upah minimum sektoral berpotensi menurunkan standar perlindungan bagi pekerja di sektor-sektor tertentu yang membutuhkan standar upah lebih tinggi.
"Dengan dihilangkannya ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam UU Nomar 6 Tahun 2023, terdapat potensi penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Suhartoyo.(*)