Logo
>

DPR: Fiskal Aman, Ekonomi Kita Tak Mudah Digertak

DPR menilai fiskal Indonesia masih aman meski ada tekanan. Ia mendorong evaluasi pajak korporasi dan strategi pertumbuhan lewat hilirisasi dan program MBG.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR: Fiskal Aman, Ekonomi Kita Tak Mudah Digertak
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun (paling kanan) dalam sebuah diskusi di Kompeks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai kondisi fiskal dan moneter Indonesia saat ini masih terkendali meski menghadapi sejumlah tekanan. Ia meminta publik menunggu data penerimaan lengkap sebelum mengambil kesimpulan, terutama mengenai pajak dari sektor korporasi.

    “Kalau dari sisi fiskal, tekanan kita ada di penerimaan. Tapi belum final karena kita masih tunggu pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan dari korporasi yang jatuhnya di April,” ujar Misbakhun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 24 April 2025.

    Misbakhun mengatakan penerimaan pajak dari wajib pajak perorangan sudah masuk di bulan Maret, sementara penerimaan dari korporasi masih berproses di bulan April. Komisi XI lantas menjadwalkan rapat evaluasi khusus pada Mei mendatang. “Kami akan undang rapat khusus soal penerimaan pajak, kepabeanan, dan PNBP. Nanti akan kita bahas titik-titik mana yang perlu perhatian, termasuk kemungkinan revisi koordinasi teknis (Kortek),” Katanga.

    Sementara itu, dari sisi moneter, Misbakhun menyoroti tekanan utama yang datang dari pelemahan nilai tukar. Namun ia tetap optimistis jika program strategis pemerintah seperti hilirisasi dan Makan Bergizi Gratis tau MBG berjalan efektif. “Itu bisa jadi pengungkit pertumbuhan ekonomi yang kuat di kuartal-kuartal berikutnya,” katanya.

    Misbakhun berujar alokasi MBG sebesar Rp171 triliun memiliki potensi besar untuk mendorong penciptaan lapangan kerja, menghidupkan rantai pasok lokal, hingga memperkuat ekonomi masyarakat dari tingkat terbawah. Ia menilai program ini akan membentuk ekosistem ekonomi yang hidup, mulai dari penyediaan bahan baku makanan hingga dapur-dapur produksi di berbagai daerah. Dengan kata lain, langkah ini akan menghidupkan ekonomi riil di tengah masyarakat.

    Komisi XI, kata Misbakhun, akan terus mengawal realisasi kebijakan fiskal dan moneter agar tetap selaras dengan target pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. "Yang penting kita jaga agar semua bergerak tepat sasaran. Momentum pemulihan ini harus direspons dengan strategi yang kuat, terarah, dan inklusif,” katanya.

    Penerimaan Negara Tumbuh Stabil, Tapi Tantangan Masih Ada

    Setelah Misbakhun menyebut perlunya menunggu data SPT korporasi untuk mengukur kekuatan fiskal secara utuh, data dari Badan Pusat Statistik memberikan gambaran awal bahwa penerimaan negara masih dalam tren positif. Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan negara terus mengalami pertumbuhan, meski tantangannya juga tak kecil.

    Pada tahun 2022, total penerimaan dalam negeri tercatat sebesar Rp2.630,1 triliun. Angka ini tumbuh menjadi Rp2.634,1 triliun pada 2023, dan diproyeksikan naik lagi ke Rp2.801,9 triliun di tahun 2024. Artinya, selama dua tahun berturut-turut, negara masih mampu meningkatkan kapasitas pendapatannya, dengan pertumbuhan sekitar Rp171 triliun dalam setahun terakhir.

    Kontributor terbesar tetap datang dari sektor perpajakan. Penerimaan perpajakan tumbuh dari Rp2.034,6 triliun di tahun 2022 menjadi Rp2.308,9 triliun di tahun 2024. Rinciannya, pajak dalam negeri seperti PPh dan PPN menyumbang mayoritas penerimaan pajak, dengan angka di atas Rp2.230 triliun di tahun ini.

    Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga menunjukkan konsistensi. Pada 2022, PNBP tercatat sebesar Rp592,6 triliun, lalu turun sedikit di 2023 menjadi Rp531,4 triliun, namun kembali naik ke Rp492,1 triliun di tahun 2024—meski lebih rendah dibanding dua tahun sebelumnya. Ini menunjukkan adanya tekanan di sektor non-pajak, salah satunya dari penurunan pendapatan sumber daya alam dan dividen BUMN.

    Penerimaan negara bukan pajak dari sektor kepabeanan dan cukai cukup signifikan, yakni sekitar Rp268,5 triliun pada 2024. Tapi angkanya terlihat stagnan jika dibandingkan dengan 2023 yang mencapai Rp273,8 triliun. Penurunan ini bisa dihubungkan dengan tekanan eksternal, seperti perlambatan ekonomi global dan penurunan volume ekspor-impor.

    Di tengah tekanan nilai tukar dan kebutuhan stimulus pertumbuhan, pemerintah mengandalkan program-program sosial seperti MBG (Makan Bergizi Gratis) untuk menjadi pengungkit ekonomi rakyat. Dengan alokasi Rp171 triliun, MBG diproyeksikan akan menciptakan efek berganda—baik dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun penguatan ekonomi lokal.

    Namun, untuk menjaga program seperti ini tetap berjalan, penerimaan negara harus terus digenjot. Di sinilah tantangannya. Misalnya, jika realisasi perpajakan dari korporasi meleset dari target, maka pos belanja seperti MBG bisa terdampak. Apalagi, sebagian besar program strategis pemerintah tahun ini sangat bergantung pada pendanaan fiskal, bukan pembiayaan utang.

    Hilirisasi Penggerak Investasi

    Dari sisi hilirisasi, pemerintah menilai strategi terus menjadi penggerak utama pertumbuhan investasi di Indonesia. Menteri Investasi Rosan Perkasa Roeslani mengatakan hilirisasi telah memainkan peran sentral dalam memperbesar nilai tambah sektor industri dan membuka peluang kerja baru bagi masyarakat. “Hilirisasi memainkan peran penting dalam meningkatkan investasi di Indonesia. Yang paling penting, hilirisasi ini memungkinkan kita memiliki produk dengan nilai tambah dan menciptakan lapangan pekerjaan,” katanya dalam konferensi pers pada medio Oktober 2024 lalu, dikutip dari laman bkpm.go.id.

    Rosan mengatakan hilirisasi sangat mempengaruhi realisasi investasi nasional selama triwulan III 2024 dengan capaian Rp431,48 triliun. Angka ini mencatatkan kenaikan sebesar 15,24 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sektor-sektor yang terkait dengan hilirisasi menyumbang hingga Rp91,51 triliun, atau setara 21,2 persen dari total investasi di triwulan tersebut.

    Selain mendorong pencapaian 26,15 persen dari target investasi nasional tahun 2024, realisasi tersebut juga berkontribusi pada penciptaan lebih dari 650 ribu lapangan kerja di seluruh Indonesia. “Kita melihat angka (hilirisasi) ini cukup konsisten, baik secara triwulanan, tahunan, maupun lima tahunan, selalu di atas 20 persen. Ini menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo sudah menghasilkan dampak yang sangat positif,” kata Rosan.

    Tren pertumbuhan juga terlihat dari segmen Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). PMDN tercatat naik 11,62 persen dari tahun sebelumnya dengan nilai mencapai Rp198,83 triliun. Sementara PMA mencatat kenaikan lebih tinggi, sebesar 18,55 persen dengan nilai investasi Rp232,65 triliun. PMA kini menyumbang lebih dari separuh porsi total investasi nasional, atau sekitar 53,92 persen.

    Lima negara penyumbang terbesar investasi asing di Indonesia pada triwulan ini adalah Singapura dengan nilai investasi mencapai USD5,50 miliar, disusul oleh Hong Kong (USD2,24 miliar), China (USD1,86 miliar), Malaysia (USD0,99 miliar), dan Amerika Serikat (USD0,84 miliar).

    Sementara itu, dari sisi sektor usaha, investasi terbesar datang dari bidang Transportasi, Pergudangan, dan Telekomunikasi yang mengantongi Rp58,04 triliun. Selanjutnya, sektor Industri Logam Dasar menyusul dengan Rp55,87 triliun, diikuti Pertambangan (Rp44,64 triliun), Industri Kimia dan Farmasi (Rp31,61 triliun), serta Industri Makanan (Rp31,30 triliun).(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.