KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari, mengungkap pelaksanaan transisi energi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar. Salah satunya adalah komponen dalam negeri yang tergolong lebih mahal.
Ia menjelaskan, ada beberapa pekerjaan rumah terkait transisi energi yang perlu segera ditangani oleh pemerintahan baru. Salah satu yang paling disorotinya adalah kemampuan industri lokal dalam memproduksi komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
“Tantangan industri lokal dalam memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) masih sangat terasa. Komponen dalam negeri relatif lebih mahal dan produksinya juga terbatas,” ujar Diah, di Jakarta, Minggu, 29 September 2024.
Ia menambahkan, aturan pemerintah terkait syarat minimal TKDN dalam pelaksanaan proyek pembangkit listrik EBET belum sepenuhnya efektif.
Kemampuan industri lokal masih memerlukan waktu untuk bisa menghadirkan produk yang kompetitif secara kualitas dan harga.
“Regulasi yang belum lengkap dan kurang tersinkronisasi harus segera diperbaiki. Selain itu, pemerintah juga harus fokus pada insentif terkait kebutuhan komponen untuk kebutuhan pembangkit listrik EBET, agar transisi energi ini semakin terjangkau dan dapat mencapai titik optimalnya,” ucap dia.
Diah berharap, pemerintahan baru yang akan dilantik dapat menjadikan agenda transisi energi sebagai prioritas utama.
“Dengan regulasi yang kuat dan kebijakan yang komprehensif, Indonesia bisa merasakan dampak positif dari transisi energi secara optimal, tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk keberlanjutan bumi,” tutupnya.
RUU EBET Power Wheeling Dinilai Bebani APBN
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, menilai bahwa memasukkan skema power wheeling ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dapat menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang. Ia mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI tidak memasukkan skema tersebut dalam RUU EBET.
Menurut Abra, skema power wheeling memungkinkan pembangkit listrik swasta menjual listrik energi terbarukan langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi dan distribusi milik negara. Seperti keterangannya di Jakarta, Selasa 10 September 2024.
Hal ini berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, karena karakteristik energi terbarukan yang bersifat intermiten, sehingga memerlukan cadangan putar (spinning reserve) untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan.
Abra memperkirakan bahwa setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui skema power wheeling dapat mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun, yang mencakup biaya take or pay dan backup cost. Tambahan beban ini akan membebani keuangan negara dan berdampak pada APBN di periode mendatang.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah sebenarnya telah memberikan peluang bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, di mana porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW dari target tambahan pembangkit EBT sebesar 20,9 GW.
Abra mengingatkan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk waspada terhadap risiko finansial yang ditimbulkan oleh implementasi skema power wheeling. Ia menyarankan agar fokus pada pengembangan EBT tetap melalui mekanisme yang telah ada tanpa perlu menambahkan skema yang berpotensi membebani keuangan negara.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam pembahasan RUU EBET yang memuat pasal tentang power wheeling, karena risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang dapat berdampak langsung pada pembangunan dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Adopsi Energi Terbarukan
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengaturan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat pengembangan dan adopsi energi terbarukan di Indonesia.
“Hal ini pada akhirnya berkontribusi terhadap tercapainya target bauran energi terbarukan dan net zero emission (NZE) atau netral karbon pada 2060 atau lebih awal,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.
IESR memandang aturan power wheeling untuk energi terbarukan dalam RUU EBET perlu didukung oleh para pembuat kebijakan. Aturan ini dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik, efisiensi biaya operasional, serta mendorong perluasan jaringan listrik.
Selain itu, aturan ini memungkinkan kerja sama antara wilayah usaha, dan aplikasi teknologi energi terbarukan yang lebih luas untuk mendukung dekarbonisasi sektor industri dan transportasi. Aturan ini juga mengurangi beban PLN dalam membeli listrik dari pengembang.
Fabby menjelaskan, skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik, bukan hal baru. Skema ini sudah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagalistrikan, namun belum dijalankan.
Fabby juga mengatakan bahwa power wheeling merupakan keniscayaan dengan struktur pasar kelistrikan Indonesia saat ini, yaitu regulated vertical integrated atau dioperasikan oleh perusahaan tunggal dan di bawah pengawasan pemerintah.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.