Logo
>

DPR Minta Pemerintah Ikut Redakan Perang India-Pakistan

Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan mendesak Indonesia mengambil peran aktif sebagai penengah dalam konflik India-Pakistan yang kembali memanas dan menelan korban sipil.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR Minta Pemerintah Ikut Redakan Perang India-Pakistan
DPR RI minta pemerintah Indonesia ikut redakan konflik India-Pakistan. Nico Siahaan dorong diplomasi damai dan seruan penghentian kekerasan.

KABARBURSA.COM - Ketegangan terbaru antara India dan Pakistan kembali memakan korban. Rentetan serangan balasan dan krisis air lintas negara menandai eskalasi baru konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun di kawasan Kashmir. Di tengah situasi yang genting ini, anggota Komisi I DPR RI, Junico Siahaan, menyerukan agar Indonesia memainkan peran lebih aktif dalam upaya diplomatik untuk menghentikan kekerasan dan mendorong penyelesaian damai antara dua negara bertetangga tersebut.

“DPR RI menyesalkan jatuhnya korban sipil dalam konflik Pakistan-India, dan kami menyerukan penghentian segera terhadap segala bentuk aksi militer yang memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah Kashmir maupun wilayah terdampak lainnya di kedua negara,” kata Junico Siahaan, di Jakarta, Minggu, 12 Mei 2025.

Konflik kali ini dipicu oleh serangan rudal India ke wilayah Pakistan yang dituding sebagai pelaku serangan di Kashmir. Pakistan membantah keras tudingan tersebut dan mengancam balasan. Situasi makin runyam ketika India menghentikan aliran air dari dua bendungan besar ke Pakistan—kebijakan yang berdampak pada 240 juta jiwa di wilayah hilir.

Nico, sapaan akrab politisi PDI-P itu, mengingatkan agar konflik dua negara nuklir ini tidak berujung pada bencana kemanusiaan besar. Ia secara tegas menyerukan penghentian segala bentuk agresi yang justru memperlebar luka diplomatik.

“Kami harap, perang dua negara bersaudara ini tidak sampai menimbulkan dampak kemanusiaan yang lebih parah,” tuturnya.

Meski kedua negara sempat menyepakati gencatan senjata, dentuman dan ledakan masih terdengar. Nico menilai komitmen damai perlu diperkuat dan disertai keinginan politik yang serius dari masing-masing pihak.

“Tentunya kami berharap Pakistan dan India betul-betul berkomitmen melakukan gencatan senjata, dan segera berunding dengan kepala dingin agar perang dapat segera dihentikan,” ungkap Nico.

Sebagai anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri, Nico juga menyoroti pentingnya pendekatan diplomasi damai yang inklusif. Ia menekankan bahwa kekerasan tak akan pernah menyelesaikan konflik yang telah berlangsung sejak 1947 itu.

“Kekerasan tidak pernah dapat menjadi solusi atas konflik yang telah berlarut-larut selama puluhan tahun,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa kedua negara adalah pemilik senjata nuklir dan konflik bersenjata di antara mereka bisa memicu efek domino yang merugikan kawasan bahkan dunia.

“Maka kami mendorong India dan Pakistan untuk menahan diri serta kembali ke meja dialog melalui mekanisme bilateral maupun forum internasional,” katanya.

Meskipun ketegangan antara India dan Pakistan kerap memicu kekhawatiran investor global, nyatanya pasar saham India kerap menunjukkan daya tahan yang mengejutkan. Dalam beberapa dekade terakhir, konflik geopolitik justru tidak berdampak signifikan terhadap indeks saham utama seperti Sensex dan Nifty.

Contoh klasik adalah konflik Kargil tahun 1999. Kala itu, meskipun India dan Pakistan berada di ambang perang besar, Sensex hanya turun tipis 0,8 persen dan segera pulih begitu gencatan senjata diumumkan. Begitu juga pada 2001 saat parlemen India diserang, pasar sempat terkoreksi, tapi tak lama kemudian bangkit.

Lebih mencolok lagi adalah peristiwa teror Mumbai pada November 2008. Selama dua hari penyerangan berlangsung, alih-alih panik, indeks Sensex justru naik sekitar 400 poin. Nifty pun ikut menguat. Ini membuktikan bahwa investor—khususnya domestik—sudah terbiasa dengan tensi geopolitik dan cenderung menilai bahwa gejolak bersifat sementara.

Ancaman Nuklir hingga Gejolak Pasar Global


Bayangan perang nuklir mengintai ketegangan Asia Selatan saat konflik India–Pakistan kembali memanas. Kedua tetangga bersenjata nuklir ini terus memperbesar persenjataan strategis—SIPRI melaporkan India dan Pakistan tengah mengembangkan rudal dengan multi-hulu ledak—menjadikannya potensi “perang Asia Selatan” yang amat berbahaya.

Meski para analis menilai penggunaan senjata nuklir tetap kecil kemungkinannya, Direktur SIPRI Dan Smith memperingatkan hal itu bukan berarti mustahil. “Peluangnya jauh dari besar, tapi bukan berarti mustahil,” katanya, dikutip dari Sipri.org di Jakarta, Selasa, 13 Mei 2025.

Dengan situasi ini, sedikit kesalahan hitung di antara kedua negara dapat memicu krisis nuklir global yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dari perspektif kemanusiaan, guncangan konflik sudah dirasakan luas. Warga sipil terpukul hebat: Reuters menggambarkan penduduk desa dan wisatawan berlarian ke tempat aman saat ledakan menghantam Kashmir, sementara keluarga-keluarga di dekat perbatasan terpaksa mengungsi ke gedung sekolah darurat.

Turis dan penduduk sipil panik berlindung di bunker, stok pangan menipis, pertandingan kriket di Amritsar bahkan dihentikan karena rasa takut. Para pakar pengungsi mengingatkan bahwa jika konflik meluas, rentetan peristiwa seperti Partisi 1947 atau perang Bangladesh 1971 dapat terulang: jutaan orang terlunta-lunta.

Fakta saat ini pun mengkhawatirkan—UNHCR mencatat hingga akhir April 2024 sudah ada sekitar 120 juta jiwa dunia yang terpaksa mengungsi akibat perang dan kekerasan—dan perang India–Pakistan hanya akan menambah beban krisis pengungsi global.

Kisruh ini juga menguji stabilitas geopolitik kawasan Indo-Pasifik. Beijing, sekutu dekat Pakistan, menyatakan “keprihatinan mendalam” dan mendesak kedua pihak “mengutamakan perdamaian dan stabilitas.”

Amerika Serikat telah menekan gencatan senjata dan memperingatkan bahwa eskalasi di antara dua kekuatan nuklir ini bisa meluas, bahkan “mengacaukan keamanan global” jika berlanjut. Para analis menilai kekuatan besar harus bersikap cepat: tekanan internasional diperlukan untuk mencegah situasi “lepas kendali.”

Pasalnya, dampak geopolitik konflik ini tidak terbatas di Daratan Hindia saja. Perang India–Pakistan mengganggu aliansi strategis di Asia Selatan dan bisa mempengaruhi peta kekuatan Indo-Pasifik yang sedang bergejolak—seperti memaksa Australia, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara meninjau ulang kebijakan pertahanan mereka.

Dari sudut keuangan, ketidakpastian geopolitik langsung mengguncang pasar global. Bursa India ambruk dalam dua hari, kehilangan sekitar USD83 miliar (sekitar Rp1.369 triliun) nilai pasar saham karena investor terkejut. Mata uang rupee menyentuh titik lemah dua tahun dan imbal hasil obligasi naik setelah aksi militer terbaru.

Di Asia, kejutan meluas: satu analisis pasar mencatat indeks saham regional anjlok tiga hingga enam persen, sementara komoditas safe-haven melonjak—harga emas naik tajam dan minyak mentah Brent sempat menembus USD90 per barel (sekitar Rp1,49 juta).

Kenaikan aset anti-risiko itu menunjukkan para investor mencari perlindungan. Fenomena ini mirip saat krisis geopolitik lain terjadi: konflik yang awalnya lokal saja sudah cukup memicu gejolak di bursa dunia, memperlihatkan betapa konflik India–Pakistan membawa riak hingga sentimen pasar global.

Rangkaian peristiwa ini—dari ancaman nuklir dan gejolak pengungsi hingga guncangan pasar—menandakan bahwa krisis India–Pakistan bukan sekadar ketegangan regional. Dampak global dan dampak geopolitiknya terasa dalam segala lini, mulai kehidupan warga biasa yang melarikan diri, jalannya diplomasi internasional yang terguncang, hingga portofolio investasi lintas benua yang bergejolak.

Observasi para ahli sangat tegas: perang Asia Selatan yang tak terkendali bisa melahirkan bencana kemanusiaan dan kerusakan ekonomi sekuat gempa besar. Kini dunia menahan napas, berharap kedua negara menahan diri sebelum badai ini tak terkendali. Sementara itu, lembaga-lembaga dunia seperti PBB, UNHCR, hingga bank-bank global terus menghitung skenario dan siap memberi bantuan kemanusiaan jika krisis benar-benar meluas.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.