KABARBURSA.COM - Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo, mendesak pemerintah menunda dan mengkaji ulang pemberlakuan subsidi atau public service obligation (PSO) kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK) pada 2025. Selain mendapat penolakan dari komunitas pengguna KRL, subsidi berbasis NIK ini dinilai diskriminatif dan tidak pro rakyat.
"PSO pada KRL adalah amanat UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian untuk menjamin tarif yang terjangkau bagi masyarakat. Sebagai bentuk pelayanan publik, pemberian subsidi KRL juga seharusnya mengedepankan prinsip kesamaan hak. Tidak boleh diskriminatif. Jika subsidi diberlakukan berdasarkan NIK, artinya sudah ada tindakan diskriminatif dalam pemberian layanan publik," kata Sigit Sosiantomo dalam keterangan tertulis yang diterima Kabar Bursa, Minggu, 1 September 2024.
Sigit juga menilai rencana pemerintah memberlakukan subsidi KRL berbasis NIK sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Menurutnya, skema baru ini justru dapat menambah beban ekonomi bagi masyarakat pengguna KRL yang tidak memiliki akses subsidi, terutama kelas menengah ke bawah. "Rakyat berhak mendapatkan transportasi yang murah dan nyaman sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian," ujarnya.
Sigit menjelaskan banyak masyarakat yang bergantung pada KRL untuk perjalanan sehari-hari, terutama bagi mereka yang bekerja. Kelompok pengguna KRL ini umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Menurutnya, kalangan yang lebih mampu cenderung memilih mobil pribadi karena lebih nyaman.
Jika subsidi KRL dibatasi berdasarkan NIK, hal ini akan membebani kelompok tersebut karena tarif KRL akan naik. Di tengah penurunan daya beli masyarakat dan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, Sigit berpendapat bahwa PSO seharusnya ditambah, bukan malah dibatasi.
Sigit pun meminta pemerintah menunda dan meninjau ulang kebijakan PSO KRL berbasis NIK. Menurutnya, kebijakan subsidi KRL harus lebih pro rakyat, karena masyarakat berhak mendapatkan transportasi yang murah dan nyaman.
Daya Beli Masyarakat Melemah
Diketahui, pada 2024, daya beli masyarakat Indonesia menunjukkan tanda-tanda melemah akibat beberapa faktor ekonomi yang mempengaruhi kondisi keuangan rumah tangga. Pelemahan daya beli ini disebabkan oleh pengurangan subsidi di bidang energi dan tekanan inflasi akibat kenaikan harga barang dan jasa, yang meningkatkan beban biaya hidup, terutama kebutuhan pokok seperti makanan, energi, dan transportasi.
Berdasarkan data Survei Konsumen yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) edisi November 2023, rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp5 juta sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan terdalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta, diikuti oleh kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat harus merelakan tabungannya. Berdasarkan survei yang sama, alokasi pendapatan masyarakat untuk menabung mengalami penurunan dari 15,7 persen menjadi 15,4 persen.
Jokowi Mengaku Tidak Tahu
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan rencana penerapan subsidi untuk Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) belum dibahas dalam rapat kabinet. "Saya enggak tahu, karena belum ada rapat mengenai hal itu," ujar Jokowi usai meresmikan Gedung Pelayanan Kesehatan Respirasi Ibu dan Anak di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, Jumat, 30 Agustus 2024.
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, wacana subsidi KRL berbasis NIK memiliki niat baik, namun belum dapat diimplementasikan dalam waktu dekat. Menurut Djoko, kondisi armada KRL saat ini belum optimal untuk menerapkan pembedaan pembayaran tiket berdasarkan kemampuan ekonomi pengguna. "Karena kondisi sekarang ini armadanya kan belum maksimal. Nanti saja setelah itu maksimal, baru diterapkan," kata Djoko, dikutip dari Antara.
Djoko menjelaskan kajian mengenai subsidi KRL sebenarnya sudah dilakukan sejak 2018. Ia menyarankan agar subsidi tiket KRL tidak diberikan setiap hari, melainkan hanya pada hari kerja. Pada akhir pekan dan hari libur, tarif normal bisa diberlakukan, sehingga dana yang dihemat dapat dialokasikan untuk program lain yang lebih mendesak.
“Kalau Sabtu-Minggu nggak disubsidi, kita bisa hemat sampai sepertiga dari Rp1,6 triliun, yang bisa dilarikan ke daerah lain yang lebih membutuhkan," ungkap Djoko.
Djoko menambahkan, subsidi berbasis NIK merupakan upaya pemerataan bantuan ke wilayah lain di luar Jabodetabek yang selama ini kurang mendapat perhatian. "Indonesia kan bukan Jabodetabek saja. Banyak daerah lain yang tak kebagian subsidi, padahal mereka penghasil mineral, seperti Morowali dan Halmahera, tapi masyarakatnya tetap melarat," kata Djoko.
Meski demikian, Djoko menegaskan bahwa subsidi KRL berbasis NIK tetap menguntungkan masyarakat kelas bawah. Namun, ia mengingatkan bahwa masyarakat yang mampu harus jujur mengenai pekerjaannya. Pemerintah juga perlu menetapkan aturan dan sanksi tegas bagi mereka yang memalsukan data demi mendapatkan subsidi.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa rencana pemberian subsidi berbasis NIK untuk KRL Jabodetabek pada 2025 masih bersifat wacana. "Itu belum, masih wacana," kata Budi.
Budi mengatakan pemerintah saat ini tengah melakukan studi agar angkutan umum bersubsidi hanya digunakan oleh mereka yang benar-benar berhak. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan final mengenai hal ini belum diambil. (*)