KABARBURSA.COM - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah Negeri Tirai Bambu merespons kebijakan tarif resiprokal Donald Trump dengan balasan tarif 34 persen atas seluruh produk impor asal AS. Namun di tengah duel dua raksasa dunia itu, Vietnam mengambil jalan berbeda. Negeri Naga Biru itu menjanjikan tarif nol persen untuk produk-produk AS. Sikap ini dinilai sebagian kalangan sebagai langkah yang terlalu terburu-buru.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai respons kedua negara mencerminkan posisi dan kepentingan ekonomi masing-masing. China, menurutnya, memilih untuk melawan karena menyadari tekanan dari AS bukan sekadar persoalan dagang, tetapi bagian dari agenda besar mempertahankan hegemoni global.
“China paham bahwa AS tidak akan berhenti menekan, apapun respons kebijakan yang China lakukan. Berdiri gagah melawan adalah pilihan yang rasional bagi China,” kata Samirin dalam keterangan tertulis, Minggu 6 April 2025.
Sementara itu, Vietnam yang sangat bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat justru memilih sikap sebaliknya. Negara tersebut berencana menghapus semua bea masuk terhadap produk asal AS sebagai bentuk respons terhadap kebijakan tarif tinggi dari Washington.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump telah mengumumkan tarif sebesar 46 persen terhadap barang-barang dari Vietnam, setelah melakukan percakapan langsung lewat telepon dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam.
“Tambahan tarif sebesar 46 persen dari Trump akan mengakhiri era keemasan dan mengubahnya menjadi resesi bahkan depresi,” kata Wijayanto.
Namun, ia menilai respons Vietnam membuka celah bagi Trump untuk menjadikannya target baru dalam strategi tarif berikutnya. “Vietnam telah salah langkah dengan membuka kartu tuff terlalu awal. Seolah ia pasrah bongkokan sehingga berisiko dijadikan sasaran empuk Trump yang memang gemar mem-bully,” katanya.
Seperti sebagian besar tetangganya di Asia Tenggara, Vietnam meniru langkah Jepang, China, dan negara eksportir besar lainnya dalam menggantungkan pembangunan ekonominya pada perdagangan dan investasi asing. Dilansir dari Associated Press, tahun lalu, Vietnam mencatatkan surplus perdagangan terbesar ketiga terhadap Amerika Serikat—hanya kalah dari Meksiko dan China—dengan nilai mencapai USD123,5 miliar. Komoditas andalan mereka meliputi mesin, tekstil, dan alas kaki.
Lonjakan ekspor sebesar 14 persen berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Vietnam ke level yang signifikan, yakni 7,1 persen secara tahunan pada 2024. Demi meredam tekanan dari Trump dan menurunkan surplus dagangnya, pemerintah Vietnam pun yang segan mengumumkan pemangkasan tarif atas sejumlah komoditas asal AS seperti gas alam cair (LNG), mobil, etanol, dan produk pertanian tertentu.
Selain itu, Vietnam juga membuka pintu bagi Elon Musk. Mereka sepakat memberi izin peluncuran layanan internet satelit Starlink untuk masa uji coba selama lima tahun. Langkah ini diyakini sebagai bagian dari strategi diplomatik Vietnam untuk menjaga hubungan dagang tetap adem dengan Washington.
Peta Negara Sasaran Tarif Trump
Donald Trump sebelumnya merilis daftar tarif baru yang diumumkan langsung dari Rose Garden di Gedung Putih. Dalam kebijakan terbarunya, puluhan negara masuk dalam daftar target tarif dagang resiprokal.
Trump menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah untuk mengembalikan keseimbangan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, bahkan diperkosa dalam sistem perdagangan dunia yang timpang,” ujarnya lantang di hadapan para pendukung yang memberi tepuk tangan, meski pernyataan ini juga menuai kecaman dari sejumlah ekonom dan politisi.
Melalui unggahan di akun Instagram resminya @potus, Gedung Putih merinci besaran tarif berdasarkan defisit perdagangan bilateral masing-masing negara terhadap AS. China, sebagai eksportir terbesar ke Negeri Paman Sam, dijatuhi tarif sebesar 34 persen. Vietnam dikenai beban lebih besar lagi, yakni 46 persen. Indonesia pun ikut masuk radar, dengan tarif baru sebesar 32 persen—jauh lebih tinggi dari tarif normal yang biasanya di bawah 5 persen.
Dalam daftar tarif resiprokal tersebut, tidak semua negara dikenai bea masuk tinggi. Sejumlah negara seperti Inggris, Australia, dan Brasil justru tergolong dalam kelompok dengan tarif paling ringan. Ketiganya hanya dikenai tarif tambahan 10 persen sebagai bentuk penyesuaian atas surplus dagang bilateral, yang ditambah dengan tarif dasar 10 persen sehingga total bea masuk menjadi 20 persen.
Tarif ini tidak asal tetapkan. Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengklaim telah menyusun formula khusus untuk menghitung besaran tarif resiprokal. Rumus yang digunakan adalah:
Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)
Artinya, perubahan tarif dihitung berdasarkan selisih ekspor dan impor tiap negara terhadap AS, kemudian dibagi oleh dua variabel: elastisitas permintaan impor (ε) dan seberapa besar tarif memengaruhi harga (φ). Negara dengan surplus besar dinilai terlalu banyak mengambil keuntungan dari pasar AS, sehingga dikenai tarif yang lebih tinggi.
Dalam dokumen ringkasan USTR, nilai elastisitas (ε) ditetapkan 4, sementara tingkat pengaruh harga (φ) sebesar 0,25. Data perdagangan yang digunakan berasal dari tahun 2024. Dengan formula ini, tarif resiprokal yang dikenakan AS berkisar antara 10 persen hingga 99 persen. Jika dihitung berdasarkan bobot volume impor, rata-rata tarif global yang dikenakan berada di angka 41 persen.
Berikut adalah daftar negara-negara yang dikenakan tarif resiprokal oleh AS: