KABARBURSA.COM – Kebijakan proteksionis yang direncanakan oleh Donald Trump kembali menjadi perhatian dalam dinamika perdagangan internasional. Kebijakan tersebut berpotensi mendorong lonjakan barang impor asal China ke Indonesia, baik melalui jalur legal maupun jalur penyelundupan.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah Indonesia untuk menghadapi situasi ini.
“Kita harus dari sekarang menyiapkan regulasi untuk menahan pelaju barang dari Cina ketika itu diterapkan. Baik itu melalui jalur legal, ataupun melalui jalur penyelundupan. Yang penyelundupan harus diberantas habis, seawal mungkin. Karena bisa jadi mayoritas nanti melalui jalur penyelundupan itu,” tegas Wijayanto dalam sesi wawancara Kabar Bursa Hari Ini (KBHI), Rabu, 22 Januari 2025.
Kondisi ini, menurut Wijayanto, berpotensi terjadi apabila Trump mengenakan tarif terhadap barang-barang China. Hal ini membuat China mencari pasar baru yang fluktuatif, besar, dan mudah dimasuki—dengan Indonesia sebagai salah satu target utama. Pemerintah harus segera memperketat pengawasan dan memberantas potensi jalur ilegal yang dapat merugikan perekonomian domestik.
Selain itu, Wijayanto juga menyoroti pentingnya antisipasi terhadap dampak kebijakan ini melalui jalur investasi, terutama yang berbentuk investasi portfolio.
“Yang saya agak concern sebenarnya jalur investasi yang sifatnya portfolio. Karena itu akan sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah,” tambahnya.
Ia menjelaskan, saat ini stabilitas nilai tukar rupiah bertumpu pada dua pilar utama: harga komoditas yang tinggi dan aliran dana masuk dari luar negeri melalui Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga Ritel Indonesia (SRBI). Namun, kondisi tersebut dinilai rawan karena volume SBN dan SRBI sudah sangat besar dan risikonya dianggap tinggi oleh investor. Ke depan, Indonesia harus lebih selektif dalam mengandalkan instrumen ini.
Sebagai langkah konkret, Wijayanto menyarankan pemerintah untuk memperketat regulasi terkait Dana Hasil Ekspor (DHE). Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, yang menyebutkan bahwa “100 persen harus di Indonesia selama satu tahun.” Namun, ia menekankan pentingnya komunikasi dengan dunia usaha agar kebijakan tersebut tidak menjadi beban bagi para eksportir.
“Jangan sampai kebijakan itu justru akan memberatkan para eksportir. Karena mereka pasti membutuhkan ketika ekspor, menerima devisa, mereka perlu dana untuk mengimpor, untuk membiayai asuransi, logistik, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Wijayanto berpesan pemerintah Indonesia perlu mengembangkan regulasi yang progresif dan responsif terhadap situasi ini, dengan tetap mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan. Langkah ini penting untuk melindungi perekonomian nasional sekaligus menjaga keseimbangan dalam perdagangan internasional.
Investasi Besar-besaran China
Salah satu kekhawatiran dari terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) adalah terjadinya perang dagang dengan China yang dapat mengakibatkan masalah di sektor otomotif.
“Kemungkinan perang dagang antara USA dan China kembali memanas berada pada tingkat yang signifikan,” kata pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu kepada kabarbursa.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Yannes mengatakan, terpilihnya Trump akan membuat AS lebih condong memprioritaskan kendaraan bermesin internal combustion engine (ICE) karena Presiden AS ke-47 ini merupakan pro fosil.
Sebaliknya, China justru lebih fokus untuk beralih ke battery electric vehicle (BEV) dengan target penjualan sebesar 45 persen dari kendaraan baru pada tahun 202 menjadi pemicu utama.
“Produsen otomotif China juga akan mengalihkan fokus mereka ke pasar Asia, khususnya Asia Tenggara dengan memindahkan rencana investasi otomotif China ke Indonesia sebagai sentra untuk pasar ASEA ketika menghadapi hambatan di pasar AS.
“Hal ini meningkatkan persaingan bagi produsen otomotif Jepang yang sangat mendominasi pasar mobil di Indonesia selama puluhan tahun,” ujarnya.
Yannes menilai Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang antara China dan AS melalui kebijakan yang tepat. Peluang tersebut, kata dia, dapat memperkuat industri otomotif nasional jangka panjang.
“Hal ini dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi baru dan memanfaatkan situasi ini untuk mendorong percepatan pengembangan industri komponen otomotif lokal, meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri atau TKDN-nya” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tetap konsisten menjalankan kebijakan BEV yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Ester menilai, Indonesia bisa meraih keuntungan, terutama dalam sektor produk elektronik, jika mampu meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia harus bisa menekan biaya produksi dan harga produk agar dapat mengisi kekosongan pasar AS yang ditinggalkan China. Selain itu, perjanjian perdagangan multilateral juga dinilai penting untuk memperluas akses Indonesia ke pasar internasional.
“Jika tidak ada perbaikan, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam kompetisi global ini,” ujar Esther.(*)