KABARBURSA.COM - Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai keputusan pemerintah memberi porsi terbesar terhadap insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP) dalam paket stimulus Rp40 triliun sebagai sikap tidak berpihak ke rakyat kecil.
Meski DTP yang diberikan nampak besar, namun dampaknya jangka panjangnya hampir tidak terasa di masyarakat. DTP yang diberikan hanya berlaku selama dua bulan, sementara tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 sifatnya permanen.
“DTP ini pada dasarnya hanya menghitung potensi total diskon penerimaan pajak yang mana hanya berlaku dua bulan, tapi kenaikan PPN pada dasarnya berlaku permanen jauh di atas dua bulan tersebut,” ujar Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu 28 Desember 2024.
Andri menyoroti bahwa sebagian besar insentif ini justru lebih banyak menguntungkan masyarakat kelas atas. Ia menyebut, PPN DTP untuk properti mencapai Rp3 triliun, sementara insentif kendaraan listrik (EV) totalnya mencapai Rp5,32 triliun.
“Nilainya cukup besar padahal dampaknya terhadap perekonomian kelas bawah dan menengah sangat minim karena mereka yang tertekan oleh kenaikan PPN ini bukanlah kelas yang bisa menikmati insentif tersebut,” tegas Andri.
Andri menjelaskan bahwa PPN adalah pajak regresif, yang artinya beban kenaikannya lebih berat bagi masyarakat berpendapatan rendah. Sebagian besar penghasilan mereka habis untuk konsumsi, sehingga proporsi pajak yang dibayar lebih besar dibandingkan masyarakat berpenghasilan tinggi yang cenderung lebih banyak menabung.
“Justru insentif dari kenaikan PPN ini nilainya lebih banyak menyasar kelas atas yang dampaknya paling kecil dibandingkan masyarakat berpendapatan rendah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andri memperingatkan bahwa minimnya manfaat insentif bagi mayoritas masyarakat dapat melemahkan daya beli. Jika daya beli terus tertekan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan turun di bawah 4,8 persen.
“Jika dampak penurunan aktivitas ekonomi tersebut terjadi lebih dalam, maka pemerintah sebenarnya justru akan menurunkan potensi penerimaan pajak dalam jangka panjang,” ujarnya.
Negara Kehilangan Pendapatan
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut insentif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat seperti potongan biaya listrik selama dua bulan sebagai kompensasi pemerintah terhadap kenaikan PPN sebesar 1 persen sebagai bantalan ekonomi.
“Itu kan tarif listrik diskon 50 persen itu untuk di bawah 2.200 VA, itu sebagai stimulus bantalan ketika kenaikan PPN,” ujar Bahlil beberapa waktu lalu.
Pihaknya mengklaim kebijakan ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus membantu masyarakat menghadapi tantangan ekonomi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani justru menyebut pemberian insentif PPN dapat membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp265,6 triliun.
“Proyeksi insentif PPN yang dibebaskan pada tahun 2025 sebesar Rp265,6 triliun,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers bertajuk ‘Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan’ di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Dia menjelaskan, pemberian insentif tersebut akan mencakup sejumlah sektor strategis, yaitu bahan makanan, UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, otomotif, properti, serta layanan dasar.
Untuk sektor makanan, diperkirakan mencapai Rp77,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50,5 triliun akan dialokasikan untuk pembebasan PPN pada barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, dan unggas.
“Selain itu, produk hasil perikanan dan kelautan akan memperoleh insentif senilai Rp26,6 triliun,” jelasnya.
Sedangkan untuk UMKM, mendapatkan alokasi insentif sebesar Rp61,2 triliun. Dalam kebijakan ini, PPN tidak akan dipungut dari pengusaha dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar, sehingga meringankan beban pelaku usaha kecil.
“Untuk sektor transportasi, total insentif mencapai Rp34,4 triliun. Jasa angkutan umum akan dibebaskan dari PPN dengan nilai Rp23,4 triliun. Selain itu, tarif khusus akan diberlakukan untuk jasa pengiriman paket dan freight forwarding dengan alokasi masing-masing Rp2,6 triliun dan Rp7,4 triliun,” kata mantan Direktur World Bank (Bank Dunia) ini.
Dan, untuk sektor pendidikan dan kesehatan diperkirakan mendapatkan insentif sebesar Rp30,8 triliun. Dengan rincian, PPN atas jasa pendidikan akan dibebaskan dengan nilai Rp26 triliun, dan pembebasan PPN untuk layanan kesehatan medis mencapai Rp4,3 triliun.
Sementara, untuk jasa keuangan dan asuransi, total insentif yang didapat mencapai Rp27,9 triliun, terdiri dari pembebasan PPN jasa keuangan senilai Rp19,1 triliun dan jasa asuransi Rp8,7 triliun. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.