Logo
>

Ekonom soal APBN 2025: Terkendali atau Masuk Zona Risiko?

Per Februari 2025, defisit APBN tercatat sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Ekonom soal APBN 2025: Terkendali atau Masuk Zona Risiko?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Wakil Menteri Keuangan I Suahasil Nazara, Wamenkeu II Thomas Djiwandono, dan Wamenkeu III Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom sekaligus Kepala Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengatakan pemerintah Indonesia tengah menghadapi tekanan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Per Februari 2025, defisit APBN tercatat sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    "Namun, tren penerimaan pajak yang terus melemah menimbulkan pertanyaan besar: apakah defisit APBN masih dalam kendali atau mulai memasuki zona risiko," kata Karimi dalam keterangannya yang diperoleh Kabarbursa.com pada Kamis, 13 Maret 2025.

    Sumber utama pendapatan negara, yaitu pajak, mengalami penurunan drastis. Hingga Februari 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp240,4 triliun, atau hanya 9,7 persen dari target tahunan, jauh di bawah angka yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu. 

    Penurunan itu mencapai 30,2 persen dari Rp187,8 triliun di Februari 2024. "Kinerja buruk ini disebabkan oleh lemahnya penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seiring batalnya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Selain itu, Pajak Penghasilan (PPh) badan juga mengalami penurunan signifikan, mencerminkan pelemahan kinerja korporasi," ujar dia. 

    Sementara penerimaan negara melemah, belanja negara terus meningkat. Hingga Februari 2025, pemerintah telah menghabiskan Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target APBN. 

    Belanja non-kementerian dan lembaga mencatat kenaikan yang cukup tinggi, mengindikasikan alokasi yang lebih besar untuk subsidi dan pembayaran bunga utang. Transfer ke daerah juga naik lebih cepat dibanding belanja kementerian dan lembaga, yang bisa menjadi beban jika tidak dikelola dengan efisien.

    "Jika pemerintah tidak mengendalikan pertumbuhan belanja, sementara penerimaan negara terus melemah, maka defisit APBN akan semakin melebar," tutur dia.

    Syaffrudin menjelaskan resiko defisit ini berada di angka 0,13 persen dari PDB memang masih dalam batas aman. Namun, pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk mengelola pembiayaan tanpa harus melakukan pemotongan belanja secara agresif.

    "Jika penerimaan negara terus gagal memenuhi target, maka pemerintah harus mencari alternatif lain untuk menutup selisih anggaran," ujar dia.

    Salah satu langkah yang kemungkinan akan diambil adalah peningkatan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Namun, menurut dia jika pemerintah terlalu bergantung pada utang untuk menutupi defisit, maka biaya pembayaran bunga akan semakin tinggi. Investor akan meminta imbal hasil yang lebih besar jika melihat risiko fiskal meningkat.

    "Jika situasi ini tidak segera dikendalikan, maka defisit APBN bukan hanya masalah angka di atas kertas, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas makroekonomi," tutur dia.

    Ia menyarankan agar pemerintah bertindak cepat untuk memastikan defisit tidak keluar dari jalur yang telah dirancang. Salah satu langkah paling krusial adalah meningkatkan kepatuhan pajak. Penerimaan pajak masih memiliki potensi besar untuk digenjot jika pengawasan dan reformasi perpajakan dijalankan dengan lebih tegas. Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap sektor yang selama ini kurang optimal dalam kontribusi pajak.  

    Selain itu, pemerintah harus lebih selektif dalam belanja negara. Anggaran harus difokuskan pada sektor yang memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

    Apalagi saat ini sistem Coretax (pembaharuan sistem pembayaran pajak) diklaim menimbulkan berbagai macam teknis yang dianggap dapat memperburuk defisit APBN.

    Coretax dianggap menurunkan penerimaan pajak ketika memiliki kendala teknis seperti gangguan pengolahan data atau dalam perhitungan pajak. Selain itu, Pengadaan dan implementasi Coretax membutuhkan investasi besar, termasuk biaya pengembangan sistem, pelatihan pegawai, dan pemeliharaan teknologi. Jika biaya ini tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak yang lebih besar, bisa menyebabkan defisit.

    Kemenkeu Telat Laporkan APBN KiTa Januari 2025

    Hari ini pada Kamis, 13 Maret 2025, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menggelar konferensi pers di kantornya untuk menyampaikan bahwa APBN pada Januari 2025 masih mengalami ketidakstabilan karena berbagai faktor. 

    Sri Mulyani menjelaskan hal itu menjadi alasan mengapa laporan kinerja APBN Januari 2025 yang seharusnya dipaparkan pada Februari mengalami penundaan. Namun, Sri Mulyani tidak merinci faktor-faktor yang di maksud.

    "Nanti dari teman-teman baik dari sisi belanja pak Wamen Suahasil akan menjelaskan perkembangan dari belanja dan pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2025," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya pada Kamis, 13 Maret 2025.

    Ia mengakui bahwa APBN pada Januari 2025 masih mengalami ketidakstabilan karena berbagai faktor. Hal ini menjadi alasan mengapa laporan kinerja APBN Januari 2025 yang seharusnya dipaparkan pada Februari mengalami penundaan. Namun, Sri Mulyani tidak merinci faktor-faktor yang dimaksud.

    "Banyak pertanyaan dari teman-teman media kenapa waktu itu bulan Februari tidak dilakukan untuk bulan Januari. Mungkin untuk menjelaskan beberapa hal yang terkait pelaksanaan APBN di awal tahun, yang kita melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor," jelasnya.

    Lebih lanjut, ia menyerahkan penjelasan terkait pendapatan negara kepada Anggito Abimanyu, sementara aspek pembiayaan akan dijelaskan oleh Tomy Singgih.

    "Kemudian dari pendapatan nanti pak Anggito akan menjelaskan mengenai beberapa hal yang menyangkut perkembangan pendapatan negara, dan juga dari sisi pembiayaan pak Tomy nanti menjelaskan mengenai berbagai hal yang terjadi di below the line," imbuhnya.

    Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan menunggu data yang lebih stabil sebelum akhirnya memutuskan untuk merilis laporan APBN Januari 2025.

    "Sehingga kami bisa memberikan suatu laporan mengenai pelaksanaan APBN kita 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan," pungkasnya.

    Dalam acara itu, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi masuk dalam daftar negara yang akan dikenakan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurutnya, kebijakan tarif tersebut menyasar negara-negara yang menyebabkan defisit perdagangan bagi AS, dengan China sebagai target utama, sementara Indonesia berada di posisi ke-15. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".