KABARBURSA.COM - Pemerintah memastikan defisit anggaran akan terus melebar dalam beberapa tahun ke depan. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, strategi fiskal tetap mengandalkan pembiayaan utang, termasuk untuk kebutuhan di luar belanja negara rutin.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyebut bahwa postur fiskal ini menyimpan risiko struktural yang semakin dalam.
"Nominal posisi utang pemerintah memang direncanakan akan terus bertambah hingga 2029," tegas Awalil dalam keterangannya.
Menurut dia, defisit anggaran yang terjadi bukan hanya untuk membiayai belanja negara, tapi juga menutup kebutuhan non-belanja seperti investasi ke BUMN, pemberian pinjaman ke pemerintah daerah dan BUMN, serta pembayaran pokok utang jatuh tempo.
“Pembiayaan utang hampir selalu lebih besar dari defisit,” ujar Awalil.
Sebagai ilustrasi, pada APBN 2025, defisit ditetapkan sebesar Rp616,19 triliun. Namun, pembiayaan utangnya mencapai Rp775,87 triliun. Artinya, pemerintah tak sekadar menutup selisih pendapatan dan belanja, tetapi juga menggulirkan utang untuk keperluan lain.
Namun ia mengkritisi bahwa pemerintah tak secara transparan menunjukkan gambaran utuh mengenai pembiayaan ini.
Tabel postur makro fiskal dalam KEM-PPKF hanya mencantumkan rasio pembiayaan anggaran, tanpa menyertakan rasio pembiayaan utang secara khusus. Informasi soal utang hanya disebutkan secara naratif tanpa angka pasti.
Berdasarkan tren sepuluh tahun terakhir, Awalil memprediksi pembiayaan utang akan tetap lebih besar dari defisit anggaran. Artinya, ketergantungan pada utang bukan hanya belum terputus, tapi justru semakin terstruktur.
Untuk diketahui, dalam sepuluh tahun terakhir, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup signifikan.
Pada tahun 2014, rasio utang tercatat sebesar 24,68 persen. Angka ini mulai mengalami peningkatan secara perlahan hingga mencapai 30,23 persen pada tahun 2019. Namun, lonjakan drastis terjadi pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 melanda, menyebabkan rasio utang melonjak tajam menjadi sekitar 40 persen.
Setelah itu, rasio utang tetap berada di kisaran yang relatif tinggi. Pada tahun 2021, angkanya sedikit menurun, namun kembali naik menjadi 39,75 persen pada tahun 2024.
Menjaga Rasio di Atas Kertas
Pemerintah berupaya menjaga rasio utang terhadap PDB dalam kisaran yang dianggap aman. Target batas bawah rasio utang tahun 2026 sebesar 39,69 persen dari PDB, lalu turun secara bertahap hingga 38,55 persen pada 2029. Sementara batas atas ditetapkan dari 39,85 persen (2026) hingga 38,64 persen (2029).
Awalil menilai angka-angka tersebut menunjukkan pemerintah sedang menghindari “batas psikologis” rasio utang sebesar 40 persen dari PDB.
“Namun, dengan glorifikasi berbagai program baru yang berbiaya besar, maka berpotensi melampauinya,” ungkapnya.
Sebagai perbandingan, pada era pertama Jokowi, batas psikologis rasio utang adalah 30 persen dari PDB dan terus dinarasikan dalam berbagai dokumen kebijakan.
Namun, batas itu tetap terlewati pada 2018 dan 2019, yakni masing-masing mencapai 30,31 persen dan 30,23 persen. Setelah pandemi, batas psikologis itu pun bergeser.
Menurut Awalil, pandemi menjadi alasan utama pemerintah menaikkan batas toleransi utang hingga 40 persen. Tetapi arah kebijakan fiskal dalam KEM-PPKF menunjukkan pola belanja tinggi akan terus dipertahankan, sehingga risiko pelampauan tetap terbuka.
Ia juga menyoroti bahwa realisasi rasio utang tahun 2024 sudah berada di angka 39,75 persen. Target menurunkannya menjadi 39,43 persen pada tahun 2025 pun dinilai sulit tercapai, mengingat realisasi hingga April belum menunjukkan tren penurunan signifikan.
Apalagi, sejumlah program besar yang digulirkan pemerintahan baru juga membutuhkan pembiayaan besar.
Jejak Warisan Era Jokowi
Awalil secara terang menyandingkan jejak fiskal dua era pemerintahan sebelumnya. Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang berhasil ditekan 31,92 persen poin—dari 56,60 persen pada 2004 menjadi 24,68 persen di akhir masa jabatan tahun 2014.
Namun, di era Jokowi, rasio itu justru melonjak 15,07 persen poin, dari 24,68 persen (2014) menjadi 39,75 persen (2024). Hal ini menjadi sinyal bahwa disiplin fiskal tak lagi menjadi pegangan utama.
Selain rasio terhadap PDB, Awalil juga menghitung rasio utang terhadap pendapatan negara. Berdasarkan angka-angka dalam KEM-PPKF, ia memperkirakan rasio utang terhadap pendapatan negara tahun 2026 mencapai kisaran 338,94 persen hingga 340,31 persen. Rasio ini memang ditargetkan menurun pada tahun-tahun berikutnya, tetapi angkanya tetap tinggi.
Rasionya diproyeksikan turun menjadi 337,01–338,63 persen (2027), lalu ke 322,19–324,17 persen (2028), dan 299,77–300,47 persen (2029). Namun Awalil memberi catatan bahwa angka ini masih jauh di atas kondisi akhir era SBY, ketika rasio tersebut berada di level 168,27 persen.
Sebagai perbandingan, realisasi rasio utang terhadap pendapatan negara di era Jokowi mencapai 309,42 persen pada 2024. Dalam APBN 2025, pemerintah bahkan memperkirakan rasio ini naik menjadi 319,01 persen.
"Seandainya skenario jangka menengah KEM-PPKF 2026 berjalan lancar pun, maka utang pemerintah akan terus bertambah besar," tandas dia.(*)