KABARBURSA.COM - Dalam upaya menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah Indonesia menerapkan strategi stimulus fiskal besar-besaran sebagai counter-cyclical policy.
Namun Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai, langkah tersebut membawa risiko signifikan terkait dengan lonjakan utang pemerintah yang dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.
"Dalam paradigma mainstream yang sangat pro-kreditor (investor) namun abai terhadap kondisi debitur," ujar Yusuf kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
"Pembayaran bunga utang terus mendapat prioritas tertinggi di atas biaya kemampuan negara yang semakin melemah untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat," tambahnya.
Strategi stimulus yang melibatkan tambahan utang besar berpotensi mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Yusuf juga memperingatkan bahwa lonjakan utang publik yang tidak terkendali bisa memicu tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi keuangan dari sektor perbankan. Selain itu, belanja publik yang semakin tidak pro-poor juga memperburuk situasi.
"Agar setiap rezim bertanggung jawab secara fiskal dan mencegah time-inconsistency dari preferensi pemerintah, maka banyak negara menerapkan fiscal rule untuk menahan tingkat utang pemerintah, sesuatu yang telah diadopsi kita pasca-krisis 1997," jelasnya.
Mencegah Lonjakan Utang Pemerintah
Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, penerapan aturan disiplin fiskal yang ketat sangatlah penting. Pemerintah diharapkan dapat menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menghindari praktik monetisasi utang oleh bank sentral untuk alasan apa pun. Monetisasi utang, yang melibatkan pencetakan uang baru untuk membayar utang, dapat menyebabkan inflasi dan melemahkan nilai mata uang, sehingga berisiko memperburuk kondisi ekonomi.
Pelaksanaan batas defisit anggaran yang ketat berfungsi sebagai alat untuk menjaga disiplin fiskal dan menghindari potensi risiko yang dapat merusak stabilitas makroekonomi. Pelanggaran terhadap batas defisit anggaran ini berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi, mengancam kepercayaan investor, dan meningkatkan biaya pinjaman pemerintah.
Penetapan defisit anggaran untuk tahun 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB, meskipun berada di bawah batas maksimum yang ditetapkan, tetap memicu kekhawatiran. Walaupun defisit ini tergolong dalam batas yang disarankan, adanya risiko bahwa defisit tersebut dapat mendekati batas 3 persen dalam kondisi tertentu berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Dalam jangka pendek, ketidakstabilan ini sudah terlihat dari melemahnya nilai tukar Rupiah, yang dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap utang pemerintah yang tidak terkendali.
"Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, ke depan kita perlu menerapkan aturan disiplin fiskal secara ketat, tidak boleh ada defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB dan tidak boleh ada monetisasi utang pemerintah oleh bank sentral, untuk alasan apa pun," tegasnya.
Paradigma pro-kreditor yang mendominasi kebijakan fiskal saat ini sering mengabaikan kondisi debitur, menyebabkan prioritas pembayaran bunga utang mengalahkan kebutuhan untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial.
Dalam rangka mencegah time-inconsistency dan memastikan tanggung jawab fiskal setiap rezim, banyak negara menerapkan fiscal ruleuntuk menahan tingkat utang pemerintah.
Namun, Perppu No. 1/2020, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 2/2020, telah memberikan escape clause yang memungkinkan pemerintah melanggar ketentuan fiskal tersebut. Langkah ini menambah kekhawatiran terkait dengan keberlanjutan kebijakan fiskal dan dampaknya terhadap ekonomi nasional.
Pemerintah diharapkan untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari kebijakan fiskal yang diterapkan dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga keseimbangan antara stimulus ekonomi dan disiplin fiskal.
"Dalam jangka pendek kita sudah melihat instabilitas ini pada nilai tukar rupiah yang terus melemah yang dipicu oleh kekhawatiran investor akan utang pemerintah yang tidak terkendali," tukasnya.
Relokasi Anggaran
Direktur Eksekutif Institut for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, berpendapat bahwa pemerintah berencana untuk menangani defisit anggaran dengan mengelola pembiayaan melalui utang dan penjualan surat berharga negara (SBN).
"Jika kita mengalami defisit secara rata-rata, maka sebagian besar pembiayaan akan dilakukan melalui utang dan investasi. Namun, mayoritas sumber pembiayaan defisit ini pasti akan datang dari utang, terutama melalui penjualan surat berharga negara (SBN)," jelas Tauhid kepada Kabar Bursa, Sabtu, 17 Agustus 2024.
Pembiayaan defisit ini akan didominasi oleh utang, baik melalui penerbitan SBN maupun melalui pinjaman proyek dari luar negeri, termasuk dari sumber bilateral dan multilateral.
Namun, Tauhid mengingatkan bahwa pemerintah akan menghadapi tantangan berupa beban bunga utang yang cukup tinggi, berkisar antara 6-7 persen, yang pada akhirnya akan memperberat anggaran negara.
Untuk mengurangi defisit, Tauhid menyarankan dua langkah penting: pertama, peningkatan penerimaan negara melalui optimalisasi pajak dan sumber-sumber pendapatan lainnya; kedua, melakukan realokasi anggaran untuk meningkatkan efisiensi, terutama jika penerimaan negara mengalami penurunan secara tiba-tiba. Dengan demikian, pemerintah dapat mengurangi ketergantungan pada utang dan menjaga stabilitas anggaran. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.