KABARBURSA.COM - Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky, menilai swasembada pangan tidak terbatas hanya pada apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, terkait produksi pangan.
Dalam sebuah diskusi, Mentan mengatakan bahwa swasembada pangan dapat diwujudkan melalui beberapa program, yakni cetak 3 juta hektare sawah dalam 3-4 tahun, pompanisasi, optimalisasi lahan, rehabilitasi jaringan irigasi tertier dan dukungan alat, serta mesin pertanian guna mempercepat proses tanam hingga panen.
Awalil mengatakan, swasembada pangan bukan hanya soalan produksi melebihi konsumsi, melainkan harus diperluas terkait dengan kesejahteraan petani, akses semua orang kepada kecukupan pangan dan kedaulatan pangan.
“Aspek ketahanan pangan itu tidak hanya jumlah total memenuhi konsumsi total, tapi tiap individu. Hampir setiap individu di suatau negara itu terpenuhi gizi dan nutrisinya sehingga bisa sehat, aman, produktif dan terbebas dari penyakit,” kata Awalil dalam diskusi bertajuk Ancaman Kelaparan saat Ambisi Swasembada Pangan, Selasa, 5 November 2024.
Ia beraharap, masyarakat memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan swasembada pangan agar tidak terjebak dengan anggapan bahwa produksi pangan harus selalu melebihi konsumsi total. Karena, menurutnya, kelebihan pasokan pangan dapat dicapai melalui impor.
Lebih jauh, ia menyebut ketahanan pangan juga lebih dari sekadar petani sejahtera, tapi juga harus diketahui siapa yang memproduksi pangan, sustainable dalam proses produksi pangan dan keterkaitannya dengan ketahanan nasional.
“Kita bisa mengambil titik tengah dari definisi-definisi itulah. Jangan sampai kita nanti menerima informasi bahwa soal swasembada pangan telah tercapai ketika data produksi melebihi data konsumsi, apalagi jika data ketersediaan, ketersediaan kan berarti gak hanya dari produksi, bisa dari impor,” tegasnya.
Ia berharap agar klaim swasembada seperti di era Soeharto atau Jokowi tidak terulang dan di pemerintahan yang baru, semua pembelajar di bidang ekonomi mengetahui apa itu swasembada pangan dalam arti yang lebih luas sehingga mampu memberikan kritik yang membangun.
Anggaran Swasembada Pangan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk mencapai swasembada pangan.
Zulhas menyatakan, bahwa dalam pertemuan tersebut mereka membahas langkah-langkah strategis menuju kemandirian pangan. Presiden Prabowo menargetkan pencapaian swasembada pangan pada tahun 2028 atau 2029.
“Saya telah menyampaikan program-program yang perlu diselesaikan kepada Presiden. Dengan sinergi dan usaha bersama, insya Allah, kita dapat mencapai target swasembada pangan pada 2028-2029,” tuturnya.
Mengenai anggaran, Zulkifli menjelaskan bahwa ia telah berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan melaporkan kebutuhan anggaran untuk swasembada pangan kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Mantan Menteri Perdagangan ini menjelaskan bahwa anggaran sebesar Rp139,4 triliun akan dialokasikan melalui beberapa lembaga, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pupuk, dana desa, dan pemerintah daerah.
Sementara, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono, mengatakan bahwa kebijakan swasembada pangan yang diprakarsai oleh Presiden Prabowo, yang mengandalkan food estate sebagai solusi utama, dinilai salah arah.
Ia menilai langkah ini mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih mendasar, yaitu konversi lahan sawah yang terus terjadi di Pulau Jawa. Menurut Yusuf, melindungi lahan sawah yang masih ada di Jawa jauh lebih efektif untuk memastikan swasembada pangan di masa depan.
“Kebijakan untuk membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa, adalah kebijakan yang tidak tepat, mahal, dan memiliki risiko tinggi terhadap ketahanan pangan kita,” ujar Yusuf kepada Kabarbursa.com baru-baru ini.
Yusuf menambahkan bahwa mempertahankan lahan sawah di Jawa dan mendorong pertanian berbasis keluarga jauh lebih krusial dibandingkan mengandalkan food estate yang berisiko gagal dan berbiaya tinggi.
Data dari Next Policy menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa semakin meningkat, termasuk akibat proyek strategis nasional (PSN). Hal ini tercermin dari penurunan luas lahan panen padi dalam enam tahun terakhir, dari 11,38 juta hektar pada tahun 2018 menjadi 10,21 juta hektar pada tahun 2023, yang merupakan penurunan lebih dari 10 persen.
Penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) juga menunjukkan adanya konversi lahan di delapan provinsi sentra beras, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada tahun 2019, luas lahan baku sawah (LBS) di delapan provinsi tersebut mencapai sekitar 3,97 juta hektar, namun pada tahun 2021 hanya tersisa 3,84 juta hektar, menunjukkan sekitar 136 ribu hektar sawah telah beralih fungsi.
Selain isu konversi lahan, Yusuf juga menyoroti meningkatnya angka impor beras yang mengkhawatirkan. Proyeksi impor beras Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 5,17 juta ton, yang jika terealisasi akan menjadi rekor tertinggi dalam sejarah, melampaui impor beras tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton.
Jika demikian, Indonesia akan menjadi importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor 4 juta ton per tahun.
Ketergantungan pada impor beras ini dianggap sebagai tanda lemahnya ketahanan pangan dan berisiko tinggi terhadap politik proteksionisme global. Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, di mana 93 persennya berasal dari tiga negara, yaitu Thailand, Vietnam, dan Pakistan.
Ketergantungan pada negara tertentu untuk pasokan beras ini berpotensi mengganggu stabilitas harga dan ketersediaan beras domestik jika terjadi krisis global atau kebijakan proteksionisme dari negara-negara tersebut.
Produksi Beras Nasional Terus Merosot
Selain ketergantungan pada impor, Yusuf juga menekankan adanya penurunan dalam produksi beras nasional selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2018, produksi beras Indonesia tercatat sebesar 33,9 juta ton, namun pada tahun 2023 angka tersebut turun menjadi 30,9 juta ton. Penurunan ini menunjukkan adanya masalah struktural yang signifikan dalam sektor pertanian beras di Indonesia.
Yusuf menjelaskan bahwa beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini meliputi perubahan iklim, seperti fenomena El Niño, serta ketersediaan pupuk yang semakin terbatas. Selain itu, berkurangnya jumlah petani yang semakin menua dan konversi lahan sawah yang besar-besaran juga menjadi tantangan utama.
Ia menambahkan bahwa peningkatan harga beras selama tiga tahun terakhir menjadi indikator adanya masalah serius dalam pasokan. Sebagai contoh, harga beras yang sebelumnya berkisar Rp11.750 per kilogram pada awal 2022, melonjak menjadi Rp14.550 per kilogram pada awal 2024, dan kini di pertengahan 2024 sudah mencapai Rp15.350 per kilogram.
“Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi beras nasional dan tingginya impor tahun ini adalah konversi lahan sawah yang terus berlangsung secara masif, termasuk yang disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN), terutama di Jawa,” kata Yusuf.
Ia merekomendasikan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kapasitas lahan sawah yang masih ada dan mengurangi ketergantungan pada food estate yang berisiko tinggi. Yusuf menekankan pentingnya mengimplementasi kebijakan yang berkelanjutan dan berorientasi pada perlindungan lahan serta pemberdayaan pertanian berbasis keluarga untuk mencapai swasembada pangan yang lebih solid.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.