KABARBURSA.COM - Ekonom senior Faisal Basri mengembuskan nafas terakhirnya dini hari tadi. Faisal Basri meninggal dunia di umur 64 tahun.
Semasa hidupnya, almarhum dikenal sebagai ekonom dan politikus alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Beliau juga aktif menjadi pengajar di kampusnya tersebut.
Dilansir dari website resmi LPEM FEB UI, Faisal Basri menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia pada 1985 dan meraih gelar Master of Arts bidang ekonomi di Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika pada 1988.
Dia memulai karirnya sebagai pengajar di FEB, UI dengan mata kuliah Ekonomi Politik, Ekonomi Internasional, Ekonomi Pembangunan, dan Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Selain itu, Faisal Basri juga merupakan pengajar pada Program Magister Akuntansi (Maksi), Program Magister Manajemen (MM), Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan (MPKP), dan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Faisal Basri juga terlibat dalam pendirian lembaga Institute for Development of Economics & Finance (INDEF).
Sementara di bidang pemerintahan, Faisal Basri pernah mengemban amanah sebagai anggota Tim Perkembangan Perekonomian Dunia pada Asisten II Menteri Koordinator Bidang EKUIN di tahun 1985-1987 dan anggota Tim Asistensi Ekuin Presiden pada tahun 2000.
Pada tahun 2014, Faisal Basri sempat ditunjuk menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) oleh Menteri ESDM yang kala itu dijabat Sudirman Said. Tujuannya untuk membuat tata kelola migas transparan dan memberantas mafia.
Faisal memimpin tim ini selama enam bulan untuk mengkaji secara menyeluruh sistem di sektor hulu minyak dan gas bumi. Tim ini nantinya akan memberikan kesimpulan yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Terutama dalam membersihkan sektor ini dari praktik mafia migas.
Meski dikenal sebagai akademisi dan ekonom, Faisal Basri juga sempat menjajal panggung politik. Di 2012, dia pernah maju pada kontestasi Pemilihan Gubernur di DKI Jakarta. Dia bersama Biem Benyamin maju melalui jalur independen (non partai politik) sebagai cagub-cawagub DKI Jakarta 2012. Dan, kala itu Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Kritisi Rencana Kenaikan Tarif PPN
Belum lama ini, Faisal Basri mengkritisi rencana pemerintah Indonesia menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Menurut dia, kenaikan pajak seharusnya dikenakan untuk industri batu bara, karena kenaikan PPN akan menambah beban masyarakat.
Faisal Basri pun menyinggung perilaku pemerintah Indonesia yang sedang gencar-gencarnya memberi insentif kepada korporasi, tapi seiring dengan itu menambah beban rakyat.
Selain itu, ia menilai rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen tidak efisien, sebab tambahan pendapatan negara diproyeksikan hanya sekitar Rp100 triliun saja.
"Jadi, apa yang terjadi kalau tatanan dirusak. Insentif diberikan kepada korporasi yang besar, sementara rakyat dibebani terus, hampir pasti PPN akan dinaikkan 12 persen yang dikecualikan barang dan jasa. Saya bingung, yang dikecualikan barang dan jasa atau judulnya keliru, nanti banyak yang dikecualikan. Itu coba bayangkan tambahan pendapatan dari menaikkan 11 persen ke 12 persen, kenaikannya tidak sampai Rp100 triliun,” kata Faisal dalam diskusi bertema ‘Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Senin, 19 Juli 2024.
Menurut dia, jika pemerintah berencana untuk menambah lebih banyak pendapatan negara, sebaiknya dilakukan adalah mengenakan pajak ekspor untuk komoditas batu bara.
Katanya, dengan pengenaan pajak ekspor, negara bisa mendapatkan pendapatan sekitar Rp200 triliun.
Namun, lanjut Faisal Basri, opsi ini tidak diambil oleh pemerintah. Ia menyebut hal ini sebagai bukti pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh dari teori sentimen moral yang ideal.
"Padahal kalau kita kenakan pajak ekspor buat batu bara itu bisa Rp200 triliun. Nah, ini yang moral sentiment itu, theory of moral sentiment itu jauh. Jauh dari yang kita lihat di era Jokowi ini," tegas dia.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai kebijakan tersebut merupakan upaya dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk memenuhi kebutuhan penerimaan negara sekaligus merealisasikan janji kampanye mereka.
Menurut dia, kenaikan tarif PPN ini akan berdampak pada peningkatan harga, dan kelompok menengah ke bawah akan merasakan dampaknya. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah perlu mengantisipasi dan mencari solusi yang tepat.
"Pasti akan ada dampak terhadap kenaikan harga dan kelompok menengah-bawah. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini dan mencari solusinya," ujar Fajry kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
Namun, selama kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN ini tidak melebihi 1 persen, kebijakan tersebut masih dapat dijalankan dengan baik.
Dia paparkan, berdasarkan perhitungan, kenaikan harga yang diakibatkan oleh peningkatan tarif tersebut diperkirakan akan berada di bawah 1 persen. Namun, pasokan barang harus dijaga dengan baik, dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) serta Bank Indonesia (BI) sangat diperlukan.
"Selama kenaikan harga tidak melebihi 1 persen akibat kenaikan tarif 1 persen, kebijakan ini masih layak untuk dijalankan," jelasnya. (*)