KABARBURSA.COM – Menjelang penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) menilai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka masih berfokus pada konsolidasi politik, sementara kinerja ekonomi belum menunjukkan perbaikan fundamental.
Dalam pernyataan sikap yang diterima KabarBursa.com, AEI menyoroti misalokasi anggaran, meningkatnya ketimpangan fiskal antarwilayah, dan lemahnya efektivitas belanja publik. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga Mei 2025 realisasi pendapatan negara tercatat sekitar Rp995,3 triliun, turun 11,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp694,2 triliun atau 25,7 persen dari pagu APBN. Defisit fiskal tercatat sebesar Rp21 triliun, atau setara 0,09 persen dari PDB, dan diproyeksikan melebar hingga 2,78 persen atau sekitar Rp662 triliun pada akhir tahun.
“Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal memiliki multiplier effect nyata terhadap sektor produktif, bukan hanya pada proyek berskala besar yang tidak langsung menyentuh masyarakat bawah,” tulis AEI dalam pernyataan tertulisnya dikutip Kamis, 23 Oktober 2025.
Aliansi tersebut menilai bahwa efektivitas belanja negara masih lemah karena porsi terbesar masih terserap pada proyek infrastruktur dan belanja rutin kementerian, sementara stimulus langsung ke sektor produktif seperti pertanian, manufaktur, dan UMKM masih minim. AEI juga menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menembus Rp16.400 per dolar AS pada awal Oktober 2025, menandakan tekanan eksternal terhadap fiskal dan moneter semakin kuat.
“Reformasi kelembagaan di sektor energi, pangan, dan BUMN harus menjadi prioritas. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” sambungnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai bahwa dalam satu tahun terakhir, pemerintahan Prabowo-Gibran lebih banyak berfokus pada pembentukan struktur kekuasaan dan stabilitas politik ketimbang pada reformasi struktural ekonomi yang mendasar.
“Pemerintah memang berhasil menjaga stabilitas politik, namun indikator ekonomi makro masih rentan. Rupiah melemah, defisit fiskal melebar, dan daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya,” ujar Achmad, Kamis, 23 Oktober 2025z
Achmad menilai, fokus kebijakan yang terlalu tersentralisasi pada proyek strategis nasional (PSN) membuat alokasi anggaran ke sektor produktif seperti industri manufaktur, pertanian, dan energi terbarukan menjadi terbatas.
“Pemerintah perlu menata kembali prioritas anggaran 2026 agar mengarah pada produktivitas jangka panjang. Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi berisiko stagnan di kisaran lima persen tanpa pemerataan,” tambahnya.
Menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 berada di level 5,02 persen secara tahunan, sementara inflasi tahunan tercatat 2,9 persen per September 2025. Namun, tekanan terhadap harga bahan pokok dan pelemahan daya beli membuat konsumsi rumah tangga atau kontributor terbesar PDB, tumbuh melambat menjadi 4,7 persen.
AEI dan sejumlah pengamat ekonomi menilai tahun kedua pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjadi penentu arah kebijakan fiskal Indonesia. Mereka menekankan pentingnya integrasi antara kebijakan anggaran, reformasi birokrasi, dan keberlanjutan fiskal untuk menjaga kepercayaan investor serta memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Momentum tahun kedua menurut Achmad harus digunakan untuk membenahi efektivitas fiskal, memperluas basis pajak, dan memastikan setiap rupiah belanja negara menciptakan pertumbuhan yang inklusif.(*)