KABARBURSA.COM - Harga batu bara global kembali menunjukkan pelemahan di tengah tekanan sentimen negatif yang masih membayangi pasar energi dunia. Pada perdagangan Rabu, 22 Oktober 2025, harga batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan depan ditutup di level USD103,7 per ton, turun 0,29 persen dibandingkan sesi sebelumnya.
Pelemahan ini menandai kelanjutan tren negatif yang sudah berlangsung cukup lama. Dalam sepekan, harga batu bara terkoreksi 2,03 persen secara point-to-point, dan sepanjang tahun berjalan (year-to-date) telah amblas 17,21 persen.
Secara fundamental, tekanan harga batu bara disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kelebihan pasokan global dan meningkatnya kesadaran terhadap transisi energi bersih. Diketahui, negara-negara besar, terutama di Asia dan Eropa, terus memperkuat kebijakan dekarbonisasi dan menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil. Hal ini yang membuat permintaan batu bara melemah.
Kajian terbaru McKinsey memperkirakan kontribusi energi fosil terhadap bauran energi dunia akan ikut turun signifikan, menjadi hanya 41–55 persen pada 2050, dari posisi saat ini yang mencapai sekitar 64 persen.
Sebaliknya, energi baru terbarukan (EBT) diperkirakan meningkat pesat, mencapai 61–67 persen dalam periode yang sama. Proyeksi ini menegaskan bahwa dalam jangka panjang, batu bara menghadapi prospek yang semakin menantang.
Permintaan Batu Bara China dan India Perlahan Naik
Namun, tidak semua kabar datang dari sisi negatif. Di pasar fisik Asia, terutama di China dan India, terlihat adanya tanda-tanda peningkatan permintaan jangka pendek yang memberikan sedikit dukungan terhadap harga.
Berdasarkan laporan S&P Global, pasar batu bara metalurgi di Asia kini sedang menantikan dukungan permintaan untuk kuartal IV-2025, terutama dari sektor industri China yang mulai kembali aktif setelah periode perlambatan.
Harga batu bara Newcastle untuk kontrak November 2025 tercatat naik tipis sebesar USD0,2 menjadi USD106,7 per ton. Sementara kontrak Desember 2025 juga menguat USD0,3 ke posisi USD108,25 per ton.
Kenaikan harga di dua bulan mendatang ini menunjukkan adanya harapan bahwa permintaan musim dingin di Asia Timur dapat menahan penurunan lebih dalam.
Sementara itu, harga batu bara di Rotterdam bergerak bervariasi. Kontrak Oktober 2025 turun USD0,25 menjadi USD91,8 per ton. Namun kontrak November dan Desember justru naik masing-masing USD0,35 dan USD1 menjadi USD95 dan USD96,5 per ton.
Kenaikan di kontrak jangka menengah ini menandakan pasar mulai memperhitungkan pemulihan permintaan di musim dingin, meskipun secara keseluruhan tren jangka panjang masih negatif.
Dari sisi pasokan, India melaporkan kenaikan signifikan pada stok batu bara untuk pembangkit listrik, yaitu mencapai 44,7 juta ton per 17 Oktober 2025, atau naik 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan stok ini bisa menekan kebutuhan impor dalam jangka pendek, yang pada gilirannya menambah tekanan terhadap harga batu bara termal global.
Zona Bearish Masih Terlihat Kuat, tapi Oversold Mulai Muncul
Jika dilihat secara teknikal, batu bara kini berada di zona bearish. Indikator Relative Strength Index (RSI) tercatat di angka 41, di bawah level 50, mengindikasikan momentum pelemahan masih dominan.
Namun, indikator Stochastic RSI yang berada di level 11 menunjukkan bahwa harga sudah memasuki area jenuh jual (oversold), sehingga potensi rebound teknikal jangka pendek terbuka.
Untuk perdagangan Kamis, 23 Oktober 2025, harga batu bara diperkirakan berpeluang naik secara terbatas dengan target resistensi di level USD107 per ton. Jika mampu menembusnya, harga berpotensi menuju USD108 per ton.
Namun, apabila tekanan jual kembali meningkat, maka area USD101 per ton menjadi support terdekat yang perlu diwaspadai. Penembusan di bawah level tersebut bisa menyeret harga batu bara ke kisaran USD98–USD81 per ton.
Meski tekanan jangka pendek masih terasa, beberapa analis menilai bahwa rebound teknikal bisa terjadi menjelang akhir Oktober, terutama jika data permintaan energi dari China dan India menunjukkan peningkatan nyata.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mencatat kenaikan benchmark harga batu bara (HBA) sekitar 3,33 persen pada awal Oktober. Kondisi ini menunjukkan masih adanya daya tarik dari sisi ekspor di tengah kondisi global yang fluktuatif.
Secara keseluruhan, pasar batu bara saat ini berada di persimpangan antara fundamental negatif jangka panjang yang disebabkan oleh transisi energi global, dan sentimen positif jangka pendek dari prospek permintaan Asia menjelang musim dingin.
Pelaku pasar disarankan tetap berhati-hati, sambil mencermati pergerakan harga di level psikologis USD100 per ton yang menjadi area kunci arah pergerakan batu bara selanjutnya.(*)
 
      