KABARBURSA.COM – Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi melihat terdapat pola gejala dalam literatur ekonomi digital yang disebut shrouded attributes dalam praktik pembagian kuota internet dan telepon oleh operator seluler.
Sorotan terhadap operator seluler dalam menjalankan bisnis tersebut terjadi setelah publik membicarakan hangusnya sisa kuota dari dua kategori itu. Hal ini diperkuat oleh temuan Indonesia Audit Watch (IAW) yang menunjukkan bahwa sekitar Rp63 triliun kuota internet prabayar hangus setiap tahunnya karena tidak terpakai, dengan total pengeluaran konsumen untuk internet mencapai Rp253 triliun per tahun.
Melihat kondisi ini, Syafruddin menilai praktik pembagian kuota internet oleh operator seluler mengandung ketimpangan informasi yang serius. Konsumen kerap tergiur kuota besar, misalnya 50 GB, namun realisasinya sangat terbatas karena dibagi-bagi menjadi kuota malam, kuota aplikasi tertentu, atau jaringan tertentu, tanpa penjelasan yang terbuka.
Shrouded attributes yaitu fitur penting disembunyikan secara sistematis untuk menciptakan ilusi nilai yang lebih tinggi dari kenyataan.
“Operator membingkai kuota besar, tapi distribusinya penuh batasan tersembunyi. Konsumen tak punya kendali penuh atas hak pemakaian kuotanya,” ujar Syafruddin kepada Kabarbursa.com.
Kondisi ini menjadi semakin kompleks dengan sistem hangusnya kuota yang belum digunakan dalam satu periode masa aktif. Dalam sistem ini, konsumen tetap dikenakan biaya penuh meski sebagian kuota tidak pernah digunakan.
Syafruddin menilai, situasi ini secara ekonomi menguntungkan operator seluler yang bisa mengakumulasi pendapatan tanpa kewajiban untuk mengembalikan nilai kuota yang belum terpakai. Hal ini menciptakan keuntungan sepihak yang disebut sebagai rente informasi, yakni laba yang diperoleh dari ketimpangan struktur informasi, bukan dari efisiensi atau layanan.
“Yang paling diuntungkan jelas operator. Sementara konsumen kehilangan nilai yang sudah mereka bayar, dan regulator belum cukup aktif menetapkan standar teknis untuk melindungi mereka,” katanya.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa praktik semacam ini berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap industri telekomunikasi secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, ketidaktransparanan dan kuota yang mudah hangus dapat memperlemah loyalitas pelanggan, menimbulkan sentimen negatif terhadap layanan digital, dan menghambat perluasan inklusi digital, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Trust adalah fondasi ekosistem digital. Kalau konsumen merasa tidak diperlakukan adil, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap layanan digital secara keseluruhan,” ucapnya.
Syafruddin mendesak agar regulator seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta BRTI menetapkan standar minimum transparansi dalam penjualan paket data. Ia menyebut perlunya penjelasan yang lugas dan tidak ambigu terkait struktur pembagian kuota, disertai kewajiban rollover atau skema kompensasi untuk kuota yang tidak terpakai. Ia juga menyarankan agar praktik pembatasan kuota berdasarkan waktu atau aplikasi ditinjau ulang.
“Regulator seharusnya tidak netral terhadap asimetri informasi. Tugas mereka adalah menyeimbangkan kekuatan pasar dan memperkuat hak konsumen digital,” jelasnya.
Dalam skala global, Syafruddin menyebut sejumlah model praktik terbaik yang bisa diadopsi di Indonesia. Di Amerika Serikat, AT\&T menerapkan sistem rollover data yang memungkinkan sisa kuota bulan ini digunakan bulan berikutnya. Google Fi bahkan menggunakan model pay-per-use, di mana pelanggan hanya membayar sesuai data yang digunakan. Di kawasan Asia Tenggara, Gomo di Singapura dan Filipina menyediakan paket data no expiry yang tetap aktif sampai benar-benar digunakan, tanpa batas waktu.
Menurutnya, model-model ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia, terutama oleh operator digital-native seperti by.U atau Live.On yang punya fleksibilitas struktur layanan. Tantangan utamanya adalah resistensi dari operator besar yang terbiasa memperoleh keuntungan dari kuota hangus. Namun dengan tekanan publik dan komitmen regulasi yang kuat, sistem yang lebih adil dan transparan dinilai bisa diterapkan secara bertahap.
“Model seperti itu realistis diterapkan. Konsumen akan merasa lebih dihargai dan industri juga bisa tumbuh dengan cara yang lebih berkelanjutan,” kata dia.(*)