KABARBURSA.COM – Ekonom Universitas Andalas Syafrudin Karimi menilai ketegangan antara India-Pakistan dapat memberi tekanan psikologis terhadap pelaku pasar dan menekan nilai tukar rupiah.
Meski Indonesia tidak terlibat langsung dalam ketegangan India-Pakistan, namun sentiment global terhadap kawasan Asia berpotensi mendorong investor menarik dana dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Rupiah sebagai mata uang emerging narket akan terkena sentimen negatif terlebih dahulu karena faktor likuiditas dan sensitivitas terhadap perubahan portofolio global,” katanya kepada KabarBursa.com, Rabu, 7 Mei 2025.
Untuk diketahui, pada perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah dibuka melemah ke level Rp16.461 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah tercatat melemah 0,07 persen, seiring dengan pelemahan sejumlah mata uang Asia lainnya. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,30 persen ke posisi 99,5.
Syafruddin menyebut, apabila eskalasi konflik terus berlanjut, dampaknya bisa semakin signifikan. Permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS akan meningkat, sedangkan aset dalam denominasi rupiah justru tertekan.
“Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut, sentimen global terhadap kawasan Asia dapat menciptakan tekanan yang bersifat spekulatif terhadap rupiah,” terang dia.
Menurutnya, dampak limpahan dari konflik dua negara Asia Selatan tersebut perlu diwaspadai, karena bisa memengaruhi pasar keuangan dan arus perdagangan Indonesia.
“Pemerintah perlu menegaskan posisi diplomatik netral dan tetap memperkuat kerja sama ekonomi regional untuk menjaga kepercayaan investor serta stabilitas neraca transaksi berjalan,” ungkap dia.
Konflik bersenjata ini juga dapat memperburuk persepsi risiko terhadap pasar negara berkembang. Apalagi, India dan Pakistan berperan penting dalam rantai pasok global, terutama di sektor tekstil, logistik, dan teknologi informasi.
“Investor global biasanya bereaksi cepat terhadap konflik bersenjata dengan mengalihkan aset ke instrumen safe haven seperti dolar AS atau emas,” ungkap dia.
Untuk itu, Syafruddin menekankan pentingnya langkah responsif dari otoritas moneter nasional. Bank Indonesia (BI) diminta melakukan intervensi yang terukur dan memperkuat koordinasi kebijakan agar ekspektasi pasar tetap terkendali.
“Dengan langkah cepat dan kredibel, rupiah dapat tetap berada dalam kisaran yang terkendali meskipun gejolak regional meningkat,” kata dia.
BI Harus Gerak Cepat
Syafruddin meminta agar Bank Indonesia (BI) segera bersikap antisipatif dengan memantau secara intensif volatilitas pasar keuangan dan nilai tukar.
“Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan intervensi terukur di pasar valas untuk menjaga stabilitas rupiah dalam batas fundamental,” terangnya.
Lebih lanjut, dis mengatakan Bank sentral juga perlu menjaga suku bunga kebijakan pada level yang menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi.
“Instrumen operasi moneter seperti SRBI dan reverse repo dapat digunakan untuk menyerap gejolak likuiditas,” terangnya
Dalam situasi berisiko tinggi, kata dia komunikasi kebijakan menjadi elemen vital. BI harus menyampaikan pesan kebijakan secara konsisten agar ekspektasi pelaku pasar tetap terjaga.
Sementara itu, sinergi dengan pemerintah harus diperkuat untuk memastikan stimulus fiskal berjalan efektif dalam menjaga permintaan domestik.
“Ketegasan arah kebijakan dan kesiapsiagaan otoritas akan memperkuat persepsi stabilitas ekonomi di mata investor global,” kaa dia.
Di samping itu, dia mengatakan BI dapat memanfaatkan cadangan devisa dan instrumen swap valas untuk menstabilkan pasar.
“Dalam situasi seperti ini, kecepatan dan kepastian respons menjadi kunci untuk mencegah eksodus modal besar-besaran,” ungkapnya.
Cadangan Devisa BI untuk Intervensi Rupiah Tipis
Sementara itu, Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan, mengungkapkan bahwa lemahnya cadangan devisa Indonesia dapat menghambat langkah BI mengintervensi pasar guna.
Intervensi ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang terus ambruk akibat pelemahan.
"Kenapa BI tidak maksimal dalam intervensi? Karena memang cadangan devisa sangat tipis," kata Abdul Manap dalam diskusi virtual bertajuk Ekonomi Melambat Pertanda Gawat?, pada Selasa, 6 Mei 2025.
Ia menuturkan bahwa cadangan devisa Indonesia yang hanya berkisar di angka USD157 miliar membatasi ruang gerak otoritas moneter.
"Itu tidak bisa serta-merta BI intervensi di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar, makanya dibiarkan saja untuk depresiasi karena hanya menggerami lautan," lanjutnya.
Menurut Abdul Manap, kondisi ini menjadi semakin genting mengingat nilai tukar rupiah terus tertekan sejak awal tahun. Ia menyoroti bahwa rupiah sempat melemah hingga menyentuh level Rp17.400 per dolar AS setelah libur Lebaran, jauh dari asumsi nilai tukar dalam APBN yang dipatok di kisaran Rp16.000.
Ia juga mengingatkan bahwa tekanan terhadap stabilitas keuangan domestik tetap menjadi risiko, terutama di tengah pemulihan ekonomi global yang masih belum solid.
Lebih lanjut, Abdul Manap menilai bahwa keputusan Federal Reserve (The Fed) pada 7 Mei 2025 untuk mempertahankan suku bunga acuan diperkirakan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap rupiah, mengingat fase tekanan terberat sudah berlalu. Meski demikian, ia mewanti-wanti bahwa tantangan justru kini datang dari faktor domestik.
"Dampaknya terhadap sektor keuangan mungkin ada, tapi tidak signifikan. Karena porsi portofolio valas kita juga tidak begitu besar, baru sekitar 15 persen dibandingkan yang rupiah," jelasnya.
Dalam situasi ini, Abdul Manap menegaskan pentingnya langkah strategis dari pemerintah dan BI untuk memperkuat cadangan devisa nasional. Ia mengapresiasi kebijakan yang mewajibkan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) disimpan di dalam negeri.
"Mudah-mudahan ini bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan cadangan devisa. Dengan DHE yang meningkat, maka Bank Indonesia bisa lebih rileks dalam intervensi ketika terjadi tekanan," ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa menjaga cadangan devisa dalam jumlah besar sangat krusial, tidak hanya untuk menstabilkan pasar keuangan, tetapi juga untuk memenuhi pembayaran utang luar negeri serta kebutuhan impor industri.
"Kalau ini tidak dijaga dengan baik, maka ketika jor-joran intervensi justru nanti akan menjatuhkan rupiah lebih dalam," tambah Abdul Manap.
Dalam konteks ini, meski inflasi domestik mulai menunjukkan tanda-tanda terkendali, ia mencatat bahwa Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuan pada tingkat yang tinggi sebagai langkah untuk menahan tekanan terhadap rupiah. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini membawa konsekuensi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Jumlah uang beredar kita sekarang hanya tumbuh 6–7 persen, padahal sebelumnya bisa di atas 10 persen. Ini menunjukkan aktivitas sektor sangat lambat karena ada pergeseran dana dari perbankan ke rekening pemerintah maupun rekening Bank Indonesia," jelasnya.
Sebagai penutup, Abdul Manap mengingatkan bahwa apabila isu nilai tukar tidak segera diatasi dengan strategi yang tepat, target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada 2025—bahkan ambisi mencapai rata-rata 8 persen sesuai visi Indonesia Emas 2045—berisiko tidak tercapai.
"Kita bisa terjebak dalam middle income trap—yang dalam bahasa kasarnya, kita tidak kaya," pungkasnya.(*)