KABARBURSA.COM - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengayunkan palu tarif, kali ini mengarah tepat ke jantung ekonomi Asia Tenggara yang tengah tumbuh cepat. Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia—yang menjadi simpul penting dalam rantai pasok global—resmi masuk daftar “aktor nakal” versi Washington dengan beban tarif resiprokal mulai dari 24 persen hingga 46 persen.
AS akan mengenakan tarif dasar sebesar 10 persen untuk seluruh impor, plus tambahan tarif spesifik untuk negara-negara yang dianggap bermasalah dalam perdagangan. Dalam daftar itu, Vietnam dibebani tarif tertinggi 46 persen, disusul Thailand 36 persen, Indonesia 32 persen, dan Malaysia 24 persen.
Kabar ini langsung mengguncang pasar Asia. Indeks saham di berbagai negara langsung memerah pada Kamis, 3 April 2025. Indeks acuan Vietnam sempat longsor hingga 6,7 persen, sementara saham-saham di Thailand turun 1,4 persen. Bursa Malaysia hanya melemah 0,5 persen, sedangkan pasar Indonesia tengah libur.
Para analis dibuat kaget oleh besarnya lonjakan tarif ini. Langkah Trump tersebut dinilai akan menjadi tantangan berat bagi kawasan yang selama ini sangat bergantung pada ekspor. “Dengan AS menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor kawasan, lonjakan tarif sebesar 20 hingga 35 persen jelas jadi penghambat pertumbuhan yang signifikan, terutama untuk negara-negara yang sangat terbuka terhadap perdagangan,” ujar Kepala Strategi Makro Pasar Berkembang T. Rowe Price, Chris Kushlis, dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis.
Dalam catatan resminya, analis dan ekonom Barclays menambahkan, “Dalam jangka pendek, tarif-tarif ini kemungkinan akan mengerem ekspor kawasan secara keseluruhan.”
Namun efeknya tak hanya datang dari tarif langsung. China—mitra dagang terbesar ASEAN—juga terkena tarif resiprokal sebesar 34 persen di luar tarif sebelumnya. Jika eksportir China mengalihkan barang ke pasar Asia Tenggara sebagai pelarian, itu bisa membanjiri pabrikan lokal dan memicu tekanan deflasi.
Ekonom Maybank, Erica Tay, menyatakan, “Tarif yang lebih tinggi bisa memangkas ekspor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.” Ia juga memperingatkan soal kemungkinan barang-barang asal China berpindah ke Thailand dan Indonesia yang bisa menciptakan guncangan harga.
Kini pasar menunggu reaksi dari negara-negara Asia Tenggara. Beberapa negara disebut-sebut telah mencoba melobi Washington di menit-menit akhir, namun gagal. “Vietnam sempat melakukan upaya terakhir untuk menghindari tarif, tapi tidak berhasil,” kata Kepala Riset Asia-Pasifik ING, Deepali Bhargava.
Ekonom Morgan Stanley yang dipimpin Chetan Ahya menyebut Vietnam akan kesulitan menegosiasikan tarif yang lebih rendah. Prospek untuk Thailand dan India juga tidak mudah, namun mereka melihat ada lebih banyak peluang negosiasi untuk Indonesia.
Dari sisi respons resmi, tampaknya pembalasan tidak menjadi pilihan untuk saat ini. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dalam pernyataan di X (dulu Twitter), mengatakan negaranya memahami kebutuhan AS untuk menyeimbangkan perdagangan dengan para mitra. Media lokal juga melaporkan bahwa pejabat Thailand tengah menyusun langkah negosiasi dengan Washington.
Malaysia pun menyatakan tengah aktif berdiskusi dengan otoritas AS demi menjaga hubungan dagang yang adil. Kementerian Perdagangan negara itu menekankan bahwa meskipun memandang serius kebijakan tarif ini, mereka tidak berencana melakukan tindakan balasan, dan tetap berkomitmen pada perdagangan bebas dan adil.
Sementara itu, menurut portal berita resmi Vietnam, pemerintah telah menggelar rapat darurat membahas langkah setelah pengumuman tarif ini. “Vietnam berharap AS akan memiliki kebijakan yang selaras dengan hubungan baik antara kedua negara,” demikian bunyi pernyataan mereka.
Bhargava dari ING masih melihat adanya peluang bagi negara-negara ASEAN untuk menegosiasikan pengurangan beban tarif. “Vietnam kemungkinan akan terus bernegosiasi dengan AS dengan menawarkan konsesi tambahan, seperti menurunkan bea impor,” ujarnya.
Peta Negara Sasaran Tarif Trump
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang panggung ekonomi global. Bukan lewat cuitan tajam atau pidato penuh retorika, melainkan lewat daftar tarif baru yang diumumkan langsung dari Rose Garden di Gedung Putih. Dalam kebijakan terbarunya, puluhan negara—termasuk China dan Indonesia—masuk dalam daftar target tarif dagang resiprokal.
Trump menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah untuk mengembalikan keseimbangan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, bahkan diperkosa dalam sistem perdagangan dunia yang timpang,” ujarnya lantang di hadapan para pendukung yang memberi tepuk tangan, meski pernyataan ini juga menuai kecaman dari sejumlah ekonom dan politisi.
Melalui unggahan di akun Instagram resminya @potus, Gedung Putih merinci besaran tarif berdasarkan defisit perdagangan bilateral masing-masing negara terhadap AS. China, sebagai eksportir terbesar ke Negeri Paman Sam, dijatuhi tarif sebesar 34 persen. Vietnam dikenai beban lebih besar lagi, yakni 46 persen. Indonesia pun ikut masuk radar, dengan tarif baru sebesar 32 persen—jauh lebih tinggi dari tarif normal yang biasanya di bawah 5 persen.
Tarif ini tidak asal tetapkan. Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengklaim telah menyusun formula khusus untuk menghitung besaran tarif resiprokal. Rumus yang digunakan adalah:
Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)
Dengan kata lain, perubahan tarif dihitung berdasarkan selisih ekspor dan impor tiap negara terhadap AS, kemudian dibagi oleh dua variabel: elastisitas permintaan impor (ε) dan seberapa besar tarif memengaruhi harga (φ). Negara dengan surplus besar dinilai terlalu banyak mengambil keuntungan dari pasar AS, sehingga dikenai tarif yang lebih tinggi.
Dalam dokumen ringkasan USTR, nilai elastisitas (ε) ditetapkan 4, sementara tingkat pengaruh harga (φ) sebesar 0,25. Data perdagangan yang digunakan berasal dari tahun 2024. Dengan formula ini, tarif resiprokal yang dikenakan AS berkisar antara 10 persen hingga 99 persen. Jika dihitung berdasarkan bobot volume impor, rata-rata tarif global yang dikenakan berada di angka 41 persen.
Siapa yang paling terdampak dari kebijakan ini?
Tak mengherankan jika China menempati posisi teratas dalam daftar dengan tarif 34 persen. Menurut Gedung Putih, angka itu sebenarnya sudah “diberi diskon” dari nilai awal 67 persen. Vietnam—yang selama ini dianggap sebagai pelarian investor dari China—justru dikenai tarif lebih besar, yakni 46 persen dari hitungan awal 90 persen. Indonesia tak luput, dikenakan tarif 32 persen dari hitungan mentah 64 persen. AS menilai Indonesia masih punya banyak hambatan dagang non-tarif yang merugikan pelaku usaha asing.
Beberapa negara Asia lainnya juga masuk daftar tarif tinggi. Thailand dikenai tarif 36 persen, Malaysia 24 persen, dan Singapura dikenai tarif dasar 10 persen. Sementara itu, Bangladesh dijatuhi tarif 37 persen, Kamboja 49 persen, dan Sri Lanka 44 persen.
Melalui kebijakan ini, Trump berharap bisa menarik kembali pekerjaan industri ke AS dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan tarif besar-besaran ini berpotensi memicu perang dagang lanjutan, merusak rantai pasok global, serta menaikkan harga barang konsumen—bukan hanya di AS, tetapi juga di negara-negara yang terdampak.
Berikut negara-negara yang dikenakan tarif perdagangan oleh AS:
(*)