KABARBURSA.COM - Potret ekonomi Indonesia di kuartal kedua tahun 2025 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan kuartal pertama. Kinerja kredit tetap melemah seiring lesunya konsumsi rumah tangga, tekanan global, dan ketidakpastian domestik.
Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan, menyebut situasi ekonomi Indonesia pada kaurtal I-2025 yang melemah imbas tekanan double hit dari dua arah sekaligus—global dan domestik dikhawatirkan berdampak hingga kuartal II-2025.
“Karena memang tidak ada momentum yang mendorong peningkatan permintaan kredit. Terutama karena ekonomi kita masih melemah,” kata Manap saat dihubungi KabarBursa.com, 9 Mei 2025.
Manap menjelaskan konsumsi rumah tangga yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional pun belum mampu diandalkan untuk mendorong permintaan kredit.
“Kalau cerminan dari kuartal pertama kan ekonomi Indonesia 4,89 persen. Ini menggambarkan rumah tangga ini tidak bisa dimaksimalkan peranannya dalam menutupi pertumbuhan kredit ke depan,” terangnya.
Dengan konsumsi rumah tangga yang stagnan, harapan untuk pertumbuhan kredit bergeser ke sektor swasta. Namun kondisi sektor korporasi pun tidak lebih baik, terutama industri manufaktur yang sedang mengalami kontraksi.
“Berarti peluangnya adalah dari swasta terutama ya. Tapi kalau dari swasta itu kan kita akan berhadapan pada pelemahan, terutama industri manufaktur yang termasuk dari Purchasing Managers' Index (PMI) yang bisa menurun lagi kontraksi di bawah 50,” ujar Manap.
Untuk diketahui, berdasarkan laporan S&P Global, indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur nasional pada April 2025 terjun bebas ke angka 46,7—angka terendah sejak masa pandemi Covid-19. Angka ini berada di bawah ambang batas ekspansi 50,0 dan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 52,4 pada Maret.
Menurutnya, pelemahan di sektor industri juga membuka risiko gagal bayar oleh perusahaan yang sudah telanjur mengambil kredit dalam situasi daya beli menurun.
“Mereka tuh udah terlanjur ngutang (untuk meningkatkan produksi), tapi daya beli menurun, itu akan menyebabkan kredit macet itu akan terjadi,” katanya.
Suku Bunga Tinggi Hambat Permintaan Kredit
Salah satu faktor lainnya menurut Manap yang menahan pertumbuhan kredit adalah suku bunga acuan yang masih tinggi. Dia menilai Bank Indonesia belum cukup agresif dalam memberikan stimulus melalui pelonggaran moneter.
“Kalau tidak ada stimulus dari moneter dalam bentuk penurunan suku bunga maka ini akan terus terjadi pelemahan dari permintaan kredit,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kebijakan penyerapan likuiditas oleh BI melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang menyebabkan dana perbankan lebih tertarik masuk ke surat berharga ketimbang disalurkan ke kredit produktif.
“Jadi dengan SRBI ini perbankan lebih memilih untuk menempatkan dana ke SRBI maupun SBN karena dia ada penyebaran ke kredit. Inilah yang menyebabkan penyebaran kredit itu akan susah tumbuh di atas level 10-15 persen dan sebagai syarat untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ungkap Manap.
Double Hit: Tekanan Global dan Ketidakpastian Domestik
Situasi ekonomi global yang belum pulih makin memperburuk kondisi domestik yang tertekan isu politik dan kebijakan pemerintah. Manap menyebut Indonesia sedang mengalami tekanan ganda atau double hit.
“Double hit itu dalam artian ada tekanan dari global. Dan juga ternyata dalam negerinya juga menekan. Jadi sisi global sama domestik itu banyak tekanan secara bersamaan,” katanya.
Menurutnya, dalam kondisi ideal, tekanan global seharusnya bisa dikompensasi oleh kekuatan domestik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
“Idealnya gini, kalau misalnya globalnya tidak baik seharusnya memang domestiknya tidak tertekan. Masalahnya di kita itu selama awal-awal tahun 2025 ini kan banyak banget momen yang menyebabkannya ekonomi kita itu tertekan. Misalnya itu terutama dari pembicaraan pemerintah ya. Misalnya efisiensi anggaran, masalah dan danantara korupsi segala macam,” papar Manap.
Kondisi ini, lanjutnya, membuat investor asing ragu untuk menempatkan dananya di sektor riil. Mereka lebih memilih pasar uang atau pasar saham yang bersifat jangka pendek.
“Jadi jikapun nanti orang mau masuk Indonesia itu mikir-mikir mau investasinya di mana. Paling mereka masuknya ke pasar uang atau ke pasar saham. Terus kalau misalnya sudah kira-kira udah profit langsung pergi lagi,” jelasnya.
Pertumbuhan Rendah Jadi Harga yang Harus Dibayar
Akhirnya, seluruh rangkaian persoalan ini membuat Indonesia harus menerima kenyataan pahit: pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat permintaan yang lemah dan penyaluran kredit yang tersendat.
“Nah itulah yang mungkin menjadi salah satu faktor kenapa ekonomi kita itu tumbuhnya rendah karena ada double hit itu domestik. Jadi globalnya sama kena tekan,” pungkas Manap.(*)