KABARBURSA.COM – Ekonom Ryan Kiryanto mengungkapkan bahwa pada semester II 2024 mulai terjadi pelambatan ekonomi. Menurutnya, gejala pelambatan ekonomi dapat terlihat dari deflasi yang sudah diluar batas kewajaran.
“Empat bulan berturut-turut terjadi deflasi. Itu tidak normal. Kemudian 2 bulan berturut-turut index purchasing manager kita berada di threshold 50. Bulan Juli 49,3 dan bulan Agustus 48,” kata Ryan di sela-sela media briefing bertema Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas, Kamis, 12 September 2024.
Ketika berada di bawah ambang batas ekspansi, lanjut Ryan, menunjukkan kondisi industri manufaktur atau sektor riil terjadi pelambatan usaha.
Akademisi dari Universita Gadjah Mada itu menegaskan deflasi yang terjadi secara beruntun juga menunjukkan sinyal kuat kegiatan konsumsi masyarakat cenderung melemah.
Ia menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kelas menengah adalah kelompok ekonomi yang membelanjakan 3 dolar per hari. Menurutnya, kelas menengah saat ini telah down grade dan masuk ke dalam kelas baru, yakni pra kelas menengah.
Pelemahan konsumsi masyarakat, lanjut dia, berdampak kepada usaha resto. Menurutnya usaha resto formal mulai berkurang karena kelas menengah muda menurunkan kualitas makannya.
“Bisa lihat sekarang resto sudah berkurang, resto yang formal. Kelas menengah muda itu mereka tetap makan ayam krispi versi gerobak. Karena apa? Ketika harga tidak kunjung turun, mereka menurunkan kualitas konsumsinya. Mereka tetap minum starbucks, tapi starling,” jelasnya.
Masih Ada Harapan?
Ryan menyebut masih ada harapan untuk mengembalikan kondisi kelas menengah. Ia mengungkapkan bahwa The Fad akan menurunkan suku bunga sebesar 25-50 basis poin pada tanggal 20-21 September 2024.
“Alasan the FAD menurunkan suku bunga cukup agresif dan ekstrem karena angka pengangguran di Amerika sudah menyentuh angka 4,3 persen yang mana itu terlalu tinggi untuk ekonomi Amerika. Maka salah satu tools yang bisa dilakukan adalah the FAD bisa menurunkan suku bunga mungkin sebaiknya 50 basis poin,” jelasnya.
Tujuan penurunan suku bung aini adalah agar pelaku usaha di Amerika melakukan ekspansi sehingga menyerap banyak lapangan kerja dan membuat angka pengangguran kembali di angka 3 koma. Kemudian stimulus berikutnya adalah tingkat inflasi di Amerika telah mendekati level target.
“Memang masih di atas 2 persen, tapi sudah di bawah 3 persen. Menurut Jerome Powell, ini adalah waktu terbaik menyesuaikan suku bunga acuan. Banker di Amerika mengungkapkan bahwa ini waktu terbaik untuk The Fad melonggarkan kebijakan moneternya. Atau dengan kata lain fad fund rate bisa di 25 basis poin atau 50 basis poin. Tapi keinginan mayoritas adalah 50 basis poin,” katanya.
Menurutnya pemangkasan suku bunga tersebut berkaitan erat dengan kemungkikan Rapat Dewan Gubernur BI yang akan mempertahankan suku bunga tetap 6,25 atau 6 persen. Di sisi lain, beberapa pertimbangan yang mendukung adalah angka pengangguran, PHK bertambah dan angka PMI berada di ambang batas 50 atau sudah masuk zona kontaksi dan deflasi terus terjadi berturut-turut.
Implikasi Penurunan 6 Persen
Menurutnya, ada implikasi dari penurunan suku bunga 6 persen dari BI. Penurunan ini cepat atau lambat akan tertransmisi ke sektor bunga pinjaman atau bunga kredit. Ia berharap penurunan ini menstimulasi perilaku usaha termasuk pihak yang mengajukan kredit.
“Bagi pengusaha mereka akan mengajukan kredit modal kerja dan investasi, tapi bagi individu berani mengajukan kredit konsumtif. Yang terdapat stimulus adalah pengajuan kredit kendaraan bermotor dan KPR yang terus turun,” katanya.
Ketika suku bunga turun dipastikan dapat memberi stimulant perbankan untuk menurunkan kebijakan suku bunga sesuai arahan kebijakan Bank Indonesia dan BI.
“Saya lihat, BI kecenderungannya sudah pro stability, rupiah sudah menguat dan inflasi sudah terkendali dan sudah saatnya BI menyajikan pro group atau menyajikan jamu manis,” pungkasnya.
Potensi Merosotnya Ekonomi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami penurunan jumlah kelas menengah ke 47,85 juta penduduk atau 17,13 persen di tahun 2024 dari 57,33 juta penduduk 21,45 persen di tahun 2019.
Menanggapi hal tersebut, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), mengaku khawatir akan terjadi malign deflation. Peneliti Bidang Ekonomi TII, Putu Rusta Adijaya mengungkap, hal itu dapat terjadi lantaran adanya potensi merosotnya ekonomi akibat deflasi yang terjadi secara beruntun.
“Akibat dari turunnya jumlah kelas menengah ini akan menimbulkan deflasi ke depan itu malign deflation, istilah deflasi karena penurunan dari sisi permintaan sebagai indikasi kemerosotan ekonomi. Misalnya, ketika masyarakat sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja dan pengeluaran lainnya karena tidak ada pemasukan akibat PHK, sehingga jumlah uang beredar menjadi semakin sedikit. Ini jenis deflasi yang berbahaya,” katanya Putu dalam keterangan resminya, dikutip Selasa, 9 September 2024.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.