KABARBURSA.COM - Harga emas dunia kembali menjadi perhatian investor menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Dalam sepekan terakhir, logam mulia ini masih bertahan di zona tinggi, mendekati level resistensi penting di kisaran USD3.415 per troy ounce. Namun, sejumlah sinyal teknikal menunjukkan bahwa reli panjang emas bisa saja mengalami jeda dalam waktu dekat.
Head of Research Kiwoon Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata, dalam risetnya yang dirilis Senin, 23 Juni 2025 mengatakan, jika menilik grafik mingguan XAU/USD yang dikeluarkan hari ini, harga emas terlihat masih bergerak dalam tren naik jangka menengah.
Sejak awal 2024, harga terus menanjak dalam pola kanal naik yang relatif stabil. Lonjakan harga semakin terasa setelah meningkatnya konflik Iran-Israel, yang memuncak pada 13 Juni 2025 saat serangan terbuka terjadi dan dicatat sebagai Perang Israel-Iran 2.0.
Namun, indikator RSI (Relative Strength Index) justru menunjukkan sinyal yang berlawanan. Meskipun harga terus naik, kekuatan momentum mulai menurun. Kondisi ini tercermin dari munculnya pola negative divergence pada grafik RSI.
“Saat ini, RSI bergerak turun dan berada di bawah garis tren sebelumnya, menandakan potensi melemahnya dorongan beli dalam jangka pendek,” tulis Liza dalam riset tersebut, dikutip hari ini.
Secara teknikal, garis rata-rata pergerakan (MA10) di level USD3.320 menjadi batas support pertama yang perlu dicermati. Jika emas turun menembus level ini, maka potensi koreksi menuju area USD3.180 terbuka lebar.
Meskipun demikian, selama harga masih bertahan di atas USD3.000, struktur tren naik jangka menengah masih terjaga.
Emas Tetap Jadi Aset yang Menggiurkan
Kendati ada kemungkinan koreksi, tekanan geopolitik yang belum mereda membuat emas tetap menjadi pilihan utama investor global sebagai aset lindung nilai.
Apalagi, jika situasi semakin memburuk dan berdampak pada distribusi minyak di Selat Hormuz, maka sentimen risk-off dipastikan menguat dan dapat mendorong harga emas kembali menanjak.
Dengan kondisi saat ini, pasar emas berada di persimpangan. Di satu sisi, kekhawatiran inflasi dan perlambatan ekonomi global menopang permintaan emas sebagai aset aman.
Di sisi lain, tekanan teknikal memberi isyarat bahwa investor mulai berhati-hati dan menanti katalis baru untuk menentukan arah pergerakan selanjutnya.
Sementara itu, para pelaku pasar disarankan untuk terus memantau perkembangan geopolitik dan sinyal dari bank sentral global, terutama kebijakan suku bunga The Fed yang kini berpotensi mengalami penundaan akibat tekanan inflasi berbasis komoditas.
Dalam situasi seperti ini, ketenangan dan disiplin menjadi kunci utama dalam mengambil keputusan investasi di pasar emas.
Harga Emas Global Melemah, Pasar Menanti Arah Balasan Iran
Sementara itu, setelah sempat naik tajam, harga emas dunia mulai terkoreksi. Ketidakpastian situasi geopolitik yang kian memanas tampaknya tak lagi mendorong investor memburu emas seperti hari-hari sebelumnya.
Mengutip data perdagangan dari Yahoo Finance pada Senin, 23 Juni 2025, harga emas spot terpantau melemah 0,2 persen ke level USD 3.361 per troy ounce pada pukul 11.03 waktu Singapura. Padahal sebelumnya, harga sempat menguat hingga 0,8 persen.
Kini, emas kembali diperdagangkan mendekati kisaran USD 3.360 per ounce.
Pelemahan ini terjadi di tengah meningkatnya tensi global setelah Amerika Serikat resmi bergabung dengan Israel dalam serangan udara ke Iran. Meski begitu, pasar terlihat menahan diri dan menunggu langkah selanjutnya dari Iran.
Tak sedikit pelaku pasar yang mulai melakukan aksi ambil untung setelah harga emas mencetak kenaikan signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Selain faktor geopolitik, penguatan dolar AS turut membebani harga logam mulia. Indeks Bloomberg Dollar Spot tercatat naik 0,2 persen, menambah tekanan terhadap emas. Dolar yang lebih kuat biasanya membuat harga emas menjadi relatif lebih mahal bagi pembeli dari luar Amerika Serikat.
Sementara itu, harga perak terpantau stabil. Namun logam mulia lainnya seperti platinum dan paladium justru mencatat pelemahan. Hal ini mempertegas bahwa pasar belum sepenuhnya beralih ke aset komoditas, meskipun risiko global sedang meningkat.
Sejauh ini, pergerakan emas masih mencerminkan kehati-hatian investor dalam membaca arah pasar. Sentimen geopolitik tetap menjadi penentu utama. Jika Iran memberikan respons keras atau situasi di Timur Tengah makin memburuk, bukan tidak mungkin emas akan kembali menjadi pelarian utama bagi investor global.
Namun untuk saat ini, pasar memilih untuk menunggu. Dan seperti biasa, dalam dunia investasi, menunggu bisa jadi keputusan paling bijak ketika kabut belum benar-benar mengangkat.(*)