Logo
>

Empat Bukti Utang di Era Jokowi tidak Produktif

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Empat Bukti Utang di Era Jokowi tidak Produktif

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom dari Bright Institute Awalil Rizky mengkritisi besarnya jumlah utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang menurutnya tidak produktif.

    Awalil pun membeberkan empat bukti kuat yang menunjukkan bahwa utang tersebut tidak memberikan manfaat nyata bagi perekonomian Indonesia.

    Pertama, pendapatan negara tidak tumbuh seiring dengan kenaikan utang. Menurut Awalil, peningkatan negara jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan negara.

    Katanya, selama masa pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap pendapatan melonjak drastis, dari 168,27 persen pada 2014 menjadi 315,81 persen di 2024.

    “Jadi, tidak terbukti utang itu menambah pendapatan negara. Utangnya berjalan lebih cepat dari pendapatan,” ucap Awalil, Selasa, 17 September 2024.

    Kedua, nilai aset tetap yang diperoleh melalui utang tidak signifikan. Awalil menyoroti bahwa peningkatan utang tidak diiringi dengan kenaikan aset tetap yang sepadan. Contohnya, jalan nasional yang dibangun selama pemerintahan Jokowi jauh lebih sedikit dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    “Jalan tol memang bertambah, tapi jalan nasional sangat sedikit. Begitu juga tanah, nilainya naik bukan karena pembelian tanah besar-besaran, melainkan karena revaluasi. Tidak ada kenaikan aset tetap yang signifikan akibat berutang,” terangnya.

    Ketiga, investasi pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tidak membaik secara signifikan. Pertumbuhan penyertaan modal pemerintah (PMP) di BUMN tidak sejalan dengan kenaikan utang pemerintah pusat. Ini menjadi bukti lain bahwa utang tidak membawa dampak positif yang besar pada sektor ini.

    “Utang tidak membuat investasi pemerintah di BUMN membaik secara signifikan,” tandas Awalil.

    Keempat, laju pertumbuhan ekonomi tidak sebanding dengan kenaikan utang. Awalil menyimpulkan, meski utang terus bertambah, pertumbuhan ekonomi tidak mengalami percepatan yang berarti. Dengan kata lain, utang yang ditarik oleh pemerintahan Jokowi sebagian besar tidak produktif dan tidak membawa dampak yang diharapkan.

    “Kenaikan utang tidak membuat pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan saat utangnya lebih sedikit,” pungkasnya.

    Perbandingan Utang RI dengan Jepang

    Penyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih di bawah 100 persen, dikritisi oleh Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini.

    Kata Didik, secara hitungan matematis, rasio utang Indonesia memang belum mencapai angka kritis. Tapi, tidak bisa kondisi utang sebuah negara dilihat dari angka rasio saja.

    Dia menyontohkan Jepang yang memiliki rasio utang yang lebih besar dari PDB-nya, tetapi dengan bunga rendah di kisaran 0,7-0,9 persen, beban pembayaran utangnya tetap terkendali.

    “Jika Luhut dan lain-lainnya menyebut rasio utang kita terhadap PDB belum 100 persen, maka kalau dibandingkan dengan Jepang, meski utang Jepang 100 persen, tapi dengan bunga 0,7 hingga 0,9 persen, pembayaran bunganya akan kecil,” kata Didik dalam diskusi virtual bertajuk ‘Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo’.

    Dia merinci, dengan utang yang sebesar  Rp500 triliun, Jepang hanya membayar sekitar Rp30 triliun per tahunya. “Maka pembayaran bunganya kecil,” tuturnya.

    Tapi, tidak dengan Indonesia. Dengan utang yang mencapai lebih dari Rp8.500 triliun sekarang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hanya untuk membayar bunganya saja, pemerintah harus mengeluarkan biaya yang mencengangkan, hingga Rp500 triliun per tahun.

    “Indonesia, dengan utang sekarang sebesar Rp8.500 triliun harus bayar Rp500 triliun per tahun bunganya saja,” terang Didik.

    Untuk diketahui, posisi utang pemerintah RI mengalami peningkatan pada akhir Juli 2024, mencapai angka Rp8.502,69 triliun.

    Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), secara nominal utang pemerintah bertambah sebesar Rp57,82 triliun atau naik sekitar 0,68 persen dibandingkan dengan akhir Juni 2024, yang saat itu mencapai Rp8.444,87 triliun.

    Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 38,68 persen. Angka ini sebenarnya menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, di mana rasio utang terhadap PDB mencapai 39,13 persen.

    Melihat suku bunga yang tinggi, Didik mengatakan hal itu telah mendorong Bank Indonesia (BI) untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), namun langkah tersebut dinilai membuat BI tampak tidak terlalu terpengaruh, sementara sektor-sektor riil justru menjadi korban.

    “Sekarang suku bunga yang tinggi BI sudah mengeluarkan SBN. Itu menyebabkan BI lenggang kangkung saja atas korban dari sektor sektor riil,” pungkas Didik.

    Bank Indonesia dijadwalkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 September 2024, sesuai kalender resmi BI.

    Dalam rapat ini, BI akan menentukan apakah suku bunga acuan, yang saat ini berada di level 6,25 persen, akan dinaikkan, diturunkan, atau tetap dipertahankan.

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyarankan agar BI segera memangkas suku bunga acuan atau BI Rate. Menurut dia, sebagai otoritas yang memegang kendali atas kebijakan moneter, BI perlu menurunkan suku bunga, menggunakan instrumen moneter lainnya seperti giro wajib minimum, dan mendorong peningkatan kredit.

    Esther menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan easy money policy atau kebijakan uang mudah, yang menurutnya harus segera diterapkan mengingat Indonesia tengah menghadapi ancaman krisis ekonomi.

    Dia menilai bahwa melemahnya daya beli serta terjadinya deflasi berturut-turut adalah tanda-tanda krisis ekonomi yang akan datang.

    “Bank sentral, sebagai pemegang otoritas kebijakan moneter, seharusnya dapat melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas harga, sehingga deflasi yang terus terjadi di Indonesia dapat dicegah dan krisis ekonomi dapat dihindari,” ujar Esther dalam diskusi daring bertajuk ‘Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan’, Minggu, 15 September 2024. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.