KABARBURSA.COM – Filipina tengah mempertimbangkan larangan ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, dalam upaya memperkuat industri pertambangan hilir di dalam negeri. Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, menyatakan bahwa Kongres Filipina dapat meratifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait larangan ekspor tersebut paling cepat pada Juni 2025.
RUU ini bertujuan untuk menghentikan ekspor bijih mentah agar dapat mendorong hilirisasi industri pertambangan. Jika disahkan, larangan ini akan diberlakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah penandatanganan RUU guna memberikan waktu bagi perusahaan tambang untuk membangun fasilitas smelter.
Filipina saat ini merupakan pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia dengan total produksi mencapai 35,14 juta ton pada 2023. Mayoritas ekspor bijih nikel negara tersebut ditujukan ke China, yang merupakan salah satu konsumen utama nikel global.
Menanggapi rencana ini, Kamar Dagang Filipina dan Asosiasi Industri Nikel Filipina menyampaikan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan penutupan tambang serta mengganggu rantai pasokan yang telah berjalan. Banyak perusahaan tambang di Filipina yang memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli internasional, sehingga implementasi kebijakan ini dapat memberikan dampak signifikan terhadap industri pertambangan negara tersebut.
Langkah Filipina ini mengikuti jejak Indonesia yang lebih dahulu menerapkan kebijakan serupa, seperti pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 dan ekspor bijih bauksit pada 2023. Selain Indonesia, beberapa negara lain juga telah menerapkan kebijakan serupa, seperti Namibia yang melarang ekspor lithium yang belum diproses serta Zimbabwe yang membatasi ekspor kromium.
Dampak Potensial Terhadap Pasar
Investment Analyst Stockbit, Hendriko Gani, menjelaskan bahwa jika larangan ekspor bijih nikel Filipina diterapkan, pasar global berpotensi mengalami penurunan pasokan yang dapat mendorong kenaikan harga nikel dalam jangka pendek.
“Kami melihat potensi penurunan supply dan kenaikan harga bijih nikel global jika larangan ekspor bijih nikel Filipina ini diterapkan. Hal ini dapat memberikan sentimen positif jangka pendek bagi emiten yang menjual bijih nikel, seperti Central Omega Resources DKFT dan Adhi Kartiko Pratama NICE,” ujar Hendriko dalam siaran resminya di Jakarta, dikutip Minggu, 9 Februari 2025.
Namun, Hendriko juga mengingatkan bahwa dalam jangka panjang, dampak terhadap industri nikel global bergantung pada keberhasilan Filipina dalam membangun smelter dalam 5 tahun ke depan. Jika negara tersebut mampu meningkatkan kapasitas pengolahan, maka pasar nikel global bisa menghadapi kondisi oversupply yang berpotensi menekan harga produk turunan nikel di masa mendatang.
Sementara itu, emiten produsen produk nikel seperti Vale Indonesia INCO dan Trimegah Bangun Persada NCKL juga perlu mencermati perkembangan ini, karena peningkatan produksi nikel olahan di Filipina dapat mempengaruhi dinamika pasar dalam jangka panjang.
Industri Pengolahan Nikel
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan bahwa kehadiran industri pengolahan nikel memang membawa dampak ekonomi, tetapi perlu dilihat secara komprehensif.
Di satu sisi, industri nikel mampu mendongkrak laju ekspor khususnya produk feronikel dan nickel pig iron (NPI). Namun, penghitungan dampak ekonomi perlu melihat berbagai aspek.
Bhima Yudhistira, Executive Director CELIOS mengatakan, beberapa di antaranya terkait keberlangsungan perekonomian karena penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara.
“Ditambah lagi standar industri nikel yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, dan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat justru berdampak buruk dalam jangka panjang,” ujar Bhima Yudhistira, Executive Director CELIOS, kepada Kabar Bursa, Rabu 24 April 2024.
Ia menambahkan, dalam skenario saat ini atau business-as-usual (BAU), operasi industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan produk domestik bruto (PDB) positif sebesar USD4 miliar atau sekitar Rp62,8 triliun pada tahun kelima atau tahap konstruksi.
“Sayangnya, hal ini kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya terhadap total luaran perekonomian,” ujarnya.
Degradasi lingkungan mengakibatkan penurunan manfaat ekonomi secara bertahap, terutama setelah tahun kedelapan muncul dalam skenario yang dilakukan oleh CELIOS. Indikator negatif pun muncul pada tahun kesembilan.
“Masyarakat yang tinggal di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah akan menanggung dampak kerugian ekonomi dan kesehatan yang paling parah akibat paparan udara beracun dalam waktu lama,” kata Bhima.
Total Akumulasi Upah
Sementara itu jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, Bhima menjelaskan bahwa total akumulasi upah pekerja di berbagai sektor yang dihasilkan selama 15 tahun berjumlah USD14,71 miliar (Rp228 triliun).
“Namun skenario BAU mengenai proyeksi upah pekerja dalam jangka panjang cenderung turun karena pendapatan pekerja di sektor pertanian dan perikanan cukup terdampak oleh aktivitas industri pengolahan nikel. Pekerja yang menghadapi penurunan produktivitas akibat pencemaran udara ikut mempengaruhi pendapatan yang diterima,” ungkap dia.
Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo sempat mengaitkan peningkatan ekspor nikel yang mencapai USD33,8 miliar atau setara dengan Rp510 triliun sepanjang tahun 2022 sebagai bentuk pencapaian ekonomi yang positif.
Sementara data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan nilai ekspor bijih nikel dan turunannya pada 2013 hanya mencapai USD5,4 miliar. Kemudian, melalui kebijakan hilirisasi, nilai ekspor turunan nikel tahun 2022 mencapai USD35,6 miliar atau 6,6x lipat lebih tinggi.(*)