Logo
>

FTA Indonesia–Rusia Jadi Strategi Redam Tekanan Tarif AS

Kesepakatan FTA ini adalah minyak kelapa sawit (CPO), karet, kopi, rempah-rempah, elektronik, dan tekstil.

Ditulis oleh Dian Finka
FTA Indonesia–Rusia Jadi Strategi Redam Tekanan Tarif AS
Bongkar muat di Pelabuhan Peti Kemas Makassar. foto: Kabar Bursa/abbas sandji

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Head of Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menilai Rencana FTA Indonesia–Rusia mulai dilirik pelaku pasar sebagai strategi pemerintah mengurangi ketergantungan ekspor ke AS di tengah ancaman tarif impor 32 persen. 

    Menurutnya langkah ini krusial untuk memperkuat neraca dagang dan diversifikasi pasar ekspor.

    “Kami berpandangan wacana FTA ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mendiversifikasi ekspor, khususnya dari AS seiring dengan potensi pengenaan tarif impor tambahan sebesar 32 persen,” ujar Oktavianus kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.

    Komoditas dan Manufaktur Paling Diuntungkan

    Oktavianus menyebut sektor-sektor yang berpeluang mendapatkan manfaat langsung dari kesepakatan FTA ini adalah minyak kelapa sawit (CPO), karet, kopi, rempah-rempah, elektronik, dan tekstil.

    “Komoditas dan barang-barang tersebut selama ini banyak diekspor ke AS. Jika FTA Rusia berjalan, maka kita bisa mengalihkan sebagian volume ekspor ke pasar alternatif tanpa beban tarif tinggi,” paparnya.

    Sementara itu, ia juga mengingatkan bahwa sektor-sektor yang selama ini sangat bergantung pada pasar Amerika perlu waspada terhadap kemungkinan gangguan distribusi atau perubahan margin akibat perpindahan pasar ekspor.

    Risiko untuk Emiten Domestik

    Lebih lanjut, Oktavianus menilai bahwa keterbukaan terhadap FTA juga memiliki potensi risiko, terutama dari sisi tekanan impor yang bisa berdampak pada emiten domestik tertentu.

    “Investor ritel perlu mewaspadai tekanan masuknya barang impor yang bisa meningkatkan persaingan dan menekan margin keuntungan emiten lokal, khususnya di sektor yang memiliki substitusi impor tinggi,” katanya.

    Presiden Joko Widodo sendiri dijadwalkan melakukan kunjungan ke Rusia pada Juni 2025. Dalam kunjungan tersebut, Indonesia diharapkan akan menandatangani kesepakatan prinsip Indonesia–EAEU FTA (IEAEU–FTA) sebagai landasan utama kerja sama ekonomi yang lebih luas.

    “Meski demikian, kami akan meelaborasi lebih lanjut paska rilis kesepakatan nilainya,” tambahnya.

    Investor Disarankan Wait and See

    Lebih lanjut, Oktavianus menyarankan agar investor ritel tetap berada dalam posisi wait and see, sambil mulai melakukan perhitungan terhadap potensi dampak kesepakatan dagang tersebut terhadap sektor-sektor strategis.

    Dengan arah kebijakan perdagangan yang terus membuka pasar baru, termasuk ke kawasan Eurasia, investor kini dituntut makin sigap membaca peluang dan risiko dari dinamika geopolitik serta perjanjian ekonomi internasional yang terus berkembang.

    Untuk saat ini investor masih dapat wait and see dan mengkalkulasi emiten yang terdampak, sehingga pada saat keputusan kesepakatan dapat memanfaatkan ruang penguatan dari sektor tersebut,” tutup Oktavianus.

    Perkuat Hubungan Dagang

    Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rusia Alexey Gruzdev menegaskan komitmen negaranya untuk memperkuat hubungan dagang dengan Indonesia melalui skema Perjanjian Perdagangan Bebas atas free trade agreement (FTA).

    Gruzdev mengatakan Rusia akan menghapus hambatan perdagangan demi memperdalam kerja sama bilateral. “Kami sangat ambisius terkait Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) ini, jadi kami berupaya sefleksibel mungkin dari kedua belah pihak,” ujarnya di forum bisnis Rusia-Indonesia yang dihadiri KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 14 April 2025.

    Ia menambahkan, target utama dari kesepakatan ini adalah mengeliminasi sebagian besar hambatan dagang. Namun, karena masih dalam tahap negosiasi, detail lebih lanjut belum dapat diungkapkan. Menanggapi pertanyaan mengenai tarif timbal balik dari Amerika Serikat dan apakah Rusia akan memanfaatkannya untuk kepentingan bilateral dengan Indonesia, Gruzdev menegaskan isu tersebut seharusnya ditangani secara terpisah.

    “Itu adalah hal yang seharusnya ditangani secara independen, tapi dalam hal ini, FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas) justru bisa menjadi jaminan bagi perdagangan bilateral, terlepas dari semua tarif timbal balik,” jelasnya.

    "Kami akan memastikan bahwa setidaknya perdagangan bilateral kami tetap menjadi saluran yang terpisah," imbuhnya.

    Gruzdev mengatakan Rusia tidak akan memanfaatkan situasi ketika suatu negara sedang menghadapi tekanan ekonomi dari negara lain sebagai celah untuk mendistribusikan barang. Menurutnya, tindakan semacam itu bukanlah pendekatan yang akan diambil Rusia.

    Pernyataan ini mencerminkan pendekatan Rusia yang berhati-hati namun strategis dalam memperluas kemitraan global di tengah dinamika geopolitik dan ketegangan dagang global. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia akan mengirimkan sejumlah menteri ke Washington DC pada 16 hingga 23 April mendatang sebagai bagian dari upaya strategis menghadapi kebijakan tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat (AS). 

    Langkah ini merupakan penugasan langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan bisa dibaca sebagai keseriusan pemerintah dalam menjaga posisi Indonesia di tengah ketegangan perdagangan global.

    Dampak FTA Rusia–Indonesia, Jembatan Dagang atau Ujian Baru?

    Di tengah dunia yang makin cair secara geopolitik, langkah Rusia mengajak Indonesia menyusun Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) terdengar seperti ajakan nonton film yang sudah lama dinanti: penuh harap tapi tetap bikin deg-degan. Wakil Menteri Perdagangan Rusia, Alexey Gruzdev, datang langsung ke Jakarta dan menyatakan komitmen negaranya untuk menghapus hambatan dagang. Kalimatnya manis: "Kami sangat ambisius," katanya.

    Tentu saja, Indonesia menyambut. Di satu sisi, tawaran FTA dari Rusia ini bisa dibaca sebagai upaya membuka jalur baru di tengah dunia yang sedang sibuk perang tarif. Apalagi Amerika Serikat lagi galak-galaknya soal pengenaan bea masuk terhadap barang-barang dari negara lain, termasuk sekutu dekatnya. Tapi di sisi lain, ketika tarif dibuka dan perdagangan bebas dijanjikan, pertanyaannya selalu sama: siapa yang bakal untung, dan siapa yang bakal megap-megap?

    Untuk Pemerintah: Diplomasi Perdagangan tak Bisa Lagi Instingtif

    Dari perspektif pemerintah, FTA Rusia–Indonesia jelas terlihat seperti angin segar. Saat jalur dagang ke Barat penuh kabut, Timur bisa jadi pelabuhan baru. Tapi untuk bisa mengoptimalkannya, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan nalar umum—bahwa pasar besar pasti menguntungkan.

    Teori gravitasi perdagangan yang disempurnakan oleh Jeffrey H. Bergstrand dalam artikel jurnalnya berjudul The Gravity Equation in International Trade: Some Microeconomic Foundations and Empirical Evidence (1985), memberi petunjuk penting bagi pembuat kebijakan. Berdasarkan model tersebut, perdagangan internasional tidak cukup dijelaskan hanya dengan melihat ukuran PDB dan jarak geografis. Variabel seperti perbedaan harga antarnegara, nilai tukar, dan struktur substitusi produk memiliki pengaruh signifikan terhadap arah dan volume perdagangan.

    Jadi, FTA bukan hanya menghilangkan tarif, tapi juga memengaruhi persepsi harga, stabilitas arus barang, dan keseimbangan neraca dagang. Pemerintah bisa menggunakan model ini untuk memetakan sektor mana yang berpeluang berkembang—misalnya logam dasar seperti nikel dan timah, yang dibutuhkan Rusia untuk teknologi dan pertahanan. Tapi juga harus berhitung pada sektor yang mungkin terpapar barang impor murah dari Rusia, seperti pupuk atau gandum, yang bisa menekan produsen lokal.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.