KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah menilai optimisme Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto, mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen sebagai sesuatu yang berlebihan.
Ia menilai Prabowo tidak mungkin membawa ekonomi Indonesia tumbuh hingga 8 persen tanpa mengidentifikasi terlebih dulu semua kesalahan dalam pengelolaan ekonomi di pemerintahan Jokowi. Menurutnya, jika tanpa melakukan apa-apa dan ekonomi nasional tumbuh sebesar 8 persen membuktikan kegagalan Jokowi.
Karena, menurutnya, tidak mungkin tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Jokowi dalam mengelola pemerintahan, terutama dalam hal membenahi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya kejujuran dari pemerintahan yang baru untuk bisa merumuskan apa yang salah dari pemerintahan sebelumnya.
“Tanpa kita mengakui ada yang salah di pemerintahan Jokowi, kita tidak mungkin bisa berbenah. Tanpa berbenah, kita tidak mungkin mencapai pertumbuhan yang lebih baik dari masanya Jokowi. Ini logika sederhana saja,” tuturnya kepada Kabarbursa.com, Kamis, 10 Oktober 2024.
Menurutnya, jika hanya sekadar melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jokowi, termasuk hilirisasi, pertumbuhan ekonomi 8 persen itu tidak mungkin tercapai. Rumus pengelolaan ekonomi harus berbeda dengan yang sudah pernah dicoba selama 10 tahun ini.
Jika ternyata perekonomian nasional hanya stagnan di angka 5 persen, kata dia, menunjukkan adanya kesalahan dari tata kelola perekonomian Indonesia.
“Kita berharapnya, ya, jangan sampai sama. Kalau dilihat lagi dan dari apa yang saya dengar, yang berlangsung sekarang tidak akan sama. Menterinya saja beda, cuma apa yang tidak sama belum tentu jadi lebih bagus. Jangan asal berbeda saja, tapi seperti yang saya katakan selalu, kejujuran mengoreksi itu penting,” ujarnya.
Sebelumnya, Jokowi optimistis jika pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen merupakan modal Indonesia agar ekonomi dapat tumbuh pada kuartal kedua sebesar 5,08 persen. Bahkan Jokowi mengklaim tingkat keyakinan konsumen telah tumbuh berada di level optimis.
“Spending index kita trennya meningkat. Kita lihat di kuartal ke-3 2024 di 234,8 persen. Di kuartal ke-3 2023 di 145,8 persen. Artinya secara year-on-year naik sangat tinggi sekali. Dan saat ini GDP per kapita kita sudah mencapai 5.060 USD dan kita harapkan 5 tahun ke depan bisa berada di atas 7.000 USD dan 10 tahun ke depan bisa di atas 9.000 USD dan seterusnya. Ini yang harus kita jaga, asal pertumbuhan ekonomi kita bisa di atas 5 persen atau sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Prabowo, bisa sampai target 8 persen,” kata Jokowi usai menghadiri BNI Investor Summit 2024 beberapa waktu lalu.
Jokowi mengingatkan bahwa untuk mencapai target ekonomi yang diinginkan, semua pihak harus optimistis Indonesia dapat menghadapi tantangan pelambatan ekonomi global, tensi geopolitik yang memanas.
Tak Capai Target Pertumbuhan 7 Persen
Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Namun, pada akhir masa jabatannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di sekitar 5 persen.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian, Edy Priyono, mengakui bahwa meski target tersebut tidak tercapai, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan performa yang cukup baik, kecuali saat pandemi COVID-19.
Dalam seminar nasional bertajuk ‘1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, 3 Oktober 2024, Edy menekankan bahwa Jokowi seringkali memasang target tinggi untuk memotivasi kinerja ekonomi.
“Pak Jokowi memang selalu pasang target tinggi, seperti 7 persen, untuk memacu semangat kerja. Jika hanya menargetkan 5 persen, kemungkinan yang tercapai bisa lebih rendah, misalnya 3 persen,” ungkapnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami fluktuasi. Pada 2015, angka pertumbuhan turun menjadi 4,79 persen dibandingkan 5,02 persen pada tahun sebelumnya.
Di tahun-tahun berikutnya, terjadi sedikit peningkatan, dengan angka 5,03 persen pada 2016 dan terus naik hingga 5,17 persen pada 2018. Namun, pada 2019, seiring dengan pelaksanaan pemilu, pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,02 persen.
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada 2020 mengakibatkan kontraksi ekonomi di Indonesia sebesar -2,07 persen. Setelah itu, perekonomian berangsur pulih, tumbuh sebesar 3,9 persen pada 2021, mencapai 5,31 persen pada 2022, namun kembali turun menjadi 5,05 persen pada 2023. Untuk tahun terakhir pemerintahannya, Jokowi menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,1 hingga 5,2 persen.
Edy menjelaskan bahwa meskipun target awal 7 persen belum tercapai, pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 4,23 persen selama masa kepemimpinan Jokowi masih cukup baik, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga menghadapi tantangan ekonomi.
“Jika kita bandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami kesulitan, pertumbuhan ekonomi kita yang sekitar 5 persen itu sudah cukup memuaskan,” ujarnya.
Dalam konteks janji kampanye Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, Edy menduga bahwa strategi mereka mungkin mirip dengan pendekatan Jokowi.
“Mungkin saja beliau (Prabowo) berpikir seperti Pak Jokowi, tapi saya tidak tahu pasti,” ucap Edy.
Meskipun target tinggi tidak sepenuhnya tercapai, pencapaian 5 persen tetap dianggap sebagai prestasi yang layak diapresiasi di tengah berbagai tantangan ekonomi global.(*)