KABARBURSA.COM - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen yang mulai berlaku pada 2025 diprediksi akan menambah beban pengeluaran generasi muda, khususnya Gen Z. Berdasarkan laporan Center of Economic and Law Studies atau CELIOS berjudul “Pukulan Telak bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah”, barang-barang yang lekat dengan gaya hidup mereka, seperti kopi susu, langganan layanan streaming, dan tiket konser, akan mengalami kenaikan harga yang signifikan akibat perubahan tarif pajak ini.
“Gen Z harus membayar Rp1.748.265 lebih mahal karena selisih kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025,” tulis laporan CELIOS, dikutip di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.
Kopi susu, misalnya, mengalami kenaikan pajak dari Rp871.200 per tahun pada tarif PPN 11 persen menjadi Rp950.400 per tahun pada tarif baru. Langganan Netflix juga meningkat dari Rp158.400 menjadi Rp172.800 per tahun, sementara biaya pesan antar makanan bertambah dari Rp281.952 menjadi Rp307.584 per tahun.
Tiket konser, yang kerap menjadi salah satu kebutuhan hiburan Gen Z, turut terdampak. CELIOS mencatat kenaikan pajak sebesar Rp112.000 untuk tiket konser dengan harga rata-rata Rp1,6 juta.
Selain itu, produk seperti apparel dan perangkat elektronik juga tidak luput dari lonjakan harga yang disebabkan kebijakan baru ini. Biaya tahunan untuk pembelian pakaian dan alas kaki meningkat karena tambahan pajak yang memaksa banyak konsumen muda untuk menyesuaikan prioritas pengeluaran mereka.
CELIOS juga menyoroti dampak psikologis dari kenaikan ini. “Kenaikan pengeluaran sebesar Rp1,75 juta per tahun bisa berdampak pada tingkat kepuasan hidup dan kesehatan mental Gen Z,” tulis laporan tersebut.
Tekanan ekonomi ini memaksa generasi muda untuk memilih antara menyesuaikan gaya hidup atau mengorbankan tabungan dan investasi jangka panjang. Beban ini menjadi lebih terasa bagi mereka yang baru memasuki dunia kerja dengan pendapatan yang terbatas.
Tidak hanya konsumsi hiburan, barang kebutuhan harian seperti makanan ringan, kopi sachet, hingga produk perawatan kulit juga mengalami kenaikan harga. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi kelompok ini, terutama yang tinggal di kawasan perkotaan dengan biaya hidup yang sudah tinggi.
CELIOS merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif kebijakan yang lebih adil dan tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Beberapa opsi seperti pajak kekayaan, pajak karbon, atau penutupan kebocoran pajak sektor kelapa sawit dinilai lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa memperparah kesenjangan ekonomi.
“Alternatif ini lebih adil karena membebani mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, daripada masyarakat rentan yang sudah berjuang dengan kebutuhan sehari-hari,” tulis tim CELIOS dalam laporannya.
Ancam PHK Industri Padat Karya
Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen yang diberlakukan pemerintah berpotensi meningkatkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), khususnya di sektor industri padat karya yang tengah tertekan.
Menurut Faisal, meskipun pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk sektor ini, kondisi industri padat karya sudah sangat tertekan dengan penurunan permintaan. Salah satu dampaknya adalah penurunan daya beli kelas menengah yang merupakan konsumen utama bagi produk industri padat karya, termasuk pakaian, alas kaki, dan produk tekstil lainnya.
Faisal menekankan bahwa permintaan yang terus menurun telah menyebabkan perlambatan penjualan yang signifikan, dari pertumbuhan 3,2 persen menjadi hanya 2 persen saja.
“Industri padat karya saat ini berada dalam kondisi yang sangat terjepit. Dengan kenaikan PPN 12 persen dan adanya kebijakan lain seperti kenaikan upah minimum 6,5 persen, sektor ini berisiko mengalami lebih banyak PHK,” ujar Faisal saat ditemui di Kantor CORE Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.
Faisal menilai bahwa meskipun insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor ini penting, tetapi hal itu belum cukup untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan dari penurunan daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah. Tanpa adanya langkah yang lebih efektif dan penanganan masalah permintaan, dia khawatir sektor padat karya akan semakin terpuruk.
Di sisi lain, Faisal juga menyoroti bahwa kebijakan PPN 12 persen harus diperhatikan dengan cermat agar tidak semakin memperburuk kondisi industri-industri yang sudah in injury atau tertekan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi yang lebih merata.
“Jika kebijakan tidak hati-hati, kita bisa melihat dampak yang lebih buruk lagi bagi lapangan pekerjaan di sektor ini. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada produksi barang konsumsi kelas menengah akan sangat terpengaruh,” katanya.
Faisal mengingatkan pemerintah harus mempertimbangkan kondisi pasar dan dampak dari kebijakan tersebut secara menyeluruh, agar tidak hanya berfokus pada aspek fiskal, tetapi juga pada kelangsungan industri dan lapangan pekerjaan di sektor padat karya.(*)