KABARBURSA.COM – Profesi petani masih dianggap sebelah mata oleh sebagian besar anak muda. Soal pendapatan, lingkungan kerja, hingga minimnya pengembangan karier membuat sektor pertanian kehilangan daya tarik di mata generasi muda.
Petani Muda, Khanif Irsyad menyoroti faktor utama yang membuat anak muda enggan bertani justru terletak pada persoalan mindset.
Dia pun mengatakan terdapat lima faktor yang mempengaruhi mindset anak muda hingga banyak dari mereka yang enggan untuk jadi petani.
“Pertama, dari besar pendapatan. Yang kedua, risiko usaha. Yang ketiga, lingkungan pekerjaan karena kan dikenal kumuh dan sebagainya. Sementara orang-orang muda itu biasanya yang di kantoran, yang lebih rapi lah,” ujarnya saat ditemui KabarBursa.com di Jakarta, beberapa waktu lalu. Minggu 18 Mei 2025.
Menurut Khanif, selain itu, petani juga kerap dianggap tidak punya jenjang karier yang jelas dan minim prestise sosial.
“Yang keempat, pengembangan karier. Jadi yang di pertanian biasanya cuma gitu-gitu aja. Apalagi kalau ngelihat orang tuanya. Yang kelima, prestis sosial. Karena kalau kita ngelihat prestis kan, petani masih dianggap rendah. Dianggap pekerjaan kotor, pekerjaan yang kurang menjanjikan,” tambahnya.
Kendati demikian, menurut Khanif, hal faktor-faktor tersebut bergantung pada cara pandang terhadap profesi petani itu sendiri.
Khanif menilai, persoalan ekonomi sebenarnya bukan masalah utama jika petani mampu membangun pola pikir bahwa bertani bisa dijalankan sebagai bisnis, bukan hanya sebagai kegiatan subsisten.
“Mereka yang emang mindset-nya dari awal petani adalah bisnis, itu biasanya lebih oke secara besar pendapatan. Cuma secara risiko usaha ini emang realitanya emang susah,” jelasnya.
Kendala Petani Muda: Analisis Usaha Jangka Panjang
Ia mengakui, risiko gagal panen memang tinggi. Namun dengan pendekatan bisnis dan analisis usaha jangka panjang, tantangan itu bisa dihadapi lebih rasional.
“Saya pun juga beberapa kali sampai gagal panen. Tapi karena mindset-nya bisnis, ya ada analisis usahanya untuk jangka panjang. Sementara yang hanya untuk memenuhi kebutuhan itu biasanya nggak mikir analisis usaha. Nanam-nanam gagal ya yaudah,” tutur Khanif.
Realita lainnya, menurut Khanif, banyak anak muda yang tumbuh di lingkungan pertanian justru memilih menjauh dari profesi ini, bahkan orang tua mereka sendiri tidak ingin anaknya menjadi petani.
“Contoh di desa saya, itu emang gak ada yang sama sekali jadi petani. Gak ada sama sekali. Orang tuanya juga gak mau anaknya jadi petani. Itu realita,” ungkapnya.
Dia mengaku bahwa ia sering mendapat pertanyaan mengapa anak muda tidak ada yang mau menjadi petani.
Menurutnya, hal itu terjadi karena kenyataannya memang banyak anak muda yang enggan menekuni dunia pertanian.
“Jadi ketika ada anak muda yang mau bertani itu harus diapresiasi," kata Khanif.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI Nomor 04 Tahun 2019 Tentang Pedoman Gerakan Pembangunan Sumber Daya Manusia pertanian Menuju Lumbung Pangan Dunia 2045, Petani Milenial adalah petani berusia 19-39 tahun yang adaptif terhadap teknologi digital.
Berdasarkan data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 6,18 juta petani milenial di Indonesia, atau 21,93 persen dari total petani yang mencapai 28,19 juta orang.
Petani milenial didefinisikan sebagai petani berusia 19—39 tahun yang adaptif terhadap teknologi digital dan inovasi pertanian.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah petani milenial terbanyak, mencapai 971.102 orang, diikuti Jawa Tengah sebanyak 625.807 orang dan Jawa Barat sekitar 543.044 orang.
Di sisi lain, DKI Jakarta mencatat angka terendah dengan hanya 2.568 orang. Penyebaran ini menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan tradisi agraris kuat cenderung memiliki konsentrasi petani muda lebih tinggi.
“Kalau pertanian mau maju, anak muda harus bertani, karena mereka yang melek teknologi. Tanpa mekanisasi, tanpa teknologi, pertanian akan susah maju,” tegas Khanif.
Ia menambahkan, pertanian tak seharusnya hanya diposisikan sebagai alat bertahan hidup. “Mindset mayoritas petani sekarang masih bertani untuk bertahan hidup. Itu yang akhirnya bikin prospek pertanian nggak bisa jauh lebih besar,” lanjutnya.
Untuk mengubah paradigma itu, Khanif mengumpulkan sejumlah anak muda lain di Karanganyar mulai merintis Komunitas Petani Muda Karanganyar (KOMPAK). Meski belum resmi berdiri, komunitas ini sudah berhasil mengumpulkan sekitar 20 petani muda berusia di bawah 30 tahun.
“Kita sudah ngumpulin dua puluhan petani muda di Karanganyar. Umurnya di bawah 35 tahun, tapi rata-rata di bawah 30 tahun,” katanya.
“Anak-anak muda itu juga perlu informasi macam sukses story. Karena sejauh ini mendapatkan informasi petani itu susah. Informasi yang beredar kan jadi petani itu kasihan. Padahal banyak petani muda yang sukses tapi nggak ter-expose,” ujar Khanif.(*)