KABARBURSA.COM - Israel kini tengah menjalani diskusi penting dengan para mediator internasional, mencoba meredakan konflik yang telah membara lebih dari 10 bulan di Gaza. Dengan ketegangan yang meningkat, terutama dengan Iran, upaya ini diharapkan mampu memberikan jeda dalam peperangan yang tak kunjung usai.
Dipimpin oleh David Barnea, direktur Mossad, delegasi Israel terbang ke Qatar untuk bertemu dengan Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, bersama kepala intelijen Mesir Abbas Kamel. Mereka memainkan peran sebagai perantara utama antara Israel dan Hamas. Direktur CIA William Burns turut hadir mewakili AS dalam perundingan ini.
Meski perwakilan Hamas absen di Doha, dua pejabat mengonfirmasi bahwa mediator akan memberikan ringkasan kepada kelompok yang didukung Iran ini begitu pembicaraan selesai.
Seorang diplomat di Doha, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa pertemuan berlangsung dengan beberapa kemajuan yang dicapai di hari pertama. Menurut laporan Axios yang mengutip pejabat AS, Hamas terus mendapatkan informasi dari mediator Qatar dan Mesir sepanjang hari tersebut.
Negosiasi saat ini berkisar pada proposal tiga tahap yang diajukan oleh Presiden AS Joe Biden pada akhir Mei lalu. Rencana tersebut mencakup penghentian permusuhan, pembebasan lebih dari 100 sandera yang ditahan oleh Hamas dengan imbalan tahanan Palestina, serta pemberian bantuan lebih besar ke Jalur Gaza yang hancur akibat peperangan.
Namun, jalan menuju kesepakatan damai bukanlah hal mudah. Israel menegaskan bahwa mereka akan terus berperang sampai Hamas benar-benar musnah, sementara Hamas bersikukuh bahwa gencatan senjata harus bersifat permanen dan pasukan Israel harus mundur sepenuhnya.
Di sisi lain, ancaman dari Iran dan Hizbullah di Lebanon semakin memperkeruh suasana. Mereka bersumpah membalas dendam atas serangkaian pembunuhan terhadap pemimpin mereka di Beirut dan Teheran dua pekan lalu, yang dituding sebagai perbuatan Israel.
Jangka Waktu
Juru bicara Gedung Putih, John Kirby, mengatakan pembicaraan di Qatar diperkirakan akan berlangsung hingga Jumat, mungkin bahkan beberapa hari lebih lama. Ini menunjukkan adanya tantangan dalam negosiasi dengan pemimpin baru Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, yang menggantikan Ismail Haniyeh yang tewas di Iran pada 31 Juli. Israel sendiri belum secara resmi mengakui atau membantah keterlibatan mereka dalam kematian Haniyeh.
Diskusi gencatan senjata ini berpusat pada klausul yang memungkinkan negosiasi lanjutan setelah fase pertama gencatan senjata. Selain itu, kedua pihak masih berselisih mengenai konsesi apa yang dapat diterima dalam fase kedua pembicaraan.
Menurut proposal Biden, jika gencatan senjata awal yang direncanakan selama enam minggu berjalan sukses, maka pembicaraan bisa diperpanjang. Israel khawatir Hamas akan memanfaatkan celah ini untuk memperpanjang konflik tanpa batas waktu. Sementara itu, Hamas menolak beberapa syarat fase kedua, termasuk gagasan demiliterisasi mereka.
Poin lain yang menjadi pusat perdebatan adalah jumlah sandera yang akan dibebaskan oleh Hamas pada fase pertama, serta tidak adanya kejelasan mengenai bagaimana seruan Biden agar warga sipil dapat kembali ke Gaza utara akan ditegakkan.
Hossam Badran, anggota biro politik Hamas, menegaskan kembali tuntutan kelompoknya bahwa setiap kesepakatan harus mencakup gencatan senjata total, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, pemulangan pengungsi, rekonstruksi, serta pertukaran tahanan.
Konflik ini sendiri dimulai pada 7 Oktober ketika Hamas menyerbu wilayah selatan Israel, menewaskan sekitar 1.200 orang. Sebagai balasannya, serangan Israel telah menyebabkan kematian sekitar 40.000 orang.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, dijadwalkan bertemu dengan menteri luar negeri Inggris dan Prancis pada Jumat. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas langkah-langkah guna mencegah eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut, menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Israel.
Ekonomi Dunia Tumbuh di Bawah 5 Persen
Dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah antara Israel dan Palestina, serta Iran dan Israel, Kepala Center of Digital Economy and SME's Indef, Eisha Maghfiruha, mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia harus sangat waspada. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan berada di bawah 5 persen.
“Melihat kondisi global yang penuh risiko saat ini, mencapai pertumbuhan di angka 5 persen akan menjadi tantangan besar. Bahkan, kita mungkin tidak bisa mencapai target tersebut atau hasilnya bisa lebih rendah dari 5 persen,” ujarnya dalam Diskusi Publik Indef pada Sabtu 20 Maret 2024 lalu.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 5,05 persen, menurun dari capaian 5,31 persen pada tahun 2022.
Untuk inflasi di tahun 2024, Indonesia harus menghadapi tantangan besar dari inflasi volatile food, yang dipicu oleh bencana cuaca El Nino yang meningkatkan harga kebutuhan pokok.
Meski demikian, inflasi masih dapat dikendalikan dengan baik, berada dalam kisaran yang ditargetkan, yakni 2,61 persen di tahun 2023, kata Eisha.
Eisha menambahkan, eskalasi konflik global tetap menjadi ancaman bagi inflasi Indonesia, khususnya untuk barang-barang input dan depresiasi rupiah.
Namun, dengan target inflasi Bank Indonesia (BI) sebesar 2,51 persen, pengendalian masih bisa dilakukan. Ini memerlukan upaya besar dari BI dan koordinasi intensif antara para pemangku kepentingan melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). "Dampak dari risiko global terhadap inflasi dan nilai rupiah harus terus diwaspadai," pungkasnya. (*)