Logo
>

Geopolitik Mencair, Sri Mulyani: Ada Harapan Baru untuk Stabilitas Pasar

Rupiah dan pasar modal menguat, stabilitas mulai tumbuh, tapi sayangnya risiko belum pergi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Geopolitik Mencair, Sri Mulyani: Ada Harapan Baru untuk Stabilitas Pasar
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat, 23 Mei 2025. (Foto: KabarBursa/Ayyubi Kholid)

KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membawa angin segar dari panggung geopolitik dunia. Ketegangan panjang antara dua raksasa ekonomi global, Amerika Serikat dan China, mulai menunjukkan tanda-tanda mencair. 

Kedua negara kini membuka ruang dialog dan menahan diri dari aksi saling balas tarif perdagangan.

Dalam konferensi pers “APBN Kita” yang digelar Jumat, 23 Mei 2025, Sri Mulyani mengungkap bahwa meredanya konflik dagang global turut berdampak pada kondisi pasar keuangan yang cenderung stabil, termasuk di Indonesia.

“Gejolak pasar keuangan global relatif lebih mereda dibandingkan posisi awal April,” ujar Sri Mulyani di hadapan awak media.

Rupiah dan Pasar Modal Kembali Menguat

Stabilisasi global berdampak langsung terhadap nilai tukar rupiah. Kementerian Keuangan mencatat, meski masih mengalami depresiasi sebesar 1,6 persen secara year to date, nilai tukar rupiah kini berada di level Rp16.395 per dolar AS, jauh lebih tenang dibandingkan gejolak pada kuartal sebelumnya.

Pasar modal juga menunjukkan sinyal pemulihan. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia mencatat penguatan sebesar 9,7 persen sepanjang April. 

Di sisi lain, kinerja Surat Berharga Negara (SBN) pun membaik, dengan imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun turun 15 basis poin sejak awal tahun, dan mencapai level 6,8 persen per 21 Mei 2025.

“Penurunan yield obligasi pemerintah itu positif. Semakin rendah yield, maka beban bunga utang juga menurun,” jelas Sri Mulyani.

Kesepakatan Dagang dan Kebijakan AS Masih Dinamis

Meskipun suasana geopolitik mulai membaik, ketidakpastian masih menyelimuti. Sri Mulyani mengingatkan bahwa pergeseran kebijakan perdagangan Amerika Serikat masih fluktuatif. 

Meski ada jeda 90 hari dalam eskalasi tarif dengan China, dan kesepakatan dagang dengan Inggris telah dicapai, AS tetap agresif dalam menggunakan perintah eksekutif (Executive Order) untuk mengatur perdagangan lintas sektor.

Sektor-sektor yang terdampak termasuk industri farmasi, semikonduktor, alat berat, makanan laut, hingga penerbangan.

Bank Sentral Dunia Ambil Jalur Berbeda

Perbedaan arah kebijakan moneter juga tampak di kancah global. Federal Reserve mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25–4,50 persen, sementara Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE) mulai melonggarkan kebijakan dengan memangkas suku bunga ke level 2,40 persen.

China tak ketinggalan, menurunkan suku bunga acuan sebesar 10 basis poin dan memangkas rasio cadangan wajib bank sebesar 50 basis poin. Bank Indonesia pun turut mengambil langkah akomodatif, menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin ke level 5,50 persen.

Ekonomi AS Melambat, Risiko Fiskal Meningkat

Di tengah dinamika kebijakan tersebut, perekonomian Amerika Serikat justru menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh 2,0 persen pada kuartal pertama 2025, melambat dari 2,5 persen pada kuartal sebelumnya. Sentimen konsumen juga melemah, menambah kekhawatiran terhadap arah pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.

Tekanan lain datang dari sektor fiskal. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat kredit AS dari Aaa menjadi Aa1, mencerminkan kekhawatiran terhadap pengelolaan utang pemerintah. 

Situasi semakin kompleks dengan munculnya proposal pemotongan pajak dari mantan Presiden Donald Trump, yang dinilai berisiko memperbesar defisit anggaran.

Akibatnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS terus menanjak, sementara pasar saham tertekan oleh kekhawatiran fiskal yang terus membayangi.

Stabilitas Mulai Tumbuh, Tapi Risiko Belum Pergi

Sinyal positif dari meredanya ketegangan dagang AS-China memberi harapan bagi stabilitas pasar global, dan Indonesia turut merasakan manfaatnya. Namun, seperti diingatkan Sri Mulyani, kehati-hatian tetap diperlukan. 

Dunia belum sepenuhnya pulih dari ketidakpastian, dan arah kebijakan negara besar seperti Amerika Serikat masih bisa berubah sewaktu-waktu. Pasar dan investor tetap dituntut untuk waspada dan adaptif menghadapi dinamika global yang terus bergerak.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.