KABARBURSA.COM - Goldman Sachs merilis risetnya mengenai kondisi ekonomi Asia, terutama Indonesia pada 2025 merupakan sebuah tantangan besar.
Dikutip dari data Asia Outlook 2025 : Positioning Trade War pada Selasa, 12 Maret 2025 Goldman Sachs memberikan pandangan tentang prospek ekonomi Asia pada 2025 dengan fokus pada dampak kebijakan moneter, ketegangan perdagangan global, serta pergeseran strategi ekonomi di China.
Goldman Sachs adalah salah satu bank investasi dan perusahaan jasa keuangan terbesar di dunia, berbasis di New York, Amerika Serikat. Didirikan pada tahun 1869 oleh Marcus Goldman, perusahaan ini menawarkan berbagai layanan, termasuk perbankan investasi, perdagangan sekuritas, manajemen aset, serta layanan keuangan untuk individu dengan kekayaan tinggi.
Dalam laporan itu Goldman Sachs memprediksi pertumbuhan ekonomi di emerging markets (EM) Asia akan melambat karena peralihan strategi ekonomi China ke pasar domestik serta kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang lebih proteksionis.
"India, Indonesia, dan Filipina menjadi tiga negara dengan proyeksi pertumbuhan tertinggi di Asia, sekitar 5 hingga 6,5 persen per tahun, didukung oleh faktor demografi dan potensi ekonomi yang masih besar," tulis isi dalam riset Goldman Sachs, di Jakarta, 12 Maret 2025.
Untuk Indonesia hal ini berbanding jauh dengan target pemerintah pertumbuhan ekonomi 8 persen. Selain pertumbuhan, Goldman memprakirakan ekspor Asia melemah akibat kenaikan tarif impor AS terhadap produk Tiongkok sebesar 20 persen yang dapat mengubah rantai pasokan global.
Hal ini sudah dirasakan di Indonesia ketiga banyak saham yang berguguran dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat merosot bahkan ke level 6.200-an.
Sementara ASEAN memiliki peluang stabil karena beberapa negara, seperti Vietnam, bisa mendapat manfaat dari pergeseran rantai pasokan jika tidak terkena tarif AS.
Dampak kebijakan moneter global terhadap Asia juga disebut membuat inflasu mereda. Goldman Sachs memprakirakan sepanjang 2025, seiring dengan harga minyak yang bergerak dalam kisaran USD70 hingga 85 per barel.
Bank sentral di Asia kemungkinan akan memangkas suku bunga secara bertahap, tetapi penguatan dolar AS dapat membatasi ruang pelonggaran moneter di negara-negara seperti Indonesia dan India.
Indonesia dan Filipina kemungkinan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari perkiraan awal, masing-masing sebesar 25 hingga 50 basis poin lebih kecil dari perkiraan sebelumnya.
Tarif Impor China
Goldman Sachs juga memaparkan dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China berimbas dengan adanya kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor China hingga 20 persen. Ini menyebabkan pengurangan PDB China sebesar 0,7 persen. Sementara China akan lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi domestiknya tetapi menghadapi tantangan sektor propertinya yang lemah.
Hal ini menyebabkan negara-negara dengan ekspor yang mirip dengan China, seperti Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, menghadapi tekanan harga karena kelebihan kapasitas produksi dari Tiongkok yang bisa dialihkan ke pasar Asia lainnya.
Pada 2025 ini, Goldman menyebut prospek pasar keuangan Asia bakal melambat karena pasar obligasi akan menghadapi tantangan, yang disebabkan oleh siklus pemangkasan suku bunga yang lebih lambat.
"Dolar AS yang kuat membatasi ruang gerak mata uang Asia," sambung dia.
Potensi Dolar Perkasa
Hal ini bakal menyebabkan peningkatan pasokan obligasi di pemerintah berbagai negara.
Namun, pasar saham Asia memiliki potensi naik terutama di China karena valuasi yang masih rendah dan kebijakan pemerintah yang lebih pro-pasar.
Selama 2025 ini nilai tukar mata uang Asia cenderung melemah terhadap dolar AS di awal 2025, tetapi bisa pulih dalam jangka panjang karena penyesuaian kebijakan moneter global.
Dampak Indonesia yakni stabilitas makroekonomi Indonesia diklaim cukup baik, dengan defisit transaksi berjalan yang rendah dan kebijakan fiskal yang relatif disiplin. Kemudian, industri manufaktur dan ekspor Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari pergeseran rantai pasokan global, tetapi harus bersaing dengan produk Tiongkok yang harganya lebih kompetitif.
Ditambah Rupiah dapat menghadapi tekanan dari penguatan dolar AS, sehingga Bank Indonesia mungkin akan berhati-hati dalam memangkas suku bunga.
Dampak Jangka Pendek
Pengamat Pasar Modal, Wahyu Tri Laksono mengatakan dampak kepercayaan investor asing terhadap pasar di Indonesia bisa terjadi dalam jangka pendek maupun panjang.
"Jangka pendek, downgrade ini dapat memicu reaksi negatif dari investor asing karena Goldman Sachs adalah institusi keuangan global yang berpengaruh," ujarnya kepada KabarBursa.com melalui aplikasi pesan di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025.
Wahyu menyebut, investor cenderung memperhatikan rekomendasi dari bank investasi besar seperti Goldman Sachs sebagai sinyal pasar.
Jika peringkat yang lebih rendah ini diartikan sebagai tanda menurunnya prospek pertumbuhan atau meningkatnya risiko, kata dia, kepercayaan investor asing bisa terguncang.
"Yang berpotensi tercermin dalam penurunan aktivitas pembelian saham atau bahkan aksi jual. Apalagi dalam medium term ini terutama sejak akhir tahun IHSG nasibnya kurang baik," ungkapnya.
Untuk jangka panjang, Wahyu menjelaskan investor asing akan melihat penurunan peringkat ini sebagai perubahan sementara atau indikasi masalah struktural yang lebih dalam di ekonomi Indonesia.
Dia mengingatkan, jika faktor penurunan peringkat (misalnya risiko fiskal atau pelemahan rupiah) tidak segera membaik, kepercayaan investor asing bisa terus tergerus.
"Terutama jika diikuti oleh penilaian serupa dari lembaga lain seperti Morgan Stanley atau Fitch," tuturnya.
Namun, Wahyu berpandangan dampak jangka panjang itu bisa diredam jika pemerintah dan otoritas pasar modal merespons dengan langkah konkret untuk mengatasi kekhawatiran tersebut.
"Bahkan bisa membaik dan peringkat dinaikkan kembali," ujar dia.(*)