KABARBURSA.COM - Indonesia Baru Saja Memperkenalkan Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang Lebih Segar, dengan Janji Membawa Angin Baru bagi Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Pemerintah yakin langkah ini akan memberikan lebih banyak keuntungan bagi investor yang ingin menghidupkan kembali industri migas di Tanah Air.
Skema baru ini telah diresmikan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang mulai berlaku pada 12 Agustus 2024.
Dalam peraturan ini, konsep gross split didefinisikan sebagai model kontrak bagi hasil dalam industri hulu migas yang berlandaskan pada pembagian produksi bruto, tanpa adanya mekanisme pengembalian biaya operasi.
Secara sederhana, kontrak bagi hasil ini merombak struktur pembagian hasil (split) kontraktor. Jika sebelumnya ada 13 komponen yang harus diperhitungkan dalam kontrak gross split, kini hanya ada lima komponen.
Perubahan ini diharapkan membuat skema tersebut lebih praktis dan efisien, sekaligus lebih menarik bagi para investor hulu migas.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Ariana Soemanto, menjelaskan bahwa skema New GS ini membuka peluang bagi kontraktor migas untuk mendapatkan bagi hasil antara 75 persen hingga 95 persen.
Berbeda dengan kontrak gross split sebelumnya, kontraktor kini tak lagi perlu bergantung pada tambahan split dari pemerintah untuk mencapai keekonomian yang layak. Ini adalah sebuah pergeseran yang signifikan, menghilangkan ketidakpastian bagi investor.
Skema baru ini juga dirancang agar lebih bersaing dalam menarik investasi, terutama dalam proyek migas nonkonvensional seperti di Blok Rokan.
Menurut Ariana, kontraktor di proyek semacam ini dapat menikmati pembagian hasil langsung hingga 93 persen sampai 95 persen. Hal ini, kata Ariana, akan memberikan insentif yang besar bagi Pertamina Hulu Rokan dan pelaku industri lainnya yang terlibat dalam proyek nonkonvensional di kawasan tersebut.
Lebih lanjut, Ariana menambahkan bahwa peraturan terkait skema ini akan dituangkan dalam Keputusan Menteri ESDM, dan saat ini sedang dalam tahap finalisasi. Sosialisasi kepada pelaku usaha juga akan segera dilakukan dalam waktu dekat.
Permen New GS ini berlaku untuk kontrak-kontrak baru di masa mendatang, namun bagi kontrak gross split eksisting yang belum mendapatkan persetujuan plan of development (POD-1), masih ada peluang untuk beralih ke skema yang baru.
Tidak hanya itu, peraturan ini juga memungkinkan kontrak gross split eksisting untuk berubah menjadi skema cost recovery, atau sebaliknya. Dengan demikian, fleksibilitas menjadi salah satu poin utama yang ditawarkan oleh skema baru ini.
Di tengah berbagai upaya ini, pemerintah memang sedang giat menciptakan kebijakan yang lebih atraktif bagi investor migas. Untuk kontrak-kontrak baru atau blok migas baru dengan skema cost recovery, investor kini dapat memperoleh split hingga 45 persen-50 persen.
Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya berkisar di angka 15 persen—30 persen. Pemerintah berharap, dengan langkah ini, eksplorasi dan produksi migas bisa kembali menggeliat.
Namun, di balik optimisme ini, ada sejumlah tantangan besar yang harus dihadapi. Satgas Hulu Migas, yang dibentuk oleh pemerintah di bawah komando Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga tengah bekerja keras. Luhut menyebut bahwa regulasi migas di Indonesia sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Ia menyoroti bahwa peraturan yang berlaku saat ini masih menggunakan pendekatan lama, ketika mencari migas tidak sesulit sekarang, terutama di wilayah laut dalam.
Data dari SKK Migas menunjukkan bahwa realisasi investasi hulu migas pada semester pertama 2024 hanya mencapai USD 5,6 miliar, atau sekitar 75 persen dari target yang ditetapkan sebesar USD 7,43 miliar.
SKK Migas menargetkan total investasi sebesar USD 12,9 miliar untuk keseluruhan tahun 2024. Namun, Luhut menyatakan bahwa ada masalah mendasar dalam kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang menurutnya menghambat aliran investasi ke sektor migas.
Luhut secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang ada telah menahan masuknya investasi selama tiga dekade terakhir. Tanpa memberikan rincian lebih lanjut, ia mengklaim bahwa perlu ada perubahan atau harmonisasi dalam kebijakan tersebut agar industri migas di Indonesia bisa kembali menarik minat investor.
Meski demikian, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Ia mengidentifikasi dua kendala utama yang menghambat Indonesia dari menarik minat investor migas, meski potensinya sangat besar. Pertama, ia menyoroti masalah perizinan dan pembebasan lahan.
Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan kontraktor migas. Moshe mengusulkan agar pemerintah, melalui SKK Migas, membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengurus perizinan dan pembebasan lahan, sehingga kontraktor bisa fokus pada hal-hal teknis.
Kedua, Moshe menyoroti ego sektoral antar-kementerian sebagai salah satu hambatan utama. Setiap kementerian memiliki target kinerja masing-masing, dan ini seringkali menimbulkan benturan kepentingan. Sebagai contoh, Kementerian Keuangan fokus pada peningkatan penerimaan negara setiap tahun, sementara investasi migas bersifat jangka panjang dengan periode 5 hingga 10 tahun.
Dengan demikian, peran kementerian koordinator sangat krusial dalam mengkoordinasikan upaya antar-kementerian, agar kebijakan yang dihasilkan lebih sinkron dan mendukung pertumbuhan investasi jangka panjang. (*)