KABARBURSA.COM - Industri tambang batu bara makin kepepet. Harga batu bara global anjlok, biaya operasional tetap tinggi, dan di saat bersamaan, beban royalti yang besar bikin perusahaan tambang makin sesak napas. Yang paling kena imbas adalah perusahaan dengan rasio pengupasan atau stripping ratio tinggi.
Asosiasi Pertambangan Indonesia – Indonesia Mining Association (API-IMA) menilai situasi ini makin berat karena aturan royalti yang diterapkan sejak pertengahan 2022 masih berjalan tanpa penyesuaian. "Dulu waktu harga batu bara masih tinggi, royalti yang tinggi itu mungkin tidak terlalu terasa. Tapi sekarang dengan harga turun, beban perusahaan jadi lebih berat," ujar Direktur Eksekutif API-IMA, Hendra Sinadia, kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 6 Maret 2025.
Berdasarkan data Trading Economics, harga batu bara Newcastle---yang menjadi acuan harga batu bara global---turun hingga menyentuh USD100 (Rp1,65 juta) per ton level terendah dalam hampir empat tahun terakhir. Penurunan ini terjadi di tengah bukti kelebihan pasokan yang mulai mengalahkan tingginya permintaan dari konsumen utama seperti China. China sendiri telah mengumumkan rencana ekspansi produksinya hingga 4,82 miliar ton pada 2025, naik 1,5 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini dilakukan untuk mengamankan ketersediaan pasokan dan mengantisipasi gangguan akibat regulasi emisi karbon serta penutupan tambang yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Di sisi lain---masih menurut data Trading Economics---stok batu bara di berbagai fasilitas utilitas telah mencapai level tertinggi sepanjang masa, naik 12 persen dalam dua bulan hingga Oktober 2024. Kelebihan pasokan ini diperburuk oleh produksi Indonesia yang juga melesat hingga mencapai rekor 836 juta ton pada 2024 atau 18 persen lebih tinggi dari target yang ditetapkan.
Sementara itu, investasi Indonesia dalam energi alternatif atau energi hijau mulai meningkat. Ini berpotensi membatasi prospek permintaan batu bara dalam jangka panjang. Meski begitu, konsumsi batu bara di China masih menunjukkan pertumbuhan, khususnya setelah konstruksi pembangkit listrik tenaga batu bara mencapai level tertinggi dalam satu dekade terakhir. Selain itu, konsumsi diperkirakan terus meningkat menyusul kebijakan tarif balasan China terhadap LNG asal Amerika Serikat.
Namun, di tengah harga batu bara global yang sudah jatuh, Harga Batu Bara Acuan (HBA) Indonesia untuk Maret 2025 masih ditetapkan di level USD128,24 per ton (Rp2,11 juta). Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 80/K/MB.01/NEM.B/2025 yang menyatakan HBA digunakan sebagai dasar perhitungan harga patokan batu bara untuk periode 1–15 Maret 2025.
Penetapan HBA oleh pemerintah bertujuan untuk menjaga stabilitas harga batu bara di pasar domestik dan global, serta sebagai acuan dalam penghitungan royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintah akan mewajibkan para eksportir menggunakan HBA sebagai dasar penjualan batu bara di pasar global. "Kami akan mempertimbangkan untuk membuat keputusan menteri agar HBA yang dipakai untuk transaksi di pasar global," kata Bahlil dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2024, pada Senin, 3 Februari 2025, dikutip dari laman esdm.go.id.
Dengan HBA Maret 2025 yang masih berada di USD128,24 per ton, tarif royalti yang dikenakan ke perusahaan tambang tetap di level 27 persen.
Perbedaan antara HBA dan harga batu bara global ini menjadi perhatian pelaku industri tambang. Saat harga batu bara di pasar dunia sudah anjlok, tarif royalti tetap tinggi karena masih mengacu pada HBA. Hal ini membuat beban keuangan perusahaan tambang semakin berat, terutama bagi yang memiliki biaya operasional tinggi akibat stripping ratio besar.
Menurut Hendra, kondisi ini memaksa perusahaan tambang untuk melakukan efisiensi, salah satunya dengan menurunkan stripping ratio. Hal ini berdampak langsung pada cadangan batu bara nasional yang semakin berkurang dan pada akhirnya mempengaruhi penerimaan negara dari sektor royalti.
"Kalau stripping ratio dikurangi, otomatis cadangan yang bisa ditambang juga menurun. Ini bukan hanya berpengaruh ke perusahaan, tapi juga ke negara karena berdampak pada penerimaan dari royalti," jelasnya.
Stripping ratio merupakan perbandingan antara jumlah tanah atau lapisan penutup (overburden) yang harus dikeruk dengan jumlah batu bara yang bisa ditambang di satu lokasi. Misal sebuah perusahaan atau emiten batu bara menyebut stripping ratio mereka 4:1 (empat banding satu), artinya untuk mendapatkan 1 ton batu bara, perusahaan harus menggali 4 ton tanah atau batuan penutupnya.
Semakin tinggi stripping ratio, semakin banyak material yang harus dikeruk sebelum bisa mendapatkan batu baranya. Biaya operasional jadi lebih mahal karena butuh lebih banyak alat berat, bahan bakar, dan tenaga kerja buat menambang di area yang lebih dalam atau sulit. Ketika perusahaan menurunkan stripping ratio, itu berarti mereka mengurangi volume tanah yang dikeruk. Akibatnya, ada lapisan batu bara yang tadinya bisa diambil, jadi tak bisa ditambang dalam waktu dekat.
Dampaknya ini tak cuma bagi perusahaan, tapi juga ke penerimaan negara dari royalti. Jika produksi turun gara-gara cadangan yang bisa ditambang lebih sedikit, otomatis setoran royalti ke negara juga bakal berkurang. Inilah yang bikin industri tambang makin kepepet di tengah harga batu bara global yang lagi turun.
Mengenai kebijakan royalti, API-IMA mengaku telah mengusulkan kepada pemerintah untuk meninjau kembali skema tarif royalti demi menjaga keberlanjutan industri tambang nasional. Menurutnya, revisi tarif ini sangat diperlukan agar industri tetap kompetitif di tengah tekanan global. "Kita sudah mengusulkan revisi tarif royalti sejak tahun lalu. Harapannya, ada kebijakan yang lebih adaptif agar sektor pertambangan tetap berkontribusi bagi perekonomian tanpa membebani pelaku usaha secara berlebihan," katanya.
Selain soal tekanan akibat harga batu bara yang terus menurun, perusahaan tambang juga harus menghadapi kenaikan biaya operasional yang terjadi setiap tahun, seperti harga bahan bakar, komponen impor, serta peningkatan biaya regulasi seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE).
"Beban operasional ini makin bertambah dengan adanya regulasi seperti Domestic Market Obligation (DMO), di mana harga jual ke PLN ditetapkan hanya USD70 per ton (Rp1,15 juta). Sementara di sisi lain, harga jual ekspor mengalami fluktuasi tajam," kata Hendra.
DMO awalnya diberlakukan untuk memastikan pasokan batu bara bagi kebutuhan listrik nasional tetap aman dan terjangkau. Namun, dalam situasi harga global yang kini anjlok, kebijakan ini mulai dirasa memberatkan pelaku usaha. Pasalnya, meskipun harga batu bara ekspor sedang turun, biaya produksi tetap tinggi, sementara kewajiban DMO tetap berjalan dengan harga jual yang jauh lebih murah dibandingkan harga ekspor di masa normal.
Dalam kondisi seperti ini, perusahaan tambang dengan biaya operasional tinggi, terutama yang memiliki stripping ratio besar, semakin terjepit. Mereka harus menekan biaya produksi agar tetap bertahan, salah satunya dengan menurunkan stripping ratio yang berdampak pada berkurangnya cadangan batu bara yang bisa ditambang.(*)