KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali mengalami tekanan pada perdagangan Jumat, 6 Desember 2024 waktu setempat, atau Sabtu, 7 Desember 2024.
Tekanan ini terpengaruh oleh laporan peningkatan produksi dan impor batu bara di China. Meskipun demikian, penurunan harga tetap terbatas berkat tingginya permintaan impor dari negara tersebut.
Harga batu bara Newcastle untuk kontrak Desember 2024 tercatat stagnan di level USD133,25 per ton. Namun, untuk kontrak Januari 2025, harga melemah sebesar USD0,2 menjadi USD132,4 per ton. Sementara, kontrak Februari 2025 terkoreksi USD0,25 menjadi USD133,5 per ton.
Di sisi lain, harga batu bara Rotterdam menunjukkan tren penurunan yang lebih tajam. Untuk kontrak Desember 2024, harga turun USD0,5 menjadi USD114 per ton. Kontrak Januari 2025 merosot USD1,1 ke level USD111,8, dan kontrak Februari 2025 terpangkas USD1,25 menjadi USD111,85 per ton.
Research and Development ICDX Girta Yoga, menjelaskan bahwa pergerakan harga batu bara saat ini berada dalam tren bearish. Data terbaru dari China menunjukkan bahwa produksi batu bara di negara tersebut meningkat sebesar 4,6 persen, sementara impor melonjak hingga 28,5 persen pada Oktober.
Selain itu, curah hujan tinggi di China juga memicu peningkatan penggunaan pembangkit listrik tenaga air, yang mengurangi ketergantungan pada batu bara sebagai sumber energi.
Tidak hanya batu bara, harga gas alam juga menunjukkan pola serupa dengan tren bearish. Menurut Yoga, pasokan yang berlebih menjadi faktor utama tekanan harga gas alam.
Data dari EIA menunjukkan bahwa pengiriman gas ke tujuh fasilitas penyimpanan utama mencapai tingkat mendekati rekor tertinggi pada Desember. Selain itu, peralihan cuaca ke kondisi yang lebih hangat di negara-negara konsumen utama turut menekan permintaan gas alam.
Yoga memproyeksikan bahwa harga batu bara akan bergerak dalam rentang resistance di level USD135 per ton, dengan support terdekat di USD130 per ton.
Selama pekan pertama Desember 2024, harga batu bara telah turun sebesar 2,5 persen. Namun, jika dilihat secara year-to-date (ytd), harga batu bara masih menunjukkan kinerja positif dengan penguatan sebesar 0,53 persen.
Tren ini mencerminkan dinamika pasar energi global yang dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti peningkatan pasokan, pergeseran pola konsumsi energi, dan kondisi cuaca yang memengaruhi kebutuhan energi di negara-negara besar.
Indonesia Masih Butuh Batu Bara
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan Indonesia masih membutuhkan batu bara sebagai sumber energi utama, mengingat teknologi energi hijau masih mahal dan ekonomi nasional belum sepenuhnya siap untuk transisi penuh.
Menurut Bahlil, pemerintah mendukung agenda global untuk nol emisi karbon, tetapi tetap memprioritaskan kepentingan dalam negeri.
“Batu bara, sampai dengan hari ini kami masih menganggap sebagai salah satu energi yang cukup kompetitif, murah, dan bisa menghasilkan biaya yang kompetitif untuk menghasilkan produk,” kata Bahlil dalam acara Indonesia Mining Summit 2024 di Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.
Ketua Umum Partai Golkar ini juga menekankan pentingnya hilirisasi sektor batu bara untuk meningkatkan nilai tambah domestik. Hal ini dinilai penting agar industri batu bara dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam pembangunan ekonomi.
Meski batu bara masih menjadi andalan, Bahlil optimistis Indonesia memiliki peluang besar dalam transisi energi hijau. Dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki potensi bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 3.687 gigawatt.
Potensi tersebut mencakup:
- Tenaga surya: 3.294 gigawatt
- Tenaga air: 95 gigawatt
- Panas bumi: 23 gigawatt
- Bioenergi: 57 gigawatt
- Energi bayu (angin): 155 gigawatt
- Energi laut: 63 gigawatt
Selain itu, pemerintah telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 912 juta ton CO2 pada 2030 melalui Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC).
Bahlil menyoroti biaya teknologi energi terbarukan masih menjadi tantangan besar. Untuk itu, pemerintah akan terus mendorong hilirisasi dan adopsi energi hijau secara bertahap. Dengan pendekatan realistis ini, Indonesia berharap dapat menjalani transisi energi yang adil dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi emisi gas rumah kaca, khususnya gas metana dari tambang batu bara. Laporan dari Ember Energy mengungkap fakta bahwa sebagian besar perusahaan batu bara besar di Indonesia belum melaporkan emisi metana tambang mereka, meskipun gas ini memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida.(*)